Nasional

Di Majelis Umum PBB, Katib Aam PBNU: Islam Harus Jadi Pelopor Peradaban Dunia

Kamis, 24 September 2020 | 10:30 WIB

Di Majelis Umum PBB, Katib Aam PBNU: Islam Harus Jadi Pelopor Peradaban Dunia

Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf saat menyampaikan pidato dalam Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rabu (23/9). (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf menyebutkan bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw mengemban aspirasi peradaban. Sebuah nilai yang harus terus diupayakan bagi peradaban manusia di dunia. 


“Islam juga sudah semestinya menjadi pelopor menuju peradaban universal tersebut,” kata Gus Yahya, sapaan akrabnya, saat berbicara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rabu (23/9) malam.


“Kita harus dapat mewujudkan peradaban ideal dunia dengan dasar tiga nilai, yakni ketuhanan, kemanusiaan dan rahmah (kasih sayang),” lanjutnya.


Menurut Gus Yahya, aspirasi peradaban yang dibawa Islam sudah terkandung dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun, tambahnya, pergulatan dunia selama ini begitu sangat dinamis.


“Dan tujuan utama saat ini adalah bagaimana tercipta tatanan global yang harmonis sehingga diperlukan nilai-nilai yang disepakati dan menjadi konsensus bersama,” katanya.


Kini, tegas Gus Yahya, saatnya umat manusia di seluruh dunia memperhatikan kebutuhan untuk menerima Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sebagai nilai untuk mewujudkan peradaban bersama.


“Saat ini kita masuk pada fase di mana umat manusia berproses bersama untuk mewujudkan peradaban global yang tunggal, tak terpisah satu sama lain,” kata kiai yang lahir di Rembang, Jawa Tengah, 54 tahun lalu ini.


Kemudian ia mengungkapkan bahwa dunia telah mengalami sejarah yang sangat panjang, sejak era awal Islam sampai abad ke-20. Hubungan dunia Islam dengan Barat sangat problematik. Ada konflik yang berkepanjangan sehingga persepsi ini mengendap dalam benak umat Islam. 


“Saya kira lahirnya Deklarasi Kairo pada 1990 dilatarbelakangi oleh persepsi semacam ini. Namun, jika kita baca dalam Deklarasi Kairo, sebetulnya tidak yang bertentangan secara substansial dengan UDHR. Semua yang dinyatakan dalam deklarasi tersebut cukup sesuai dengan UDHR,” imbuhnya.


Pada tatanan global, Gus Yahya misalnya menyebutkan peran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketika Munas Alim Ulama pada 27 Februari hingga 1 Maret 2019 yang dihadiri 20 ribu ulama NU, menetapkan kategori kafir yang tidak lagi relevan dalam konteks negara bangsa modern.


“Ini penegasan yang bersifat yurisprudensi tentang satu norma yang harus diterima sekarang,” pungkasnya.


Majelis PBB yang dilakukan secara daring dengan tema Hak Asasi Manusia itu hadir selain Yahya adalah Profesor Bidang Hukum dari Universitas Harvard Amerika Serikat Mary Ann Glendon dan Aktivis Demokrasi asal Tiongkok.


Panel ini dimaksudkan untuk mendialogkan pandangan-pandangan komisi tersebut dengan tradisi-tradisi yang berbeda. Dalam hal ini dengan Islam (Nahdlatul Ulama) dan Konfusianisme.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad