Nasional

Muktamar Ke-34 NU: Haram Rampas Tanah Rakyat, Pemerintah Harusnya Fasilitasi Sertifikat

Jumat, 15 September 2023 | 14:30 WIB

Muktamar Ke-34 NU: Haram Rampas Tanah Rakyat, Pemerintah Harusnya Fasilitasi Sertifikat

Ketua PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla (pegang map) saat membcakan pernyataan sikap PBNU soal Pulau Rempang, Jumat (15/9/2023) di kantor PBNU Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Kasus di Pulau Rempang menjadi perbincangan publik beberapa hari ini. Kawasan yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat tersebut hendak dijadikan proyek startegis nasional (PSN) Rempang Eco City oleh negara. Namun, proyek tersebut menuai penolakan masyarakat Pulau Rempang sehingga terjadi kericuhan dan bentrok antara warga dan aparat pada Kamis (7/9/2023) lalu.


Menanggapi konflik agraria tersebut, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan hasil Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 2021. Persoalan yang dibahas dalam komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah tersebut membahas persoalan pengambilan tanah rakyat oleh negara.


"PBNU berpandangan bahwa tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun, baik melalui proses iqtha' (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya’ (pengelolaan lahan), maka hukum pengambilalihan tanah tersebut oleh pemerintah adalah haram," tegas KH Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU, saat Konferensi Pers di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (15/9/2023).


Namun demikian, ia menyampaikan bahwa PBNU perlu menegaskan kembali agar menjadi perhatian semua pihak bahwa hukum haram tersebut jika pengambilalihan tanah oleh pemerintah dilakukan dengan sewenang-wenang.


"Hasil Bahtsul Masail tersebut tidak serta merta dapat dimaknai menghilangkan fungsi sosial dari tanah sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan konstitusi kita," katanya.


Pemerintah, jelasnya, tetap memiliki kewenangan untuk mengambil-alih tanah rakyat dengan syarat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan tentu harus menghadirkan keadilan bagi rakyat pemilik dan/atau pengelola lahan.


Muktamar Ke-34 NU menetapkan bahwa merampas tanah rakyat adalah tindakan yang dihukumi haram menurut syariat. Tanah yang dimaksud di sini termasuk yang sudah ditempati rakyat selama bertahun-tahun, tetapi belum mendapatkan rekognisi status kepemilikannya oleh negara.


"Tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha' (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya’ (pengelolaan lahan), maka pemerintah haram mengambil tanah tersebut,” kata KH Abdul Ghofur Maimoen, Ketua Komisi Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Waqiiyah, dalam sidang pleno Muktamar Ke-34 NU di Gedung Serbaguna Unila, Bandarlampung, Jumat (24/12/2021).


Lebih lanjut, kiai yang akrab disapa Gus Ghofur itu mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh mengambil lahan yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun. Hal ini berlaku baik melalui proses iqtha' oleh pemerintah maupun ihya’.


Pembahasan ini berangkat dari ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi selama puluhan tahun di Indonesia, selain juga pembahasan ini berangkat dari konflik-konflik agraria yang melibatkan masyarakat dan negara.


Sejak UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dijalankan, ketimpangan penguasaan agraria dan sumber daya alam semakin mendalam antara sektor pertanian rakyat dan pertanian/perkebunan besar atau antara sektor pertanian dan nonpertanian.


Karenanya, Muktamar Ke-34 NU juga merekomendasikan agar Pemerintah menerbitkan regulasi pembatasan kepemilikan tanah mengingat terjadinya ketimpangan atas hal tersebut.


Sebaliknya, negara atau pemerintah seharusnya hadir memperkuat perlindungan terhadap kepemilikan dan daulat rakyat atas tanahnya. Sebab titik tekan kebijakan pembangunan yang lebih menitikberatkan pada industri menjadikan rakyat sebagai kelompok lemah dan rentan ditindas atas nama pembangunan.


“Negara perlu memberikan afirmasi dan fasilitasi yang diperlukan untuk melindungi kepentingan rakyat,” ujar Alissa Wahid saat membacakan draf putusan rekomendasi dalam Sidang Pleno III, di Gedung Serbaguna (GSG) Universitas Lampung, pada Kamis (23/12/2021). 


Muktamar NU juga menyoroti soal status tanah yang dimiliki kelompok-kelompok budaya secara kolektif. Dalam hal ini, Muktamar Ke-34 NU mendorong agar negara memberikan perlindungan atas tanah ulayat dari penggusuran dan alih kepemilikan kepada investor.


“Perlu ditemukan suatu sistem manajemen atau kearifan lokal di mana penanaman modal, baik dari dalam maupun luar negeri, tidak mengubah kepemilikan tanah bagi rakyat dan dalam waktu yang sama menguntungkan kedua belah pihak,” tegas perempuan yang kini menjabat sebagai Ketua PBNU itu.


Oleh karena itu, Muktamar Ke-34 NU meminta agar pemerintah harus menyusun regulasi yang memberikan pola kerja sama dalam rangka investasi dengan kepemilikan tanah tetap ada di tangan rakyat. Sebab, negara memang mesti hadir di dalam setiap sengketa pertanahan untuk menegakkan prinsip perlindungan warga. Begitu pula soal pengelolaan sumber daya secara adil dan menjaga hak masing-masing pihak, sesuai dengan prinsip persamaan di muka hukum. 


Dalam Islam, lanjut Alissa, perampasan tanah merupakan tindakan berdosa baik yang dilakukan dengan perampasan hak milik perseorangan maupun hak pengelolaan atas tanah tertentu. Karena itu, Muktamar NU merekomendasikan agar penegakan hukum atas sengketa pertanahan harus ditujukan untuk mencegah terjadinya perampasan.  


“Terutama dalam hal perampasan dilakukan oleh kelompok yang lebih berkuasa terhadap kelompok rakyat lemah,” pungkas Alissa.