Nasional

Jelang Pilkada 2024, Gus Ghofur Imbau Nahdliyin Tak Tonjolkan Identitas yang Bisa Kucilkan Kelompok Lain

Rabu, 18 September 2024 | 18:30 WIB

Jelang Pilkada 2024, Gus Ghofur Imbau Nahdliyin Tak Tonjolkan Identitas yang Bisa Kucilkan Kelompok Lain

Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen mengimbau Nahdliyin agar tidak menonjolkan identitas pribadi yang bisa mengarah pada pengucilan identitas kelompok lain.


“Kita ini masyarakat plural, jangan sampai menampilkan identitas sehingga mengebiri identitas-identitas orang lain. Kita ingin mencari persamaan-persamaan, salah satu nilai positif dalam politik adalah mencari kesamaan,” kata Gus Ghofur kepada NU Online, Rabu (18/9/2024).


Ia menekankan pentingnya mencari titik temu dalam berpolitik daripada memperuncing perbedaan.


“Esensi dari politik yang baik adalah bagaimana A dan B bisa mendekat, bukan ketika saya berkuasa, saya hilangkan A atau B. Politik harus mencari persamaan,” imbuhnya.


Gus Ghofur menyebut usai pemilu, kebijakan para pemimpin terpilih bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa menimbulkan gejolak. Oleh karena itu kampanye harus dilakukan secara bijak.


“Kalau goals-nya seperti itu maka harus dimulai dengan cara kampanye yang baik. Jangan sampai menampilkan identitas yang mengarah kepada peminggiran terhadap identitas orang lain,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang, Rembang.


Menurut Gus Ghofur, proses kampanye dalam Pilkada yang menonjolkan identitas yang bisa mengucilkan kelompok lain bertentangan dengan prinsip NU yang mengedepankan kebangsaan, rahmatan lil alamin  serta mengayomi semua golongan.


“Kita sudah memberikan warning (peringatan), dalam kampanye politik sering kali watak buruk kekuasaan muncul, di mana orang melakukan apa saja demi meraih kekuasaan. Jadi, tugas para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat  meminimalisir efek negatif tersebut,” pungkasnya.


9 Pedoman Berpolitik Warga NU

NU telah memiliki sembilan pedoman berpolitik atau panduan moral bagi warga NU di bidang politik yang diputuskan dalam Muktamar NU Ke-18 di Krapyak, Yogyakarta, pada 1989.


1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.


2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.


3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.


4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.


6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.


7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.


8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.


9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.