Nasional

Matangnya Keilmuan Kiai Hasyim Muzadi

Senin, 19 November 2018 | 14:35 WIB

Matangnya Keilmuan Kiai Hasyim Muzadi

Seminar Keteladanan KH Ahmad Hasyim Muzadi, Ahad (18/11)

Depok, NU Online
Meneladani sosok KH Hasyim Muzadi bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Napas nasionalisme dan antiradikalisme, serta selalu menjaga kerukunan antar umat beragama melalui pluralitas menjadi salah satu mutiara keteladanan yang ditinggalkannya.

Hal itu disampaikan moderator Hamzah Abdul Majid dalam pengantar diskusi Seminar Keteladanan Dr (HC) KH Ahmad Hasyim Muzadi tentang Keislaman, Keilmuan, dan Ketasawufan pada Ahad (18/11) di Pondok Pesantren al-Hikam Depok, Jawa Barat.

“Ada tiga sisi yang membentuk pluralitas beliau yaitu keislaman, keilmuan, dan ketasawufan,” ujar ustadz di Pondok Pesantren Al Hikam Depok itu.

Penulis buku Gerakan Politik HTI, Mampukah Menjadi Gerakan Dakwah?, Sofiuddin membuka diskusi itu dengan menyampaikan pesan Islam Wasatiyah yang diajarkan Abah, panggilan akrab KH Hasyim Muzadi di kalangan murid-muridnya. 

“Wasatiyah berarti keseimbangan antara aqidah dan toleransi," tambah Ketua Puslitbang dan dosen bidang Pemikiran Islam dan Civic Education di Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) al-Hikam Depok itu.

Selanjutnya, ia membagi toleransi menjadi dua yaitu secara teologis dan sosiologis. Secara teologis, toleransi menurutnya diperlukan sesama internal umat Islam dan antar umat beragama. “Sedangkan secara sosiologis, menerima pendapat yang datang dari orang lain, tetapi memegang teguh prinsip atau aqidah sendiri. Itu yang diajarkan beliau,” ringkasnya.

Keilmuan KH Hasyim Muzadi

Dalam bidang keilmuan, Pengasuh Ponpes Al Hikam Malang, Muhammad Nafi’ menjelaskan bahwa matangnya kepribadian Abah itu terbentuk dari latar belakang pendidikan yang relarif terintegrasi dari umum, agama, hingga rohani.

“Kerangka berpikir Sintetik Integratif itu yang dimiliki beliau. Kerangka berpikir itu wujud sintesa dari pertimbangan-pertimbangan rasional dan fakta objektif,” ujar Rais Syuriah Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Malang itu.

Abah, kata Nafi, mempunyai orang-orang yang bisa memverifikasi fakta objektif di lapangan ketika muncul isu atau kejadian. Selain itu, cara berpikir yang dimiliki Abah menurutnya Substansialis dan Inklusif. “Bukan formal normatif, tetapi substansi ajarannya,” tambahnya.

Ia memberikan contoh tentang keislaman dan kenegaraan yang ditinggalkan Abah. Norma syariat atau ritus ibadah menurutnya tidak perlu dimasukkan ke dalam negara. 

“Negara tidak bisa menghukumketika ada orang yang tidak shalat Jumat,” tutur pria yang akrab disapa Gus Nafi itu.

Selain itu, Nafi juga mengungkapkan bahwa kerangka berpikir substansialis dan inklusif Abah itu yang melahirkan Pimpinan Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU). Hal itu karena menurutnya Abah berkeyakinan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) tidak cukup dikelola oleh ikatan primordialnya saja. Tetapi harus melalui manajemen yang baik. 

“Pesantren Mahasiswa Al Hikam Depok merupakan perwujudan kerangka berpikir itu. Integrasi antara tradisional dan kemodernan,” katanya.

Di akhir sesi, Gus Nafi' yang juga merupakan keponakan Hasyim Muzadi menyimpulkan bahwa semua tindakan almarhum didasarkan pada tiga cinta yang disebut dengan ‘Kredo Cinta’. 

“Cinta kepada Islam Ahlussunnah Waljamaah lillahi ta’ala, cinta terhadap Nahdlatul Ulama yang merupakan pengejawantahan paham Ahlussunnah Waljamaah. Terakhir cinta kepada tanah air. Ketiganya itu saling berkaitan,” pungkasnya. (M. Ilhamul Qolbi/Kendi Setiawan)