Internasional

Perdamaian Dunia Harus Dibawa ke Realitas yang Ada

Jumat, 28 Januari 2022 | 20:00 WIB

Perdamaian Dunia Harus Dibawa ke Realitas yang Ada

Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahmad Suaedy. (Foto: NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online

Komitmen Islam terhadap perdamaian dunia tidak boleh hanya berhenti pada tataran konsep semata, melainkan harus dibawa ke dalam realitas yang ada. Hal itu ditegaskan Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Ahmad Suaedy dalam Sesi 3 Seminar Internasional Islam yang diselenggarakan oleh INFID dan bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Kamis (27/1/2022).


Lebih lanjut, Suaedy menekankan pada bagaimana umat Islam mengimplemetasikan rahmatan lil ‘alamin secara konkrit. Menurutnya, salah satu cara untuk merealisasikannya adalah dengan bersikap adil dan tidak melakukan paksaan dalam beragama.


Sikap adil, menurutnya, sangat niscaya dalam merealisasikan praktik Islam rahmatan lil alamin, tidak membeda-bedakan suku, ras, dan agama, dan yang paling penting tidak melakukan opresi dalam beragama. “Tidak ada perdamaian jika terdapat pemaksaan di dalamnya,” tegas peneliti minoritas di wilayah Asia Tenggara itu.


Dalam pengertian ini, adil memiliki makna yang luas. Bukan hanya tentang bagaimana kita bersikap dengan orang “selain” kita. Namun juga keadilan dalam aspek-aspek lain, ekonomi misalnya.


Menurutnya, keharmonisan antarmanusia sukar terjadi jika masih ada ketidaksetaraan di dalamnya. Konsep keadilan, menurut Suaedy, juga tercermin dari komitmen kita untuk peduli tidak hanya kepada Muslim di negara-negara Islam, tetapi juga Muslim di negara-negara di mana Islam bukanlah agama mayoritas.


Lebih lanjut, Suaedy menegaskan bahwa Islam Nusantara yang melekat pada Indonesia mampu menjadi role model karena mencerminkan Islam yang sangat membumi. Konsep ini bisa menjadi contoh negara-negara lain dalam mengimplementasikan Islam rahmatan lil alamin.


Sementara itu, Prof Najib Burhani menekankan pentingnya kerjasama antar negara-negara muslim. Ia menyatakan bahwa organisasi yang ada seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI/OIC) merupakan aset yang perlu untuk dikembangkan. “OIC berkomitmen untuk kemajuan solidaritas antaranggota,” ungkapnya.


Menurutnya, peran OKI dapat meningkatkan kesadaran atas isu-isu Islam di negara-negara mayoritas muslim. Bentuk kepedulian ini selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan, misalnya, membuat aksi solidaritas, audiensi antar negara, maupun aksi lainnya.


Meski demikian, peranan organisasi OKI perlu untuk ditingkatkan. Sebab, organisasi ini memiliki kemampuan jangkauan yang luas ke negara-negara muslim lainnya. Salah satu bentuk penguatannya bisa melalui jalur akademisi meskipun hingga saat ini masih minim.


Selain dalam bentuk ilmiah, penguatan itu juga dapat dilakukan dalam bentuk penyadaran bahwa Islam tidak identik dengan Timur Tengah. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan adanya anggapan, terutama dari Barat, bahwa Islam di Timur Tengah adalah agama teroris.


“Kita harus desentralisasi Islam dari Timur Tengah. Ini akan membuat dunia Barat mengerti bahwa Islam tidak identik dengan Timur Tengah,” pungkas profesor riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu.

 

Kegiatan ini juga dihadiri oleh Rektor Universitas Ez-Zitouna Tunisia Prof Abdellatif Bouazizi, Akademisi dari Universitas Punjab Pakistan Usman Ahmad, dan Guru Besar Universitas Malaya Malaysia Prof Mohd Roslan Mohd Nor.


Editor: Syakir NF