Nasional

Mata Rantai Aswaja NU sebagai Khazanah Keislaman  Otentik

Senin, 1 Februari 2021 | 13:15 WIB

Mata Rantai Aswaja NU sebagai Khazanah Keislaman  Otentik

Ketua Lembaga Dakwah PBNU, KH Agus Salim (memegag mikrofon) pada engukuhan pengurus Aswaja NU Center Kabupaten Bekasi, Ahad (31/1) di Pondok Pesantren Nurul Falah, Cikarang Pusat, Bekasi, Jawa Barat (Foto: Resti)

Bekasi, NU Online
Ketua Lembaga Dakwah PBNU, KH Agus Salim mengatakan NU memiliki mata rantai silsilah sanad yang jelas sebagai khazanah keislamaan otentik.

 

Hal itu disampaikannya dalam acara pengukuhan pengurus Aswaja NU Center Kabupaten Bekasi, Ahad (31/1). Kegiatan berlangsung di Pondok Pesantren Nurul Falah, Cikarang Pusat, Bekasi.

 

Menurutnya, tradisi Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) memungkinkan warga NU untuk bersikap dan memandang segala sesuatu secara harmonis dan sehat. Dalam menyikapi segala persoalan apapun selalu melihat dari sisi maslahat atau landasan etika, termasuk dalam dakwah.

 
KH Agus menceritakan sejarah Aswaja yang berawal dari Rasulullah SAW. Saat itu penduduk kota Makkah menganut kepercayaan paganisme atau tidak beragama. Keyakinan mereka ini sangat kuat hingga mengangkat ke struktur kultur masyarakat Makkah. 

 

Nabi Muhammad SAW berada di kota Makkah dalam rangka mengajarkan ketauhidan. Tidak cukup mengandalkan keimanan. "Setelah mereka iman kepada Allah Rasulullah SAW  kemudian meningkatkan lagi menjadi tingkatan yakin, jami, wushul Illallah, dan terakhir maqam marifat," bebernya.

 
"Hamba yang sudah mencapai maqam tersebut, itulah maqamnya Rasulullah SAW yang diikuti oleh sahabat, tabiiin dan para muassis NU," terang Kiai Agus.
 

Aswaja NU memiliki tiga Aspek
Jika kaidah tersebut diteliti secara saksama, Aswaja merupakan basis teologi. Terdapat tiga aspek dalam Aswaja NU yakni aspek akidah, aspek syariah, dan aspek tasawuf. "Kalau kita berbicara aspek akidah, di sini ketauhidan Islam memperkenalkan keesaan Tuhan, La ilaha illallah," imbuhnya.

 
Akidah pertama memuat mahabbah (cinta). Kedua, aspek syariah yakni aturan Islam yang meliputi seluruh kehidupan manusia baik dari menciptakan keahlian, kesejahteraan, kemakmuran, tolong-menolong, cinta tanah dan akhirnya tercipta sumber daya manusia.

 

"Aspek kedua ini berisi hablum minallah wa hablum minannas," lanjut Kiai Agus.


Ketiga adalah aspek tasawuf. Akhir- akhir ini Islam selalu dilekatkan dengan aksi kekerasan, intoleransi, radikalisme, tafkiri. "Yang lebih menyanyat lagi adalah sekelompok umat Islam yang membenarkan, melibatkan simbol-simbol agama untuk kepentingan mereka sendiri. Maraknya aksi tersebut sudah sangat jauh terlepas dari peran agama," kata Kiai Agus.


Berbicara tasawuf tidak hanya berbicara ritual. Namun, tasawuf juga berbicara visi kemanusiaan sekaligus menjadi pelengkap misi islam secara ijtima. NU dalam praktik sehari-hari selalu menggunakan pola agama yang tawasuth, tasamuh, tawazun, al adl. "Inilah yang menjadi landasan sosial bagi warga NU", kata Kiai Agus. 

 

Silsilah sanad Aswaja NU

Ahlussunah wal Jamaah diantarkan pertama oleh Imam Hasan Basri dari generasi Tabiin. Kemudiaan satu abad setelahnya muncul Syekh Al Muwaqqi, Syekh Qalamisi, Ibnu Athaillah. "Kemudian dilanjutkan oleh Imam Abu Hasan Al Asyari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi sampai kepada Imam Al Ghazali," papar Kiai Agus.

 

Berkembang di Indonesia, yang pertama memperkenalkan adalah Syekh Khatib Sambas seorang sufi yang berhasil mengombinasi tarekat besar Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang banyak berkembang di luar Jawa. Kitab karangannya yang terkenal adalah Fathul Arifin.

 

Kemudian dilanjut oleh Syekh Nawawi Al Bantani pada 1813-1897. Ratusan karyanya banyak digunakan pesantren-pesantren Nusantara bahkan di dunia. Selanjutnya Syekh Kholil Bangkalan Madura, guru Hadratussyekh Hasyim Asyari dilanjutkan lagi oleh Kiai Ihsan Jampes pengarang kitab Sirajut Thalibin.

 
"Silsilah dari generasi Imam Al Ghazali ini berkesinambungan hingga Hadratussyekh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama," pungkasnya. 

 

Kontributor: Suci Amaliyah 
Editor: Kendi Setiawan