Nasional

Kemandirian Internal Pesantren Fondasi Berkibarnya Islam Wasathiyah

Senin, 19 Agustus 2019 | 07:00 WIB

Kemandirian Internal Pesantren Fondasi Berkibarnya Islam Wasathiyah

Ketua Rabithah Maahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Abdul Ghafar Rozin saat menjadi pembicara kunci pada seminar Islam Wasathiyah di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lantai 8, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin (19/8).

Jakarta, NU Online
Indonesia merupakan satu di antara sebagian kecil negara dengan penduduk Islam terbesar sejak awal sudah selesai antara Islam dan demokrasi. Para pendiri bangsa menerima demokrasi menjadi sistem negara dan tidak mempertentangkannya dengan Islam.

Hal itu dibuktikan dengan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara. “Untuk mempertahankan negeri ini, 7 kata Pancasila dihilangkan,” kata KH Abdul Ghofar Rozin, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU), saat menjadi pembicara kunci pada seminar tentang Islam Wasathiyah di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin (19/8).

Para tokoh pesantren juga tampil menerima kesepakatan tersebut, seperti KH Abdul Wahid Hasyim. “Ini juga fakta pesantren,” katanya pada acara bertema Peta Jalan Islam Wasathiyah untuk Islam Indonesia dan Dunia: Kontribusi Pesantren itu.

Hal itu, menurutnya, agar pesantren siap menjadi rujukan Islam dunia. “Supaya ketika saatnya tiba Indonesia menjadi rujukan Islam dunia, tidak lain pesantren sebagai rujukannya,” lanjutnya.

Gus Rozin mengungkapkan bahwa umat Islam Indonesia mampu mengombinasikan ajaran Islam dan demokrasi. Darinya, persatuan dan kesatuan Indonesia tetap terjaga, meskipun terdiri dari banyak perbedaan, 714 suku, 600-an bahasa lokal, dan beragam agama. “Inilah Islam yang berasal dari pesantren,” ujarnya.

Namun, ia juga menyampaikan bahwa sampai hari ini masih banyak pesantren yang belum diakui secara hukum. Pasalnya, tak sedikit yang mengurus legalisasi dan administrasi pondok pesantren. “Bagaimana pesantren diakui hukum. Tetapi di lain pihak ktp saja tidak punya,” katanya.

Oleh karena itu, Gus Rozin mengajak pengasuh dan pengelola pesantren untuk segera membuat pesantrennya berbadan hukum. Hal itu, menurutnya, agar dapat meningkatkan kemandirian pesantren.

Sebab, menurutnya, pesantren harus mandiri dalam berbagai halnya. Tidak hanya transmisi keilmuannya saja, tetapi juga secara ekonominya. “Mekanisme transfer keilmuan tidak akan sempurna tanpa kemandirian ekonomi,” katanya.

Dengan begitu, pesantren sebagai rujukan Islam Wasathiyah dunia internasional akan semakin bisa dibuktikan ke depan. Tanpa kemandirian secara internalnya, pesantren tidak bisa berperan sempurna dalam membawa bendera Islam Wasthiyah.

“Kemandirian internal jauh lebih baik, lebih afdol. Mengurus kemandirian ekonominya menjadi dasar ke depan pembawa bendera Islam wasathiyah,” pungkasnya.

Saat ini, tak kurang dari 23 ribu pondok pesantren ada di seluruh Indonesia. Jawa Barat menduduki peringkat pertama pesantren terbanyak se-Indonesia dengan lebih dari 9000. Meskipun demikian, ada kemungkinan jumlah santri lebih banyak di wilayah Jawa Timur karena setiap pondok pesantren memiliki ribuan bahkan belasan ribu santri. (Syakir NF/Fathoni)