Nasional

Gus Baha Jelaskan Bahayanya Kritik yang Membunuh Karakter Seseorang

NU Online  ·  Ahad, 27 Juli 2025 | 17:00 WIB

Gus Baha Jelaskan Bahayanya Kritik yang Membunuh Karakter Seseorang

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menyebutkan satu hal yang memiliki kerusakan cukup besar saat ini yaitu pembunuhan karakter seseorang. 


Menurut Gus Baha, pembunuhan karakter menjadi masalah serius di era modern. Terutama sejak kemunculan media sosial seperti Whatsapp, Instagram, Facebook, Tiktok dan lainnya yang membuat informasi mudah tersebar dengan cepat. 


"Di era modern, yang paling bahaya itu kritik yang membunuh karakter terutama bagi yang saleh, terkadang sering melakukan hal begini tanpa terasa," jelas Gus Baha seperti dikutip dari kanal Youtube PP Damaran 78 Mazroatul Ulum Official, Ahad (27/7/2025). 


Gus Baha lalu menyebutkan contoh dari pembunuhan karakter, semisal ada seorang bernama Zaid yang pernah belajar di pondok. Lalu ada temannya bernama Umar mengatakan ke publik atau membunuh karakter Zaid dengan membeberkan bahwa Zaid saat di pondok terbiasa qhada shalat, hafalan sulit, dan nakal.


Umar mengatakan begitu karena ambisi ingin jadi imam masjid maka sengaja membunuh karakter Zaid. Padahal Zaid akan menjadi cahaya atau tokoh di daerahnya (sayashiru nur fiiqaumihi) karena dari daerah tertinggal. Zaid melatih masyarakat dalam bab istinja', thaharah, melatih cara puasa, meskipun di pondok sulit hafalan dan nakal. 


"Pokoknya jangan suka membunuh karakternya orang, kasihan sekali. Dampak lainnya membuat tidak laku nikah, karena ada yang iri lalu menginformasikan begini dan begini. Cuma kalau ada seseorang yang potensi menyesatkan, maka boleh disampaikan," imbuhnya. 


Gus Baha menegaskan, bisa jadi orang seperti Zaid yang dianggap Umar tidak penting dan tidak sebaik dirinya adalah rujukan atau pimpinan kaumnya dalam memahami agama Islam. Zaid yang mondok selanjutnya akan mendidik agama di daerahnya.


Sementara itu, Umar yang ingin jadi rais aam, imam masjid, ketua majelis ulama, atau apapun itu yang sifatnya bukan fardhu ain, kemudian Umar secara terbuka mengatakan Zaid suka qadha' shalat, lalu terkena mental dan tidak percaya diri jadi tokoh agama di daerahnya setelah disebarluaskan aibnya. Hal itu berdampak pada Zaid sampai tidak berani tampil di masyarakat selamanya.


Padahal sosok seperti Zaid merupakan pengajar atau calon pengajar agama yang bersifat fardhu ain. Sementara keinginan jadi imam masjid dari Umar bukan hal mendesak. Seandainya, orang seperti Umar tidak jadi pun masih ada orang lain. Hal serupa bisa juga terjadi pada hal lain seperti ambisi jadi pejabat negara.


"Saya peringatkan kepada yang jadi kiai atau yang saleh, kadang-kadang malah membunuh karakter sesama orang yang berjuang di jalan Allah dan anak bangsa yang berpotensi menjadi tokoh agama," tegas ulama asal Rembang, Jawa Tengah ini. 


Contoh lain, kata Gus Baha, pembunuhan karakter seseorang terjadi menjelang pemilihan pemimpin di tingkat desa, kabupaten, hingga nasional. Bisa pemimpin organisasi Islam maupun pemerintahan. 


Dampaknya, lalu ada masyarakat mengatakan bahwa yang dijatuhkan harga diri tersebut tidak sah menjadi pemimpin karena ada kiai lain yang pernah menceritakan kejelekannya. Hal ini juga alasan mazhab Sunni menolak paham takfiri, seakan menghukumi seseorang tidak dalam rahmat Allah swt. 


"Sering kali seseorang buat ukuran dengan sendirinya. Padahal dalam agama, mana yang mendesak terlebih dahulu dan dampaknya besar. Sekarang ada orang yang berjuang di daerah plosok Salatiga, masyarakatnya belum tahu apa-apa bab agama. Ini hal penting banget,"kata Gus Baha. 


Gus Baha beralasan, larangan membunuh karakter seseorang ini karena dampaknya cukup besar dan panjang. Jika orang seperti Zaid tidak mau lagi tampil, di daerah tersebut tidak ada tokoh agamanya, tidak ada nur fii qaumihi (cahaya di kaumnya). Ini hal yang membahayakan. Padahal hakikatnya dulu ada tokoh agama, sekarang tidak ada lagi karena dibunuh karakternya oleh tokoh lain. 


"Pembunuhan karakter itu tidak harus tentang zina, mengadili atau mengatakan sesuatu yang membuat orang terbunuh karakternya. Ini sudah masuk terzalimi. Nanti pahalanya diberikan ke orang yang dizalimi. Membunuh karakter, membuat orang tidak punya masa depan," pungkas Gus Baha.