Nasional

Kaderisasi Parpol yang Mandek dan Putusan KPU Jadi Sebab Maraknya Calon Tunggal pada Pilkada 2024

Selasa, 10 September 2024 | 21:00 WIB

Kaderisasi Parpol yang Mandek dan Putusan KPU Jadi Sebab Maraknya Calon Tunggal pada Pilkada 2024

Ilustrasi pemimpin sedang pidato. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seharusnya menjadi ajang kompetisi bagi partai politik dan pasangan calon. Namun, kaderisasi partai politik (parpol) yang mandek dan keputusan KPU yang menghambat parpol mengusung paslon, menjadi sebab maraknya calon tunggal pada Pilkada 2024.


Hal ini menjadi pembahasan dalam diskusi daring bertajuk Pilkada Calon Tunggal dan Kemunduran Demokrasi Lokal di Indonesia, pada Senin (9/9/2024) yang dihadiri oleh berbagai media.


Manajer Riset Perludem Fadli Ramadhani mengatakan, persoalan mendasar dalam fenomena calon tunggal ini terletak pada proses kaderisasi dan rekrutmen politik oleh parpol.


Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXI/2024 telah membuka peluang bagi parpol untuk mengusung calon tanpa koalisi.


“Jadi dari fenomena ini problem utama adalah proses rekrutmen dari parpol. Harusnya dari 5 tahun sejak 2020-2024 partai bekerja; melihat, mengamati, melakukan kaderisasi rekrutmen politik agar mendorong dan menghasilkan figur-figur baik eksternal maupun internal untuk disiapkan jadi kepala daerah,” ucap Fadli.


Persoalan kedua, peran KPU dalam mencegah calon tunggal. Menurut Fadli, KPU sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2024,l yang membuka ruang agar fenomena calon tunggal bisa dihindari.


Namun, implementasi di lapangan masih menemui banyak kendala termasuk kesulitan teknis dialami parpol yang ingin mengubah koalisinya agar bisa mengusung calon alternatif.


“Kalau KPU konsisten menjalankan putusan MK untuk mengusahakan secara sungguh-sungguh agar penyelenggaraan kepala derah tidak diikuti calon tunggal dengan langkah strategis dan taktis yang dibuat KPU, ya tidak ada paslon tunggal,” ujarnya.


“Yang terjadi KPU mempersulit melalui beberapa keputusan parpol yang ingin mengubah gabungan parpolnya, sehingga tidak ada pasangan calon lain yang bisa mendaftar agar pilkada tidak calon tunggal,” bebernya.


Sementara itu, Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan bahwa fenomena calon tunggal merupakan bentuk ekstrem dari terbatasnya kompetisi politik di tingkat lokal.


Ia menilai, semakin terbatasnya kompetisi politik di kabupaten/kota merupakan tanda bahwa sistem demokrasi lokal kurang mampu mewadahi aspirasi masyarakat secara beragam.


“Seharusnya, dengan adanya banyak partai politik, minimal di tingkat pusat ada delapan partai yang lolos parlemen, di kabupaten/kota terdapat ada 14 yang lolos. Idealnya, dengan beragamnya aspirasi, kompetisi politik harusnya lebih dinamis dengan banyak calon yang bersaing,” kata Djayadi.


Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa demokrasi cenderung tidak memberikan ruang bagi aspirasi masyarakat di tingkat lokal. Elite politik di tingkat nasional dan daerah lebih memilih menghindari kompetisi.


“Fungsi demokrasi sebetulnya melindungi kebebasan dan cara menyerap aspirasi yang berbeda. Tetapi elite kita di tingkat nasional dan daerah tidak suka kompetisi, maunya yang berkompetisi sedikit dan terjamin menang,” kata Djayadi.


Peneliti Perludem Haykal mengungkapkan bahwa Putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 sebenarnya membuka ruang bagi lebih banyak calon kepala daerah untuk maju dalam Pilkada serentak. Ini juga menjadi kesempatan bagi partai politik untuk memperkuat demokrasi di tingkat lokal.


“Potensi dan ruang yang sudah dibuka setelah keputusan MK ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh partai politik. Namun, sayangnya hanya satu daerah yang berpotensi memiliki calon tunggal, sementara kenyataannya ada 41 daerah,” lanjutnya.


Namun, kecenderungan partai politik untuk lebih memilih berkoalisi daripada bertarung menyebabkan potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal.


Berdasarkan analisis Tim Peneliti Perludem, dari 41 daerah yang berpotensi memiliki calon tunggal, hanya ada satu daerah yakni di Aceh Utara.


“Berdasarkan data yang kami analisis, hanya ada satu daerah dari 41 daerah, yaitu Kabupaten Aceh Utara, yang berdasarkan hasil pemilu legislatif hanya memiliki satu partai politik yang lolos ambang batas,” jelas Haykal.


Di sisi lain, KPU belum mempersiapkan secara maksimal teknis pengunduran partai politik atas pasangan calon yang didukung, dan sistem informasi pencalonan juga masih bermasalah.


“Ditambah lagi, kesiapan KPU dalam hal teknis pengunduran, seperti pencabutan dukungan dari partai politik kepada pasangan calon yang didukung, masih menemui banyak kendala, termasuk dengan sistem informasi pencalonan,” jelas Haykal.


“Fakta ini menunjukkan bahwa perpanjangan masa pendaftaran yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuka peluang lebih besar bagi partai politik lain ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan,” tandas Haykal.