Nasional

Kasus Kekerasan Seksual Jadi PR Besar Bangsa Indonesia

Jumat, 10 Desember 2021 | 08:08 WIB

Kasus Kekerasan Seksual Jadi PR Besar Bangsa Indonesia

Ilustrasi kekerasan seksual. (Foto: pixabay)

Jakarta, NU Online
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi salah satu PR besar untuk diselesaikan. Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat lebih dari 49.000 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia.


Namun di waktu yang sama, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tidak kunjung juga menemui titik terang, meski pada 2021 ini sudah masuk kembali ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR.


Hal itu, kata Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor membuat dilema bahkan krisis. “Tahun ini, RUU TPKS sudah masuk lagi ke Prolegnas memang, tapi ini prosesnya masih panjang hingga sampai ke pengesahan. Karenanya, kemungkinan korban masih bisa bertambah,” tuturnya kepada NU Online, Kamis (9/11/2021) malam.


Bicara kekerasan seksual, dirinya turut menyoroti kejadian pilu yang menimpa Novia Widyasari (NWR). Menurutnya itu hanyalah 1 dari sekitar 4000 kasus serupa yang terjadi sepanjang Januari hingga Oktober 2021.


"Di balik data ini tentu kita juga mendengarkan bahkan (mungkin) menyaksikan betapa penderitaan korban terus silih berganti," katanya lirih.


Mengenai kasus NWR, ia mengakui bahwa pada pertengahan Agustus lalu Komnas Perempuan mendapat laporan terkait kasus NWR tersebut. Setelah diproses secara prosedural, pada 10 November Komnas Perempuan bisa berkomunikasi secara langsung dengan NWR.


“Dari sana kami mengetahui bahwa korban NWR berharap Komnas Perempuan bisa membantunya melakukan mediasi dengan pelaku dan keluarganya,” ungkap Maria.


Sebagai tindak lanjut, Komnas Perempuan memberi rujukan ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mojokerto.


Namun, karena keterbatasan psikolog di P2TP2A Mojokerto, NWR tidak bisa langsung mendapatkan pendampingan dan dianjurkan untuk menunggu hingga awal Desember.  


“Kami sudah merujuk ke P2TP2A Mojokerto, tapi di sana antri karena keterbatasan psikolog dan baru bisa ditangani pada awal Desember. Tapi, ternyata NWR sudah meninggal,” terangnya.


Oleh sebab itu, Maria menegaskan bahwa dorongan kepada DPR untuk segera mengesahkan RUU TPKS harus terus digaungkan agar korban kekerasan seksual bisa tetap mendapatkan haknya.


“Dengan adanya RUU ini, akan ada sistem pencegahan komprehensif agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan,” tegas Aktivis perempuan asal Indramayu ini.


Hal urgen lainnya, lanjut dia bahwa diskusi mengenai kekerasan seksual tidak hanya mencakup tentang cara pencegahan. Tapi juga harus ditentukan penyelesaian kasus dan penanganan terhadap kondisi korban.


“Bukan hanya tindakan pencegahan, namun juga upaya penanganan apa yang bisa kita lakukan sehingga korban kekerasan dapat mendapatkan haknya," jelasnya.


Ia juga menyarankan, agar proses pemidaan bagi pelaku dibarengi dengan rehabilitasi pola pikir kesetaraan gender guna meminimalisasi tindakan-tindakan merendahkan perempuan.


“Soal proses pemidanaan bagi pelaku bagi saya ia tidak saja harus dihukum penjara, tetapi juga mendapatkan rehabilitasi pola pikir biar ke depan tidak lagi merendahkan perempuan sedemikian adanya,” imbuhnya.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin