Internasional

Museum Dar Al Madinah, Rujukan Visual Belajar Sirah Nabawiyah

Kamis, 25 Agustus 2022 | 17:00 WIB

Jakarta, NU Online

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Kutipan ini sering tertulis dalam banyak buku, didengar dalam berbagai forum, tersebar dalam berbagai situs di internet atau di media sosial. Masa lalu yang telah menjadi sejarah memang sangat penting sebagai pemandu dan saran belajar bagi sebuah bangsa, untuk mengambil pelajaran atau untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

 
Termasuk sejarah nabi atau sirah nabawiyah merupakan materi yang penting dan dipelajari secara resmi dalam pelajaran agama Islam. Bagi pecinta sejarah, buku-buku terkait dengan sejarah kehidupan Rasulullah tak habis-habisnya diterbitkan, dengan data baru, perspektif baru, atau sekadar menulis ulang dari tema yang sudah ada. Ada yang ditulis secara singkat, namun tak kurang yang sampai berjilid-jilid.

 
Bagi yang sedang berada di Kota Madinah, ada sebuah tempat yang sangat pas untuk belajar sejarah kenabian secara singkat, namun ingin memiliki gambaran besar dan visualisasi yang utuh, yaitu Museum Dar Al Madinah. Saya beruntung berkesempatan mengunjungi tempat ini bersama dengan rombongan Media Center Haji (MCH) Kementerian Agama pada akhir Juli 2022.

 
Kelebihan museum ini adalah adanya berbagai diorama yang menggambarkan perkembangan agama Islam dari masa ke masa. Penggambaran terbentang dari era munculnya Makkah sebagai pemukiman ketika Siti Hajar menemukan sumber air Zamzam dan pembangunan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim dan Ismail yang menjadikan wilayah tersebut sebagai kota perlintasan yang menyediakan air dan pusat ziarah hingga masa Madinah kontemporer. Namun demikian, fokus yang ditampilkan adalah sejarah Madinah.

 
Kekuatan utama museum ini adalah terdapat pemandu dengan pengetahuan luas dan cara penyampaian yang runtut dalam menjelaskan peristiwa penting sebagaimana digambarkan dalam masing-masing diorama. Ini yang membedakan museum Dar Al- Madinah dengan museum lain yang rata-rata hanya membiarkan pengunjungnya mencari tahu perkembangan yang terjadi. Kadang hanya diberi penjelasan singkat dalam sebuah tulisan yang ditempel di dekat diorama atau obyek yang dipamerkan.

 
Bagi kalangan yang bekal pengetahuan sejarahnya kurang memadai atau tidak memiliki cukup minat terhadap sejarah, pajangan benda-benda kuno, yang sering kali juga ditampilkan secara tidak menarik dan pendekatan yang sekadar mamajang benda kuno, membuat mereka semakin enggan ke museum.

 
Museum Dar Al Madinah merupakan museum swasta yang dibangun oleh sejarawan Madinah Dr. Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Kha’khi. Jaraknya ke arah timur Masjid Nabawi dengan jarak sekitar 10 kilometer yang dapat ditempuh dalam waktu sekitar 15 menit. Lokasinya berada di kawasan ekonomi Madinah, dekat pula dengan Stasiun Madinah. Jika berkunjung, jangan lupa siapkan uang tiket masuk untuk orang dewasa 25 riyal atau sekitar 100 ribu rupiah per orang sedangkan untuk anak-anak 15 riyal atau sekitar 60 ribu rupiah dengan jadwal buka 09.00 -20.00 WAS.

 
Kami tiba sekitar pukul 11 siang setelah sebelumnya berkunjung ke Gunung Uhud dan tempat Percetakan Al-Qur’an. Terdapat rombongan yang keluar ketika kami masuk. Boleh dikata, tak banyak orang yang berkunjung ke tempat ini.

