Internasional

PCINU Belanda Ungkap Urgensi Pembentukan Pusat Studi Halal di Eropa

Kamis, 22 Februari 2024 | 09:30 WIB

PCINU Belanda Ungkap Urgensi Pembentukan Pusat Studi Halal di Eropa

(Ilustrasi halal: NU Online)

Den Haag, NU Online  
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda melalui Lembaga Pertanian dan Lingkungan Hidup (LPLH) mengadakan webinar dengan topik “Urgensi Pembentukan Pusat Studi Halal di Eropa” yang diselenggarakan pada Ahad (18/2/2024). 


Kegiatan ini, menurut siaran pers yang disampaikan pengurus PCINU Belanda, bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam tentang urgensi dan pentingnya pendirian Pusat Studi Halal di Belanda, dan khususnya di PCINU Belanda. Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat menjadi platform untuk mendorong dialog dan pertukaran ide mengenai kebutuhan dan manfaat pembentukan pusat studi yang fokus pada aspek halal di Belanda. 


Webinar tersebut menghadirkan tiga narasumber yaitu Prof. M. Luthfi Zuhdi, Lc, MA, PhD dan Dr. Shobichatul Aminah, M.Si. dari Halal Center Universitas Indonesia serta Dr. Eva Johan, S.H., M.H. dari Halal Center Universitas Sultan Agung Tirtayasa. 


Prof. Luthfi selaku Ketua Halal Center UI membuka pemaparannya mengenai mengenai ekosistem halal dengan menjelaskan pesatnya pertumbuhan ekonomi halal di dunia yang tentunya menjadi daya tarik ekonomi bukan hanya bagi negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim, tetapi bagi negara-negara non-Muslim. Bahkan untuk saat ini, lima negara terbesar pengekspor komoditas halal bukanlah berasal dari negara-negara Muslim. 


Menurut dia, pesatnya pertumbuhan ekonomi halal tentunya dapat menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi halal hub di dunia dan pengekspor komoditas halal karena Indonesia memiliki modal yang besar sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. 


Mengenai posisi Indonesia dalam Industri halal dunia, kata dia, saat ini Indonesia menduduki posisi ketiga Indeks Global Ekonomi Islam (GIEI) dan posisi pertama pariwisata halal dunia. Indonesia juga telah membangun 3 kawasan ekonomi halal yang diharapkan dapat menjadikan Indonesia sebagai halal hub dunia. 


Prof. Luthfi juga menjelaskan tentang sejarah, program, dan layanan yang telah dilakukan di Halal Center UI yang memiliki 4 program yaitu halal training, halal research, halal testing, dan pendampingan halal. Halal UI juga memiliki tujuh trainer, 143 pendamping PPH dan telah mengeluarkan lebih dari 5000 sertifikat halal. 


Pembicara kedua, Dr. Aminah (Kepala Bidang Riset Center UI) memulai pemaparannya dengan menekankan kembali pentingnya industri halal yang diprediksi akan terus bertumbuh. Pertumbuhan ekonomi halal ini didorong oleh peningkatan populasi Muslim dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Muslim di dunia. 


Ia melanjutkan pemaparaannya mengenai pentingnya sertifikasi halal dan prinsip sertifikasi halal seraya menyebutkan halalan thayyiban merupakan konsep yang holistik dan sertifikasi halal dapat menjadi alat dan  sarana untuk memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen agar mereka yakin bahwa makanan yang dikonsumsinya merupakan makanan yang halal dan thayyib


“Karena konsep halal merupakan konsep yang holistik, penetapan halal merupakan perpaduan antara pengetahuan ilmiah dan keputusan syariah dan kedua hal ini tidak dapat dipisahkan,” katanya pada kegiatan yang diikuti pengurus PCINU Belanda serta perwakilan PCINU dari Jepang dan Inggris.  
 

Lebih lanjut, sertifikasi halal memiliki prinsip ketelusuran (traceability) dan autentikasi (authentification). Prinsip ketelusuran menekankan bahwa tempat produksi, proses produksi dan bahan yang digunakan dalam produksi harus diketahui dengan pasti kehalalannya. Prinsip autentikasi memastikan tidak terjadi pemalsuan produk halal dan tidak adanya kontaminasi produk haram ke dalam produk halal. 


Mengenai sertifikasi produk halal di Indonesia, menurutnya terdapat dua jenis skema sertifikasi halal: self-declare dan reguler. Skema self-declare ini diperbolehkan untuk memudahkan UMKM dengan syarat pengakuan dari pengusaha dapat ditelusuri walaupun jumlah produk yang dicakup oleh serkifikasi self-declare lebih terbatas dibandingkan dengan sertifikasi dengan skema reguler. 


Pembicara ketiga, Dr. Eva Johan, Kepala Halal Center UNTIRTA memaparkan tentang perbedaan kebijakan halal di European Union (EU) dan Indonesia. Dengan penduduk Muslim yang hanya berkisar 5%, isu halal belum menjadi hal yang dianggap penting di EU, bahkan aturan di EU dapat berkonflik dengan aspek teknis, utamanya adalah proses penyembelihan karena mayoritas regulasi di EU mewajibkan pemingsanan (stunning) dalam proses penyembelihan hewan dengan beberapa pengecualian. Di EU sendiri, penyembelihan secara agama menjadi subjek keseimbangan antara kebebasan beragama dan animal welfare. 


Selain itu, kata dia, di EU tidak memiliki aturan publik langsung tentang produk halal dan sertifikasi halal Sertifikat halal bersifat sukarela melalui private certification. Hal ini tentu berbeda dengan Indonesia dimana produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal seperti yang tertuang dalam UU Nomor 33 Tahun 2014. 


Di Belanda sendiri, lanjutnya, sertifikasi halal bukan merupakan sesuatu yang wajib dan Pemerintah Belanda juga tidak memiliki aturan mengenai sertifikat halal. Hal ini kadangkala membuat ketidakpercayaan konsumen kepada produk yang berserfikasi halal. Sertifikasi halal di Belanda sendiri dikeluarkan oleh organisasi independen yang bersifat profit maupun non-profit, dan sertifikat halal dikeluarkan setelah audit dan pengecekan berkala.  Standar halal di Belanda juga bisa jadi berbeda karena  dikeluarkan oleh lembaga independen yang berbeda-beda. 


“Oleh karena itu, sebelum dibentuk pusat studi halal di Belanda, diperlukan pengetahuan tentang standar halal di Belanda,” katanya. 


Setelah pemaparan oleh tiga narasumber, kegiatan webinar dilanjutkan dengan pertanyaan dan diskusi. Salah satu diskusi yang menarik adalah mengenai peran yang dapat dilakukan oleh lembaga studi halal di Eropa. Dr. Aminah memaparkan pentingnya mahasiswa maupun masyarakat di Indonesia di luar negeri untuk melakukan riset terkait bahan pangan untuk substitusi bahan non halal seperti gelatin. 


Selain itu, lembaga studi halal di luar negeri dapat menjadi lembaga riset yang meneliti standar halal di negara minoritas Muslim dan menjadi konsultan bagi perusahaan yang akan menjual produk halal di luar negeri. Dr. Eva juga menambahkan bahwa pusat studi halal di luar negeri dapat menjadi pendamping proses produk halal, sosialisasi standar halal Indonesia, dan pengawasan terhadap produk yang telah memiliki sertifikat halal.