Nasional

Ketum ISNU: Madrasah Kader Sarana Memperkokoh Ideologi NU

Senin, 16 September 2019 | 03:00 WIB

Ketum ISNU: Madrasah Kader Sarana Memperkokoh Ideologi NU

Proses baiat peserta MKNU yang digelar PW ISNU Jatim di Lamongan. (Foto: NU Online/Imam Kusnin Ahmad)

Lamongan, NU Online 
Setelah menjalani Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) sejak Jumat hingga Ahad (13-15/9), pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) se-Jatim dibaiat di makam Sunan Banjar dan Sunan Mayang Madu di kawasan Pondok pesantren Sunan Drajat, Paciran, Lamongan. 
 
Baiat dilakukan oleh Ketua Umum (Ketum) Pengurus Pusat (PP) ISNU H Ali Masykur Musa didampingi Pengasuh Pesantren Sunan Drajat, KH Abdul Ghofur dan Ketua PW ISNU Jatim M Mas'ud Said.
 
Sebelum dibaiat, para peserta melakukan shalat Dhuhur dan hajat berjamaah. Kemudian dilanjutkan dengan istighotsah. 
 
Bagi H Ali Masykur, sebuah berkah bagi ISNU bisa melakukan MKNU di pesantren peninggalan Walisongo dan pembaiatannya dilakukan di makam para leluhur yang melahirkan para ulama besar di Indonesia.
'
'Ini merupakan MKNU yang pertama yang diadakan PW ISNU. Dan tempat yang dipilih sangat tepat. Semoga kita semua mendapat barokah dan naik derajat,'' katanya, Ahad (15/9).                                    
 
Oleh karena itu, dirinya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada KH Abdul Ghofur yang telah memberikan fasilitas dan menjamu peserta MKNU ISNU selama tiga hari.      
 
Setelah dibaiat, peserta mendapatkan serifikat kelulusan yang diserahkan langsung oleh H Ali Masykur Musa.
 
Menurutnya, MKNU itu begitu penting untuk membangun ideologisasi di antara kader NU, termasuk ISNU. Karena itulah, MKNU digelar dengan syarat kehadiran yang cukup ketat. 
 
''Saya saat mengikuti MKNU juga tidak pernah absen dan selalu duduk di depan,'' ujarnya.
 
Pada kesempatan itu, KH Abdul Ghofur menceritakan sejarah makam Sunan Banjar dan Sunan Mayang Madu tersebut. Pada tahun 1440-an, Mbah Banjar, begitu KH Abdul Ghofur menyebutnya, melakukan perjalanan laut dari Kalimantan ke Jawa. Tujuannya untuk sowan Sunan Ampel.
 
Di tengah perjalanan, kata Abdul Ghofur, kapal Sunan Banjar karam di perairan Lamongan. Kemudian, Sunan Banjar ditolong oleh Mbah Mayang Madu, seorang tokoh di kampung Njelaq (sekarang Banjaranyar). Warga setempat rata-rata penganut Hindu karena pengaruh dari kerajaan Majapahit. 
 
''Mbah Mayang Madu kemudian masuk Islam setelah disadarkan oleh Mbah Banjar,'' ungkap Kiai Ghofur, sapaan akrabnya.
 
Mbah Banjar kemudian diantar Mbah Mayang Madu ke Surabaya untuk menemui Sunan Ampel. ''Saking senangnya, Sunan Ampel kemudian mengutus Raden Qosim, putranya untuk ikut ke Lamongan menyebarkan Islam,'' jelasnya.
 
Dakwah yang dilakukan di Lamongan menggunakan gending Jawa. Gamelan itu masih tersimpan rapi di Ponpes Sunan Drajat. Awalnya, begitu gending selesai, warga pulang dan tidak mau mengikuti pengajian. 
 
''Suatu hari Raden Qosim mengatakan, siapa yang datang (untuk mengaji, red) akan naik derajatnya. Barulah warga berbondong-bondong datang. Karena itulah Raden Qosim kemudian dipanggil Sunan Drajat,'' kata keturunan ke-14 Sunan Drajat tersebut. Semua (calon) presiden pernah ke sini. Biasanya ke sumur Sunan Drajat yang ada di pondok putri, lanjutnya.
 
Suasana yang khidmat saat pembaiatan membuat Ketua PW ISNU Jatim Mas'ud Said terharu. Saat memberikan sambutan, dirinya tidak bisa menahan air mata. 
 
''Saya ajak peserta untuk berjanji kepada diri sendiri untuk menjadi pengurus yang membawa manfaat bagi NU dan bangsa Indonesia,'' kata Mas'ud.
 
 
Pewarta: Imam Kusnin Ahmad
Editor: Ibnu Nawawi