Nasional

PBNU Gelar Seminar Humanitarian Islam di UNS Besok

Selasa, 10 September 2024 | 13:00 WIB

PBNU Gelar Seminar Humanitarian Islam di UNS Besok

Poster Diskusi Humanitarian Islam di UNS.

Surakarta, NU Online

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar diskusi mengenai Humanitarian Islam di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah pada Rabu (11/9/2024). Seminar ini merupakan rangkaian kegiatan “Road to International Conference on Humanitarian Islam” oleh PBNU bekerja sama dengan Universitas Indonesia yang akan diselenggarakan pada 4-7 November 2024.


Kegiatan ini akan diisi oleh enam narasumber, yakni adalah Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf; Rektor UNS Prof Hartono; Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Noorhaidi Hasan; Dekan Fakultas Teknik UI Prof Heri Hermansyah; Dosen UNS dan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Ibrahim Fatwa Wijaya; Dosen FISIP UGM dam Wasekjen PBNU M Najib Azca; Budayawan dan Kepala Makara Art Cetre UI Ngatawi al-Zastrouw; dan Dekan Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia) Jakarta Ahmad Suaedy.


Diskusi Humanitarian Islam ini dilatari pergerakan dunia ke arah yang tidak menentu dan semakin kompleks. Dunia menghadapi berbagai tantangan besar yang mengancam stabilitas dan kemanusiaan dari rasisme, ekstremisme, konflik dan perang hingga ketidakadilan global. Dominasi sekularisme dan neoliberalisme telah membawa dunia pada krisis yang tanpa ujung. Namun peran agama yang kian kuat membawa dunia menuju ke arah ditemukannya kesimbangan baru.


“Humanitarian Islam hendak memberikan tawaran bagi diperkuatnya keseimbangan baru tersebut,” kata Suaedy.


Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim dan terkenal sebagai bangsa yang selalu mengedepankan pertimbangan agama dan spiritual dalam berbagai keputusan dan keberpihakan memiliki tanggung jawab untuk memberikan tawaran bagi solusi dunia tersebut. Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya berinisiatif menawarkan suatu perspektif yang diinspirasi oleh ajarah Islam Ahlusunnah wal Jamaah atau Aswaja, para pendiri (muassis) Nahdlatul Ulama (NU), budaya dan tradisi nusantara serta gerakan Islam lainnya dengan Humanitarian Islam.


Berbeda dengan konsep humanisme yang berakar pada sekularisme dengan penyeragaman, humanitarian Islam berakar pada ajaran dan etika Islam serta tradisi dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat setempat, Nusantara dan Indonesia dengan tetap mengormati keragaman.

“Tradisi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika serta Islam Rahmatan lil ‘Alamin adalah sejumlah akar yang bisa dikaji dan ditelusuri serta dikonseptualisasi untuk memberikan sumbangan bagi perdamaian dunia,” katanya.


Humanitarian Islam sendiri, jelas Suaedy, telah dicetuskan sejak 10 tahunan yang lalu dalam konteks perkembangan pemikiran dan gerakan NU sebagai kelanjutan dan perkembangan dari konsep khittah NU 1926, Pribumisasi Islam, Islam Rahmatan lil ‘Alamin, dan Islam Nusantara serta Fiqh Peradaban yang sejalan dengan konsep dasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Konsep Humanitarian Islam sendiri telah diperdebatkan oleh sejumlah intelektual dan akademisi di Eropa dan bagian dunia yang lain. Ia menyebut Rüdiger Lohlker dan Katharina Ivanyi yang berhasil mengedit sebuah buku berjudul Humanitarian Islam: Reflecting on an Islamic Concept dan diterbitkan Brill pada tahun 2023.


Suaedy menjelaskan bahwa Humanitarian Islam atau Islam Kemanusiaan, menekankan aspek kemanusiaan dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip dasar seperti keadilan (`adl), kesejahteraan (alrafahiyyah), kebaikan (mashlahah), dan kasih sayang (rahmah) menjadi landasan dalam merespons berbagai krisis yang dihadapi dunia.


Dalam menghadapi radikalisme dan rasisme yang muncul selama ini, Humanitarian Islam menawarkan pendekatan yang menolak kekerasan dan mendorong dialog serta saling menghormati antaragama dan antarbudaya namun juga kritis tehadap kecenderungan dominasi liberalisme yang berlebihan. “Humanitarian Islam juga menawarkan suatu landasan dan perspektif agama berbasis pada nilai-nilai universal dan melampaui (beyond) ideologi dan identitas,” pungkasnya.
 

Diskusi ini juga akan dihadiri para tokoh lintas iman, pimpinan ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, MUI, KWI, PGI, PHDI, Walubi, pimpinan perguruan tinggi, lembaga studi dan penelitian, pesantren serta mahasiswa, sebagai peserta seminar.