Nasional

Alasan Pemerintah dan DPR Tolak Gugatan Uji Formil UU TNI

NU Online  ·  Selasa, 24 Juni 2025 | 10:30 WIB

Alasan Pemerintah dan DPR Tolak Gugatan Uji Formil UU TNI

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas di Mahkamah Konstitusi. (Foto: tangkapan layar kanal Youtube MK RI)

Jakarta, NU Online

Pemerintah, melalui Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, bersama Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto, menyatakan penolakan terhadap seluruh gugatan uji formil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2025 tentang TNI. Penolakan tersebut disampaikan dalam sidang Mahkamah Konstitusi terkait tiga perkara, yaitu Nomor 45/PUU-XXIII/2025, 69/PUU-XXIII/2025, dan 81/PUU-XXIII/2025.


Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo, Supratman menyatakan bahwa pembentukan UU TNI sudah sesuai prosedur dan asas keterbukaan sesuai UU P3. Didampingi Menhan Sjafrie Sjamsoeddin, ia mengklaim pemerintah sejak 2023 telah menyerap aspirasi publik lewat FGD yang digelar Babinkum TNI.


Supratman mengatakan pembentukan perubahan RUU TNI diajukan berdasarkan urgensi nasional terkait upaya melindungi dan menyelamatkan WNI karena meningkatnya dinamika keamanan regional, penguatan stabilitas pertahanan nasional dan internasional, ancaman militer, non-militer, dan hibrida (terorisme dan perang siber). 


"Urgensi nasional terkait upaya melindungi dan menyelamatkan Warga Negara Indonesia (WNI) karena meningkatnya dinamika keamanan regional, penguatan stabilitas pertahanan nasional dan internasional, ancaman militer, non-militer, dan hibrida terorisme dan perang siber," ungkapnya dalam Sidang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025, di Gedung MK RI, Jakarta, Senin (23/6/2025).


Pada tahap penyusunan, lanjut Supratman, RUU Perubahan UU TNI disusun sesuai ketentuan dalam Pasal 43 hingga 46 dan Pasal 49 UU P3. Penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dilakukan setelah DPR mengirim surat pada 28 Mei 2024, dan dikoordinasikan oleh Kemenko Polhukam. Selanjutnya, pada tahap pembahasan, proses mengikuti Pasal 66 UU P3 melalui dua tingkat pembicaraan yaitu tingkat satu dan dua.


“Terakhir memasuki Tahap Pengesahan dan Tahap Pengundangan telah dilakukan pada 26 Maret 2025 sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU 3/2025 telah dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang pada tahapan yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.


Sementara itu, DPR RI melalui Utut Adianto memandang bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak punya hubungan langsung dengan TNI.


"Karena tidak berkapasitas sebagai TNI aktif, calon prajurit TNI, bukan pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan dengan meluasnya jabatan sipil yang memungkinkan untuk dijabat oleh TNI. Melainkan mahasiswa, pelajar, karyawan swasta, dan mengurus rumah tangga," ujarnya.


Utut menyebut partisipasi publik telah dilakukan sejak perencanaan hingga pengesahan, melalui rapat dengan pemangku kepentingan dan pelibatan masyarakat. Ia juga menilai isu dwifungsi seharusnya diuji secara materiil, bukan formil, karena merupakan kekeliruan objek.


"Pada tahap perencanaan 29 Oktober sampai dengan 15 November 2024, baleg DPR RI telah melakukan serangkaian kegiatan yaitu rapat dengar pendapat umum dengan berbagai institusi. Kunjungan kerja ke Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Utara, Sumatra Utara, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara," jelasnya.


Diketahui, MK telah menggelar sidang pendahuluan uji formil dan materiil terhadap UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU TNI, dalam perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025, di Ruang Sidang MK, Jakarta, pada (14/5/2025).


Permohonan ini diajukan oleh koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari YLBHI, Imparsial, Kontras, serta individu seperti Inayah Wahid, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty. Para pemohon menilai UU tersebut tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UUD 1945.


Para pemohon juga menyoroti bahwa revisi UU TNI tidak tercantum dalam Prolegnas Prioritas DPR RI Tahun 2025 maupun daftar RUU prioritas pemerintah hingga 2029. Mereka menilai proses pembahasannya tertutup, tidak transparan, dan tidak akuntabel, sehingga gagal memenuhi prinsip pembentukan hukum. Selain itu, dokumen penting seperti naskah akademik, DIM, dan draf RUU tidak dapat diakses publik.