Nasional

Melihat Realitas Masyarakat Sekitar TPST Bantargebang: Dampak Lingkungan dan Harapan kepada Capres RI

Senin, 29 Januari 2024 | 17:45 WIB

Melihat Realitas Masyarakat Sekitar TPST Bantargebang: Dampak Lingkungan dan Harapan kepada Capres RI

Suasana di puncak gunung sampah TPST Bantargebang, Kota Bekasi, setinggi 50 meter. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang merupakan tempat pengolahan sampah terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. TPST milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ini dibangun pada 1989 dan memiliki luas 110,3 hektare.


NU Online berkunjung ke TPST Bantargebang, pada 18 Januari 2024 lalu untuk melihat realitas kehidupan masyarakat di sekitar gunungan sampah yang menjulang setinggi 50 hingga 60 meter itu. TPST Bantargebang ini terletak di tiga kelurahan yakni Cikiwul, Ciketing Udik, dan Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.


Masyarakat Bantargebang setiap harinya melihat truk sampah keluar-masuk perkampungan menuju TPST dengan membawa 6.500 hingga 7.000 ton sampah yang didominasi oleh limbah plastik konvensional. 


Tumpukan sampah yang menggunung itu memberi dampak buruk terhadap lingkungan masyarakat sekitar. Tanah, air, dan udara menjadi tercemar. Kompensasi pun tak seberapa. Masyarakat berharap, para calon presiden atau Presiden Republik Indonesia berikutnya dapat lebih peduli terhadap pengelolaan sampah di TPST Bantargebang ini. 


Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Salim Samsudin mengatakan bahwa di TPST Bantargebang dibutuhkan teknologi yang dapat mengubah tumpukan sampah menjadi lebih berkembang lagi.


"Kemarin sempat ada Refuse Derived Fuel (RDF), agar sampah itu menjadi bahan baku untuk bahan bakar. Hal-hal semacam itu harus ada keberanian untuk mengubah sistem yang ada di TPST Bantargebang ini," ujarnya kepada NU Online saat ditemui di Kantor Kelurahan Ciketing Udik.


Keberadaan TPST Bantargebang selama berpuluh tahun tentu memiliki dampak buruk terhadap kesehatan. Masyarakat sekitar rentan terkena penyakit. Karena itu, Salim mengatakan bahwa antara Pemkot Bekasi dengan Pemprov DKI Jakarta telah menjalin kerja sama untuk memastikan kesehatan masyarakat sekitar TPST Bantargebang terjamin kesehatannya. 


Kerja sama itu berupa penyediaan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di empat kelurahan yang ada di Kecamatan Bantargebang. Bahkan, sudah ada rumah sakit umum di tingkat kecamatan. 


Lebih lanjut, Salim menuturkan bahwa di sekitar TPST Bantargebang itu perlu dibangun Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sebab tentu saja, TPST Bantargebang ini akan berdampak buruk pada kebersihan air, tanah, dan udara. 


"Saya harus menyampaikan secara gamblang, hari ini masyarakat Ciketing Udik khususnya yang notabenenya nempel dengan TPST, itu nggak bisa pakai air tanah, walaupun (Pemprov) DKI sudah kasih kita sumur artesis. Sumur artesisnya juga belum maksimal, baik itu instalasinya maupun kualitas airnya," jelas Salim.


Ia mengungkapkan bahwa warga mendapat kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), dengan mendapatkan Rp1,2 juta setiap tiga bulan untuk setiap keluarga. Salim berharap, Presiden Indonesia berikutnya lebih peduli terhadap lingkungan hidup dan memperhatikan pengelolaan sampah. 


“Masyarakat Bantargebang, khususnya Ciketing Udik, berharap agar ke depannya, Indonesia memiliki seorang presiden yang lebih peduli terhadap lingkungan hidup dan lebih memperhatikan pengelolaan sampah yang memang jadi momok terbesar bagi warga masyarakat," harap Salim.

 
​​​​
Seorang pemulung tengah berjalan di atas puncak gunung sampah TPST Bantargebang, Kota Bekasi. (Foto: NU Online/Suwitno)
​​​


Hal senada diungkapkan Ketua RW 08 Ciketing Udik, Rojali. Ia mengungkapkan bahwa dampak dari TPST Bantargebang cukup kompleks yakni meliputi persoalan kesehatan, lingkungan, dan sosial.


Ia kemudian berharap agar cara pengolahan sampah di TPST Bantargebang dapat ditingkatkan, minimal dengan merekrut tenaga kerja lokal dan memastikan bahwa tinggi tumpukan sampah tidak melebihi 25 meter.


"Jadi kami berharap Pemprov DKI Jakarta ini bisa lebih memutakhirkan pengolahan sampah yang ada di Bantargebang ini," jelasnya.


Ia menyatakan, TPST Bantargebang berdampak pada pasokan air bersih di lingkungan tersebut. Sebagai akibatnya, kebanyakan warga di sekitar membeli air kemasan dengan berbagai merek sebagai sumber air minum. 


"Kalau kemarin sudah ada tim dari Lingkungan Hidup Kota Bekasi, berkaitan dengan warga ada kenaikan kompensasi, berkaitan dengan kebutuhan yang selama ini untuk kehidupan buat air minum saja tidak cukup, hanya Rp1,2 per tiga bulan," terangnya.


"Warga masyarakat Bantargebang berharap ada penyesuaian dengan kondisi semacam ini, ada kenaikan yang signifikan yang dirasakan masyarakat Bantargebang," pungkasnya.