Menyingkap Dinamika Keislaman dalam Konteks Sosial Budaya
NU Online · Sabtu, 2 Agustus 2025 | 15:00 WIB

Tangkapan layar Ismail Fajrie Alatas saat mengisi Online Summer Course PCINU Amerika Serikat–Kanada, Jumat (1/8/2025).
Muhammad Asrofi
Kontributor
Jakarta, NU Online
Islam bukan hanya seperangkat ajaran tekstual yang dibakukan dalam kitab-kitab suci, melainkan juga praktik sosial yang hidup dan beragam dalam berbagai konteks budaya.
Hal itu ditegaskan oleh Ismail Fajrie Alatas saat sesi bertema Antropologi Islam dalam Online Summer Course Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat–Kanada, Jumat (1/8/2025).
Dosen Middle East & Islamic Studies di New York University itu menjelaskan bahwa pendekatan antropologis terhadap Islam menawarkan perspektif alternatif dibandingkan studi keislaman yang hanya bersandar pada pendekatan filologis atau sejarah-intelektual.
"Dalam 30 tahun atau 40 tahun terakhir kita menyaksikan bagaimana antropolog itu mulai mempelajari Islam yang tadinya hanya mempelajari suku-suku terpencil atau agama-agama monoteis. Saat mereka mempelajari Islam mereka bukan sekedar mempelajari sekumpulan ajaran atau norma tapi sebagai sebuah realitas yang dialami, dinegosiasikan dan diwujudkan secara sosial oleh para penganutnya,” kata Fajrie yang juga Anggota Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU itu.
Menurut Prof Aji sapaan akrabnya, fokus antropologi Islam adalah bagaimana Islam dipahami dan dipraktikkan dalam berbagai konteks sosial-budaya. Islam tidak hanya hadir sebagai doktrin, tetapi juga sebagai laku hidup.
Menurutnya pendekatan ini mencoba memahami bagaimana tradisi tekstual Islam membentuk praktik sosial, serta bagaimana teks-teks tersebut mengalami transformasi makna seiring perubahan strategi pembacaan, relasi kuasa, dan kondisi sosial. Islam, dalam pandangan ini, dibentuk oleh interaksi terus-menerus antara substansi keagamaan dan relasi sosial budaya yang memodulasinya.
“Antropologi Islam memungkinkan kita melihat keterkaitan wacana keagamaan dengan berbagai struktur kekuasaan dan kondisi sosial setempat,” jelas Fajrie.
Dalam penjelasannya, Fajrie mengulas dua tokoh penting dalam kajian antropologi Islam: Clifford Geertz dan Ernest Gellner. Keduanya dikenal sebagai pelopor studi antropologi tentang masyarakat Muslim.
Geertz, dalam karyanya Islam Observed, melihat agama sebagai sistem simbol yang membentuk cara pandang dan tindakan manusia. Ia menekankan bahwa Islam di Maroko dan Indonesia berkembang dengan cara yang sangat berbeda karena perbedaan konteks budaya dan historis. Pendekatan Geertz bersifat hermeneutik dan simbolik bagaimana makna agama ditafsirkan dan dijalankan oleh komunitas Muslim dalam konteks lokal.
Sementara itu, Gellner melalui bukunya Muslim Society menawarkan pendekatan struktural. Ia melihat Islam sebagai sistem normatif dan kelembagaan yang koheren, yang membantu membentuk keteraturan sosial dan menjaga stabilitas masyarakat. Menurut Gellner, manusia bertindak berdasarkan norma dan struktur yang pada akhirnya memungkinkan terbentuknya tatanan sosial yang relatif stabil.
Namun, pendekatan Geertz dan Gellner tidak luput dari kritik. Fajrie menyebut Antropolog Talal Asad menyampaikan kritik bahwa penggunaan hermeneutika dan penekanan pada keyakinan religius dalam pendekatan Geertz sebenarnya mencerminkan bias teologis dan bahkan Protestan-sentris. Asad menilai bahwa menempatkan keimanan sebagai inti agama merupakan bentuk privatisasi yang mengabaikan dimensi sosial-politik dari agama.
Terhadap Gellner, Asad mengkritik pendekatan struktural yang terlalu menekankan tipologi religiusitas dan mengabaikan peran agensi. Ia mengusulkan agar analisis terhadap Islam dimulai dari bagaimana kekuatan sosial dan politik membentuk subjek Muslim itu sendiri dalam berbagai konteks.
Melalui pemaparan ini, Ismail Fajrie Alatas mendorong untuk melihat Islam bukan hanya sebagai ajaran yang tetap dan seragam, tetapi sebagai praktik yang dinamis, dipengaruhi oleh relasi sosial, budaya, politik, dan sejarah.
“Pendekatan antropologis ini penting untuk memahami keragaman pengalaman keislaman di berbagai belahan dunia. Yang jelas kita terus belajar jangan terlalu terpukau,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menyiapkan Bekal Akhirat Sebelum Datang Kematian
2
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
3
Khutbah Jumat: Tetap Tenang dan Berpikir jernih di Tengah Arus Teknologi Informasi
4
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Pengurus PP ISNU Masa Khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Perhatian Islam Terhadap Kesehatan Badan
6
Tuntutan Tak Diakomodasi, Sopir Truk Pasang Bendera One Piece di Momen Agustusan Nanti
Terkini
Lihat Semua