 
Setelah membeli tiket di dekat pintu masuk, kami diarahkan ke sebuah ruang tunggu. Masing-masing pengunjung diberi sepasang plastik sekali pakai sebagai pelindung alas kaki sepatu atau sandal untuk menjaga kebersihan museum. Selain itu juga disediakan air minum dalam kemasan. Pengunjung yang membutuhkan dipersilakan mengambil sendiri.

 
Setelah semua orang memasang pelindung alas kaki, kami diajak masuk, ke sebuah ruang tunggu. Di sana kami diberi minuman selamat datang berupa kohwah, kopi campur rempah khas Arab dalam sebuah cawan kecil. Juga disediakan kurma dalam nampan, yang sayangnya agak alot.  

 
Dari pandangan sekilas, museum ini berukuran sedang, sejumlah diorama yang berukuran kecil berpelindung kaca ditaruh dalam sebuah ruangan besar dengan lorong sempit yang jika dilalui dua orang akan bersenggolan. Terkesan tidak menarik penataan visualnya jika dibandingkan dengan museum Bank Indonesia di kawasan Kota Tua Jakarta yang dikemas dengan pendekatan modern melalui penataan yang artistik dan tata cahaya yang menarik. Keterbatasan tempat sementara banyak materi yang ingin ditampilkan mungkin menjadi penyebabnya.

 

Foto: Diorama Makam Baqi'


Setelah duduk sebentar menghabiskan minuman, sesaat kemudian seorang pemandu yang masuk muda memperkenalkan diri sebagai Anas ba Muhammad. Ia bertanya, berapa lama waktu yang dimiliki dalam kunjungan ini, mengingat banyaknya materi yang dapat disampaikan. Ia menceritakan, terdapat rombongan pengunjung yang dipandu selama 4 jam karena mereka memang memiliki alokasi waktu yang banyak.

 
Karena hanya memiliki alokasi waktu selama 1 jam, maka kami pun langsung diarahkan ke sebuah diorama yang menggambarkan perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Makkah dan Madinah. Sejarah hijrah memang menjadi bagian utama yang ditampilkan. Diorama ini dibuat dengan detail dengan gunung dalam berbagai ukuran dan lembah serta hamparan padang pasir yang mengelilinginya. Rute perjalanan hijrah yang tidak melewati jalur normal yang dilalui para pedagang, digambarkan dengan lampu yang berkedip-kedip. Sesekali pemandu mengarahkan pointer lasernya ke satu titik untuk menunjukkan lokasi penting.

 
Penggambaran visual Makkah dan Madinah sekitar abad 6 Masehi ini sangat membantu membangun pemahaman bagaimana kondisi alam dan kehidupan masa itu, mengingat Makkah dan Madinah kini sudah dipenuhi dengan bangunan pencakar langit, jalan-jalan raya lebar dan berbagai infrastruktur modern lainnya. Kisah hijrah Nabi yang sebelumnya saya baca di berbagai buku atau didengar dalam berbagai forum pengajian menjadi lebih hidup dan nyata. Diorama gunung-gunung terjal yang dilalui Rasulullah menunjukkan betapa tidak mudah perjalanan hijrah selama 9 hari dari Makkah ke Madinah, yang kini cukup ditempuh 4 jam perjalanan dengan mobil melalui jalan bebas hambatan atau 2,5 jam menggunakan kereta api cepat.

 
Visualisasi lain yang sangat membantu memahami sejarah kenabian adalah diorama rumah Rasulullah dan perkembangan Masjid Nabawi dari masa ke masa. Penggambarannya akan sulit disampaikan secara deskriptif dalam tulisan pendek.

 
Dalam diorama tersebut, pengunjung dapat melihat sebuah kecil bangunan sederhana dari batu dan tanah, sebuah ruang tamu tempat Rasulullah menerima para tamu dan di sampingnya Masjid Nabawi yang waktu itu ukurannya juga sangat kecil dan sama-sama sederhana. Hanya sebuah bangunan kecil dari tanah liat. Namun dari tempat itulah sebuah peradaban besar muncul, mengalahkan kerajaan-kerajaan besar yang telah mapan dengan bentangan kekuasaan yang sangat luas seperti Persia dan Romawi.

