Nasional

Humanitarian Islam, Representasi Islam Paling Relevan di Dunia Internasional

Kamis, 12 September 2024 | 08:00 WIB

Humanitarian Islam, Representasi Islam Paling Relevan di Dunia Internasional

Najib Azca, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), pada Seminar Nasional Humanitarian Islam di UNS Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (11/9/2024). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube NU Online)

Surakarta, NU Online

Humanitarian Islam dianggap sebagai salah satu representasi Islam yang paling relevan di dunia internasional saat ini.


Hal ini disampaikan oleh Muhammad Najib Azca, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam seminar yang digagas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, pada Selasa (11/9/2024).


Menurut Najib, gagasan Humanitarian Islam yang diangkat oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf ini dianggap sebagai sebuah gagasan yang tepat dalam merespons krisis global saat ini. Bahwa Humanitarian Islam adalah gagasan yang memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi signifikan dalam konteks global, terutama dalam menghadapi tantangan geopolitik dunia yang terus berubah.


“Humanitarian Islam merupakan sebuah gagasan dan gerakan global yang hadir pada saat yang tepat ketika dunia memang sedang berubah,” jelas lulusan Universiteit van Amsterdam itu.


"Perdamaian antara Arab Saudi dan Iran, misalnya, dimediasi oleh China. Proses-proses perdamaian di Timur Tengah tidak lagi dilakukan oleh Amerika tapi oleh Tiongkok," imbuhnya.


Negara di Timur Tengah, lanjut Najib, sedang memerlukan mitra baru dalam permainan global. Salah satu aktor Muslim terpenting global adalah Indonesia. Indonesia yang dimaksud itu adalah Nahdlatul Ulama.


Karenanya, ia menekankan pentingnya nama "Humanitarian Islam" dalam perspektif Islam. Nama, menurutnya, memiliki makna yang dalam, terutama dalam konteks politik. Humanitarian Islam, menurut pandangan tersebut, memberi label yang sangat kuat untuk merepresentasikan Islam di dunia internasional dengan fokus pada nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.


“Nama itu bukan sekadar sebutan, tetapi memiliki kekuatan untuk mengklaim dan memberikan makna atas sesuatu,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBNU itu.


Selain itu, ia menyoroti peran istilah Islam Nusantara yang sebelumnya telah dikenal luas. Meski istilah ini penting dalam konteks lokal, ia memiliki keterbatasan karena hanya relevan dalam konteks Nusantara, dan kurang bersifat universal. 


Berbeda dengan Islam Nusantara, Humanitarian Islam memiliki fleksibilitas lebih luas, karena bisa diterapkan di berbagai negara, termasuk di Timur Tengah, Eropa, dan negara-negara lain. 


“Humanitarian Islam dapat hidup dan berkembang di negara mana pun, termasuk negara-negara Muslim seperti Arab Saudi, maupun negara-negara di Eropa,” ungkapnya.


Lebih jauh, Najib menjelaskan bahwa Humanitarian Islam juga memiliki potensi untuk menginspirasi agama lain. Ia mengatakan bahwa gagasan ini bukan hanya relevan bagi umat Islam, tetapi juga bisa menginspirasi umat agama lain untuk mengadopsi nilai-nilai kemanusiaan dalam ajaran mereka.


“Humanitarian Islam bisa menginspirasi lahirnya Humanitarian Hindu, Humanitarian Budha, Humanitarian Katolik dan seterusnya,” tambahnya.


Dalam konteks geopolitik, Humanitarian Islam menjadi sangat relevan. Dunia yang saat ini sedang mengalami perubahan signifikan, dengan tidak lagi berpusat pada satu kekuatan tunggal seperti Amerika Serikat, menghadirkan tantangan dan peluang baru. 


Dunia saat ini semakin multipolar, dengan banyak negara mulai memperkuat aliansi baru. Ia menyebut, dunia sedang memasuki era multipolarisme, yaitu suatu masa saat kekuatan global tersebar di berbagai wilayah, dan unilateralisme mulai menguat.


Lebih lanjut, ia menekankan bahwa salah satu aktor Muslim paling penting di dunia saat ini adalah Indonesia, khususnya NU. Organisasi Islam terbesar ini dianggap sebagai representasi Islam yang mampu menjembatani peran Islam di kancah internasional dengan pendekatan yang inklusif, moderat, dan kemanusiaan.


“Indonesia, dalam hal ini Nahdlatul Ulama, menjadi salah satu aktor Muslim yang sangat penting di panggung global. Langkah-langkah progresif yang diambil oleh NU memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin dalam promosi Islam yang moderat dan damai,” tegasnya.


Perubahan global yang melibatkan negara-negara Timur Tengah dalam mencari mitra baru semakin menunjukkan relevansi Humanitarian Islam. Di tengah dinamika politik yang semakin kompleks, Humanitarian Islam menawarkan solusi yang fokus pada nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan dialog antarbangsa.


Dengan gagasan ini, NU dan Indonesia memiliki peran strategis dalam mendukung perdamaian dan stabilitas global, terutama di wilayah yang selama ini rentan terhadap konflik.


Najib mengakhiri presentasinya dengan menekankan bahwa Humanitarian Islam bukan hanya sebuah gagasan, tetapi juga gerakan global yang berupaya menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan damai.


Dengan perubahan geopolitik yang terjadi, Indonesia melalui NU dapat memainkan peran signifikan dalam proses perdamaian dan kolaborasi global.


“Langkah-langkah progresif yang diambil oleh Islam atau Nahdlatul Ulama sangat penting untuk diperhatikan. NU melalui Humanitarian Islam menawarkan pendekatan yang relevan untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi dunia saat ini, baik dalam konteks politik global maupun isu-isu kemanusiaan,” pungkasnya.