Nasional

Dibayarkan pada Usia 58 Tahun, Penggugat di MK Khawatir Dana Simpanan Tapera Dikorupsi

Senin, 24 Juni 2024 | 14:00 WIB

Dibayarkan pada Usia 58 Tahun, Penggugat di MK Khawatir Dana Simpanan Tapera Dikorupsi

Logo Tabungan Perumahan Rakyat. (Foto: tapera.go.id)

Jakarta, NU Online

Gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sudah masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dua penggugat, Leonardo Olefins Hamonangan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung mengaku merasa khawatir dana simpanan Tapera tidak dibayarkan atau bahkan dikorupsi oleh penyelenggara.


"Bahwa kekhawatiran yang dirasakan para pemohon yang sangat berpotensi besar menyebabkan kerugian konstitusi hak para pemohon ialah simpanan Tapera akan disalahgunakan atau dikorupsi atau susah dikembalikan pada saat  para pemohon sudah memasuki masa pensiun (Usia pensiun berdasarkan Pasal 23 PP nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Tabungan Perumahan Masyarakat adalah mencapai usia 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pekerja Mandiri)," begitu isi gugatan para pemohon, dikutip NU Online dari situs resmi Mahkamah Konstitusi pada Senin (24/6/2024).


Permohonan tercatat dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) nomor 75/PUU/PAN.MK/AP3/06/2024, gugatan tersebut didaftarkan oleh kedua pemohon tersebut pada Selasa (18/6/2024) malam.


Penggugat membuktikannya dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tertuang dalam dokumen berjudul Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Dana Tapera dan Biaya Operasional Tahun 2020 dan 2021 pada BP Tapera dan Instansi Terkait Lainnya di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.


Di dalam laporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (DTT) ini, BPK menemukan bahwa terdapat 124.960 peserta Tapera belum menerima pengembalian dana dengan total sebesar Rp567.457.735.810.


"Para pemohon berdasarkan temuan BPK tersebut sangat wajar sekali takut, gelisah, cemas, dan berpotensi besar kerugian hak para pemohon terlanggar, dan para pemohon meragukan pengamanan dana Tapera dan berpotensi disalahgunakan," jelas pemohon dalam gugatannya.


Korupsi dana masyarakat

Para pemohon juga menyandingkan beberapa penyalahgunaan dana masyarakat seperti data Indonesia Corupption Watch (IC) pada 2021 yang menemukan sebanyak 154 kasus dengan potensi kerugian negara sebesar Rp233 miliar.


"Korupsi yang dilakukan eks Menteri Sosial Juliari Batubara sebesar Rp17 miliar Bansos 2020 dan korupsi pengelolaan dana PT ASABRI. Kasus ini disebut merugikan negara senilai Rp 22,788 triliun," tulis pemohon dalam gugatannya.


Selain itu, dalam gugatan tersebut, kedua pemohon juga bersepakat bahwa Tapera tidak cocok dengan kondisi ekonomi yang berbeda pada setiap tingkatan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.


"Di berbagai daerah, biaya hidup dan harga perumahan bisa sangat berbeda. Kewajiban tabungan yang seragam mungkin tidak sesuai dengan realitas ekonomi di setiap daerah, dan bisa memberatkan pekerja di daerah dengan biaya hidup lebih tinggi," tulisnya.


Selain itu, kedua penggugat menyatakan adanya ketidaksesuaian dengan jenis pekerjaan dalam program Tapera tersebut, sehingga perlu dibedakan kriteria pendapatan antara pekerja mandiri atau freelance yang pendapatannya tidak tetap.


"Akan kesulitan mengikuti skema tabungan yang mengharuskan kontribusi tetap, yang tidak memperhitungkan fluktuasi pendapatan mereka," jelasnya.


Kemudian, kedua pemohon menilai bahwa tujuan program Tapera tidak terukur dengan mempertimbangkan pengaruh inflasi. Sebab secara fakta di lapangan ditemukan bahwa dengan memiliki upah minimum dan tambahan simpanan Tapera belum memberikan jaminan bagi peserta di masa yang akan datang dapat membantu dalam pembelian rumah.


"Hal ini didasarkan bahwa harga rumah semakin naik setiap tahun dipengaruhi oleh inflasi," terangnya.