Nasional

Ketika Martin van Bruinessen Terkesan saat Ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati

Jumat, 16 Agustus 2024 | 21:00 WIB

Ketika Martin van Bruinessen Terkesan saat Ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati

Martin van Bruinessen menjadi narasumber pertama dalam program Menjadi Indonesia di NU Online. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Jumat Kliwon di Makam Sunan Gunung Jati memberikan kesan tersendiri bagi Martin van Bruinessen, seorang akademisi yang meneliti Islam di Indonesia. Pasalnya, apa yang ia temui di sana tidak pernah ia dapati saat berkunjung dan meneliti Islam di Timur Tengah. Hal ini mengingat ramainya peziarah pada hari tersebut.


Hal tersebut ia ceritakan secara eksklusif dalam program Menjadi Indonesia yang tayang di kanal Youtube NU Online pada Jumat (16/8/2024).


"Pengalaman yang sangat mengesankan. Di sini ada satu budaya yang sangat lain sekali dari Islam di Timur Tengah, sangat hidup dan merakyat. Rakyat kecil, orang desa, datang ke sana (makam Sunan Gunung Jati)," katanya.


Hal tersebut tidak ia dapati di Timur Tengah setelah berkeliling mengikuti sejumlah ritual tarekat. "Tidak ada di Kurdi. Saya ikut berbagai tarekat di sana tidak ada ritual seperti itu," katanya.


Hal berkesan lainnya saat ia berziarah ke Goa Saparwadi, tempat dimakamkannya Syekh Abdul Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tempat itu juga memberikan kesan tersendiri  bagi Martin.


Sebab, ia melihat keramaian pasar di sana yang menjajakan sejumlah barang dagangan sebagai oleh-oleh untuk menandai bahwa orang tersebut pernah berkunjung ke sana.


Pengambilan wilayah studi di wilayah Sunda itu dilatari keinginannya mengambil kelompok etnis yang bukan terbesar dan bukan terkecil, seperti Kurdi. "Jadi saya harus memilih antara Madura dan Sunda sebagai kelompok etnis yang kuat di Indonesia tetapi bukan paling kuat," ujarnya.


Pilihannya dalam meneliti Islam di Indonesia itu juga dibayangi sebuah konsep praktik keislaman yang berbeda dari Islam yang saya kenal di Turki, Iran, Kurdi yang pernah ia kunjungi dan teliti sebelumnya. Bahkan saat Revolusi Iran pun, ia tengah berada di wilayah tersebut.


"Saya merasa Indonesia memang berbeda, terutama karena latar belakang budaya yang berbeda," lanjut penulis buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat itu.


Perbedaan itu ia lihat saat membaca tesis Clifford Geertz tentang Santri, Priyayi, dan Abangan. Ia membayangkan, bakal menemui hal berbeda di Jawa Barat dengan temuan Geertz di bagian Jawa yang lain.

 

Sebab, ada sejumlah umat Islam yang mengusung Darul Islam yang dalam bayangannya terbentuk masyarakat Jawa Barat yang semuanya santri, tidak ada abangan. Namun, hal yang ditemuinya justru mengungkap fakta yang berbeda.


"Saya ke daerah yang pusat Darul Islam, tapi kok praktik keagamaan sangat abangan. Mereka sembahyang lima waktu tetapi punya kebiasaan abangan tetap ada di sana," katanya.


Ia memberikan contoh saat kunjungannya berziarah ke sebuah goa yang diyakini menjadi tempat pertemuan dengan Prabu Siliwangi dalam bentuk Harimau Putih. Ia juga pernah membaca bahwa kepercayaan serupa juga ada dalam kelompok pengusung Darul Islam.

 

"Saya harus membakar sesajen, bukan kemenyan, tetapi candu. ternyata di desa itu masih pakai candu. ada cerutu karena dulu suka cerutu," ujarnya.


Ada juga kopi, bubur merah putih, dan sebagainya. Di satu masyarakat santri yang pernah berjuang untuk negara Islam, tetapi praktik keberagamaannya seperti Jawa Tengah. Hal itulah yang terus menggelitiknya bergumul dengan praktik keagamaan Islam di Indonesia.