Nasional MQKN 2023

Diskusi Film Jalan Pendidikan Pesantren, Santri Punya Potensi dalam Dunia Perfilman

Jumat, 14 Juli 2023 | 17:30 WIB

Diskusi Film Jalan Pendidikan Pesantren, Santri Punya Potensi dalam Dunia Perfilman

Yahdi Jamhur, Magdalena Friya, dan Hamzah Sahal saat Diskusi Jalan Pendidikan Pesantren pada MQKN 2023, di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, Kamis (13/7/2023). (Foto: Humas Pendis)

Lamongan, NU Online

Mata semua penonton tidak hentinya tertuju pada layar di panggung utama Musabaqah Qiraatil Kutub Tingkat Nasional (MQKN) Tahun 2023 di Pesantren Sunan Drajat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur pada Kamis (7/14/2023) malam. Santri dari berbagai macam pondok pesantren seantero Nusantara ini sedang menonton Film Jalan Pendidikan Pesantren, sebuah film dokumenter yang menggambarkan tentang bagaimana kehidupan dunia pesantren.


Mereka tidak hanya sekedar menonton, tetapi juga diskusi dengan mereka yang terlibat di belakang layar dalam pembuatan film ini, diantaranya dengan Direktur NU Online Hamzah Sahal, Sutradara Film Dokumenter Yahdi Jamhur, dan Produser Film Magdalena Freya. Diskusi tidak berjalan monoton, tetapi terjadi dialog interaktif antara penonton dengan mereka. Tak ayal diskusi tidak membosankan, beberapa penonton yang notabennya adalah santri berani mengemukakan pendapat, mereka tidak sekadar berpendapat kosong, tetapi penuh dengan isi.


Diskusi santri dari berbagai pondok pesantren

Qismatul Wilayati, mahasantri Ma'had Aly Al-Mubarok Manggisan Wonosobo, Jawa Tengah, misalnya. Ketika Hamzah Sahal selaku moderator mempersilakan para peserta untuk berpendapat di atas panggung, ia langsung memberanikan diri maju ke depan. Santriwati berkerudung merah muda ini mengaku sejak awal sudah sangat penasaran dengan film dokumenter tersebut dan mengaku bangga ada sebuah film dokumenter yang mengangkat tentang santri


“Alhamdulillah dengan melihat film tersebut saya sangat bangga dengan santri, ada satu hal saya teringat satu maqolah al ilmu yarfa'u buyutan la imada laha, wal jahlu yahdimul izza was syarofa, dari sini saya mengingat maqolah itu, ilmu akan meninggikan rumah yang tanpa tiang, sedangkan kebodohan itu akan merobohkan rumah-rumah yang mulia. Dari film tersebut membuat saya teringat akan hal itu,” ujarnya.


Sementara Kharis Sobari dari Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah Medan, Sumatra Utara mengaku yang paling berkesan dari film adalah tentang pendapat dari semua pengasuh pondok pesantren.


“Pesantren harus tetap kita lanjutkan seterusnya, santri dan santriwati harus menjaga pesantren, kitalah pendidik masa depan penerus perjuangan kiai-kia kita. Oleh karena itu kita semua santri sebagai pejuang nilai keilmuan harus berjuang untuk menjaga pesantren,” ujar pria berpostur jangkung itu.


Berbeda dengan keduanya, Aldi Rizki Khoirudin dari Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan mengaku tidak kuasa menitikan air mata. Pasalnya, dalam film dokumenter tersebut, terdapat sosok kiai panutannya, yaitu Almarhum KH Dian Nafi’, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan. Pria berkacamata itu menyampaikan apa yang dikatakan oleh sosok kiai panutannya.


“Beliau menyampaikan bahwa empat hal tentang pesantren yang beliau temukan di tahun 2004 yang pertama ada kebanyakan pesantren gagal berdialog dengan kemampuan-kemampuan yang visioner, karena pesantren terlalu berpikir ke belakang, tidak tuntas mendiskusikan budaya ke depan,” ujarnya.