 
Pemandu kemudian menunjukkan diorama tempat di mana Rasulullah wafat yang berada di dalam rumah beliau. Pemandu menceritakan, terjadi perdebatan di antara para sahabat di mana Rasulullah akan dikuburkan. Akhirnya, salah seorang sahabat menyampaikan, seorang Nabi dikebumikan di tempat ia meninggal. Ba Muhammad juga mengisahkan kisah yang jarang didengar, ternyata Nabi Muhammad tidak dimandikan dengan diguyur dengan air, melainkan badannya hanya dilap-lap saja dengan air karena badannya sudah bersih. Jenazah Nabi juga tidak langsung dikuburkan pada hari ketika meninggal untuk memberi kesempatan seluruh penduduk Madinah menunaikan shalat jenazah. Saat itu shalat jenazah dilaksanakan sendiri-sendiri karena dianggap tidak ada pemimpin yang menggantikan beliau..

 
Kuburannya terletak di sampingnya tempat tidur istri tercintanya, Aisyah sehingga ketika bangun, ia seolah tetap bertemu dengan suaminya. Kemudian ketika Abu Bakar, yang juga ayah Sayyidah Aisyah meninggal, ia dikuburkan di samping Rasulullah, namun dengan posisi kepala sedikit di bawah Rasulullah. Selanjutnya ketika Umar bin Khattab wafat, ia dikuburkan di sampingnya lagi, dengan kepala lebih rendah lagi dari Abu Bakar. Setelah Umar dikuburkan di tempat tersebut, maka Siti Aisyah membangun sebuah tirai antara kuburan dan kamar pribadinya mengingat Umar bukan lah muhrimnya.  

 
Dalam diorama selanjutnya digambarkan bagaimana maqbarah Nabi Muhammad dan dua sahabat paling utama itu kemudian diberi pelindung pagar yang mengelilingi makam, kemudian dipagari lagi luarnya. Tak ada pintu untuk mengaksesnya sehingga foto yang diklaim sebagai makam Nabi yang banyak beredar di internet, dipastikan itu hoaks mengingat tak ada seorang pun yang dapat masuk ke sana. Di atas kuburan tersebut kemudian dibangun sebuah kubah. Pada satu masa, kubah tersebut hancur dan harus dibangun lagi. Konon, hanya terdapat satu orang sepanjang sejarah dikuburkannya Nabi yang pernah melihat kuburan nabi ketika ia mengambil puing-puing dari reruntuhan kubah yang hancur. Karena ditembok semua, maka orang tersebut kakinya diikat dan kemudian diturunkan ke bawah untuk mengambil puing-puing reruntuhan tersebut.

 
Diorama lainnya menggambarkan perang Uhud dan posisi masing-masing pasukan, baik para sahabat maupun kaum Quraisy Makkah, dan bagaimana Khalid bin Walid memimpin pasukan berkuda mengelilingi belakang gunung untuk menyerang pemanah dari belakang. Juga terdapat penggambaran perang Khandaq di mana sebuah parit digali.

 
Jika ada materi yang belum dipahami, pemandu menjawab dengan ramah pertanyaan dari rombongan wartawan yang pada dasarnya kritis dan memiliki sifat ingin tahu yang besar. Rencana kunjungan yang awalnya hanya dijadwalkan satu jam tersebut molor karena materi dan penyampaian yang menarik yang memberi pemahaman baru bagaimana perjuangan dakwah Rasulullah yang kini umatnya telah mencapai 1,5 miliar jiwa. Kami pulang dengan rasa puas.

 
Museum ini menyediakan pemandu dalam bahasa Arab, Inggris, dan Urdu sehingga jamaah dari Indonesia yang akan berkunjung ke museum ini mesti menyiapkan penerjemah. Sangat disayangkan belum ada pemandu berbahasa Indonesia, padahal jamaah haji atau umrah dari Indonesia atau Malaysia sangat banyak.

 
Pewarta: Achmad Mukafi Niam
Editor: Muhammad Faizin