Internasional

Warga Palestina Semakin Terusir dari Tempat Tinggalnya

Rabu, 11 Mei 2022 | 13:45 WIB

Warga Palestina Semakin Terusir dari Tempat Tinggalnya

Ilustrasi: warga Palestina pasca-bentrok di kompleks Masjid Al-Aqsa dengan polisi Israel. (Foto: AP)

Jakarta, NU Online

Warga Palestina harus menerima nasib kembali terusir dari tempat tinggalnya oleh Israel. Kabar memilukan tersebut seiring dengan Mahkamah Agung Israel yang resmi mengizinkan penggusuran delapan desa Palestina di Masafer Yatta.


Dikutip dari CNN Indonesia, Aparat Israel mulai bergerak setelah MA Israel mengumumkan putusannya pada pekan lalu. Putusan itu mengakhiri kasus yang sudah bergulir sejak 1999 silam. Kini, warga pun takut diusir.


Saat itu, militer Israel menerbitkan surat perintah pengusiran karena Masafer Yatta sudah ditetapkan sebagai zona tembak tentara melalui keputusan pada 1980-an.


Tak terima, warga Palestina yang sudah tinggal di area itu turun temurun pun naik banding ke Mahkamah Agung. Kasusnya terus bergulir hingga putusan diumumkan pada Rabu lalu.


MA Israel memutuskan bahwa para warga Palestina yang tinggal di Masafer Yatta tersebut bukan merupakan penduduk tetap ketika area itu ditetapkan menjadi zona tembak.


Namun, para penduduk Masafer Yatta dan kelompok-kelompok hak asasi manusia Israel menyatakan bahwa keluarga Palestina di daerah itu sudah menetap sejak pencaplokan Tepi Barat pada 1967.


"Ini membuktikan bahwa pengadilan merupakan bagian dari penjajahan. Kami tak akan meninggalkan rumah kami. Kami akan tetap di sini," ucap Wali Kota Masafer Yatta, Nidal Abu Younis dikutip NU Online dari CNN Indonesia.


Meski demikian, keputusan MA ini tak dapat diganggu gugat. Namun, pengadilan menyatakan bahwa pintu diskusi masih terbuka jika warga desa mau mencapai kesepakatan dengan militer.


Atas kejadian tersebut, Uni Eropa (UE) pada Selasa (10/5/2022) mengecam rencana Israel untuk mengusir keluarga Palestina di Tepi Barat yang diduduki.


“Perluasan permukiman, pembongkaran, dan penggusuran adalah ilegal menurut hukum internasional,” kata kepala juru bicara layanan diplomatik UE Peter Stano dalam sebuah pernyataan mengutip Anadolu Agency.


Kecaman itu muncul sebagai tanggapan atas keputusan Mahkamah Agung Israel dalam kasus penggusuran perumahan Palestina di daerah Masafer Yatta.


Setahun lalu, sebuah organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) terkemuka yang berbasis di Yerusalem, dikutip dari AFP, B'Tselem mengatakan, warga Palestina hidup di bawah kendali Israel di Tepi Barat yang diduduki, di Gaza yang diblokade, di Yerusalem Timur yang dianeksasi, dan di dalam wilayah Israel sendiri.


B'Tselem menjelaskan, dengan memecah belah dan secara tidak langsung menguasai wilayah Palestina, Israel menutupi realita bahwa sekitar tujuh juta warga Yahudi dan tujuh juta bangsa Palestina hidup di bawah satu sistem dengan ketimpangan yang besar.


Israel merebut Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza dalam Perang 1967, kawasan-kawasan yang menampung hampir lima juta orang Palestina dan yang diinginkan Palestina sebagai bagian dari negara masa depan mereka.


Pencaplokan tersebut melalui sebuah tindakan yang tidak diakui secara internasional dan menganggap seluruh kota itu sebagai ibu kota terpadu. Sebagian besar warga Palestina di Yerusalem Timur dianggap sebagai penduduk Israel, tetapi bukan warga negara dengan hak suara.


B'Tselem berpendapat bahwa dengan membagi wilayah dan menggunakan alat kontrol yang berbeda, Israel menutupi kenyataan yang mendasarinya bahwa orang Yahudi dan orang Palestina hidup di bawah satu sistem namun dengan hak-hak yang sangat tidak setara.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Muhammad Faizin