Santri berkemeja hitam kotak-kotak itu menjelaskan bahwa budaya ke depan salah satunya budaya perfilman, yang merupakan budaya orang yang memiliki intelegensi tinggi.


“Jadi teman-teman santri kita harus semangat menggambarkan pesantren ini di dalam sebuah bentuk yang milenial. Karena tantangan dakwah itu semakin luar biasa dan dengan film bisa memberitahukan bahwa pesantren itu luar biasa. Jika kita gagal memahami kebutuhan ke depan kita hanya menjadi kaum pesantren yang tinggal di pesantren saja. Padahal pesantren jauh lebih luar biasa dan santri itu paket lengkap,” ungkapanya.


“Pernyataan kedua tentang budaya menulis yang hilang di pondok pesantren, ketiga kurangnya ruang common sense di pesantren, keempat pemahaman kitab. Maka Pesantren harus mampu memahami kitab dan mencerminkan pemahaman kitab tersebut di dalam kehidupn sehari-hari, pesantren harus mampu membentuk ahli-ahli,” pungkasnya.


Santri punya potensi dalam dunia perfilman

Sutradara Yahdi Jamhur mengaku Film Jalan Pendidikan Pesantren merupakan film dokumenter pertamanya yang membahas tentang pondok pesantren. Ia mengaku dari film tersebut juga memberinya pengalaman 20 hari bisa berkeliling ke berbagai pondok pesantren. Hal tersebut membuat ia memiliki pemahaman baru tentang dunia pondok pesantren.


“Justru ketika saya produksi syuting sekian waktu itu, banyak pemahaman baru buat saya, termasuk ucapan Gus Kautsar, tentang santri bersama-sama di pondok pesantren dengan latar belakang yang berbeda-beda, beda suku bangsa, daerah bahasa. Itu saya pikir hebatnya pondok pesantren di Indonesia sehingga Nasionalisme itu sudah terbangun di pondok pesantren,” ujarnya.


Ia mengatakan kekurangan dunia film Indonesia saat ini kita adalah tidak ada sineas atau aktor yang berlatar belakang santri, sehingga ketika ada film berkaitan dengan dunia pondok pesantren kurang karakternya. Dari pembuatan film dokumenter tersebut juga membuat dirinya tahu bahwa ternyata pondok pesantren memiliki potensi luar biasa dalam perfilman. 
    

“Saya membayangkan kalau dari pondok pesantren juga ada sineas-sineas, pemain film juga. Itu salah satu bentuk mensyiarkan tentang Islam, segala macam kebaikan pondok pesantren, segala macam kebaikan pondok pesantren biar dilihat oleh publik umum, di sini ilmunya tinggi banget.  Saya pikir santri nggak kurang ilmunya,” pungkasnya.


Hal senada juga diungkapkan oleh Produser Film Magdalena Friya. Ia mengaku bahwa film dokumenter tersebut juga merupakan film tentang pondok pesantren yang pertama bagi dirinya. Selain itu ia  juga mendapatkan pengalaman luar biasa, tentang santri yang tidak pernah lelah dalam belajar.


“Saya selalu terkagum-kagum melihat santri-santriwati, kagumnya minta ampun, nggak berhenti belajar nggak berhenti mengaji. Kemudian saya juga kagum para kiai tentu ngurusi sekian banyak santrinya. Banyak hal yang menyentuh ketika santri bercerita tentang keluarga, tetapi santri di sini luar biasa,” ujarnya.

 
Film documenter yang ditayangkan dalam momen itu merupakan film yang mendokumentasikan tentang kenyataaan, dengan kata lain non-fiksi. Terlibat menjadi pemeran dalam film dokumenter ini di antaranya Pengasuh Ponpes Al Mahrusiyah Lirboyo Kediri KH Reza Ahmad Zahid, Akademisi Ahmad Ginanjar Sya'ban, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri KH Abdurrahman Al-Kautsar, Pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta KH Hardiyanto Arief, Rais Syuriah PBNU KH Masdar Mas’udi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan KH Dian Nafi, Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Martapura KH Hasanuddin, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Banjarbaru KH Syamsunie.


Kontributor: Malik Ibnu Zaman