Nasional

Orasi Kemerdekaan, Alissa Wahid Ungkap Mencintai Indonesia Berarti Harus Ikhlas dan Patah Hati

Kamis, 17 Agustus 2023 | 21:45 WIB

Orasi Kemerdekaan, Alissa Wahid Ungkap Mencintai Indonesia Berarti Harus Ikhlas dan Patah Hati

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Jaringan Gusdurian menggelar Upacara 17-an Refleksi Kemerdekaan secara virtual dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia, pada Kamis (17/8/2023) sore. 


Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengungkapkan berbagai cara masyarakat untuk mencintai Indonesia pada momentum hari kemerdekaan ini. 


Di antaranya dimulai dari mencintai lingkungan, mengasah diri sendiri agar menjadi orang yang sukses, bisa menolong sesamanya, bertoleransi kepada semua warga, bergotong-royong, mempersiapkan perayaan 17-an, serta mendidik anak dengan baik agar tidak mudah menjadi orang yang dibodohi.


Kemudian Alissa mengutip puisi Sapardi Djoko Damono berjudul ‘Aku Ingin’ dan memaknainya sebagai cara yang selaras untuk mencintai Indonesia. Dari dua bait puisi yang dibaca, Alissa menyimpulkan bahwa mencintai Indonesia harus Ikhlas. 


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. 


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. 


“Ikhlas. Mencintai Indonesia berarti bersiap menjadi kayu yang berubah menjadi abu atau seperti awan yang hilang bersama hujan,” ucap Alissa dalam pertemuan virtual yang disiarkan langsung melalui Kanal Youtube TV9 Nusantara, hari ini. 


Keikhlasan mencintai Indonesia juga diteladankan oleh para guru dari almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yakni kakeknya, KH Hasyim Asy’ari, dan ayahnya, KH Wahid Hasyim. 


Kiai Hasyim Asy’ari ikhlas mengirimkan para santri untuk membela republik yang bukan sebuah negara Islam ini. Begitu pula Kiai Wahid Hasyim yang menjadi salah satu pendiri negara ini tetapi Ikhlas menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang khas untuk orang Islam agar Indonesia tetap Bhinneka Tunggal Ika. 


Lebih lanjut, Alissa mengatakan bahwa mencintai Indonesia juga harus bisa merasakan patah hati, bahkan patah arang saat melihat berbagai ketidakadilan yang menimpa negeri ini. Bahkan saat berkali-kali kalah dalam upaya mendampingi rakyat tertindas. 


“Sungguh, mencintai Indonesia kadang berarti harus merasakan patah hati, bahkan patah arang. Berulang kali mendampingi mereka yang terancam penghidupannya atas nama pembangunan, dan kalah. Berulang kali mendampingi mereka yang hanya ingin beribadah dengan tenang di tempat ibadahnya, dan gagal. Berulang kali mengingatkan negara untuk tidak melemahkan upaya memberantas korupsi, dan kalah lagi,” ucap Alissa. 


Lalu mencintai Indonesia, kata Alissa, terkadang seperti menempuh perjalanan panjang di jalur sunyi yang terjal dan penuh belukar duri. Hal ini dialami oleh para Gusdurian yang selalu bergerak hingga ke akar rumput tanpa mendapat keutungan materi sedikit pun. 


“Para Gusdurian tahu, menjadi Gusdurian tidak akan mendatangkan keuntungan finansial, jabatan, atau lampu sorot popularitas, sepertinya lebih mudah jadi calon bupati atau calon anggota parlemen daripada menjadi Gusdurian yang berdiri bersama rakyat,” ucap Alissa. 


Ia juga menuturkan bahwa mencintai Indonesia terkadang terasa seperti memanggul karung berat di punggung, sehingga membuat perjalanan harus ditempuh dengan tertatih-tatih. Terkadang pula harus menepis semua batu yang mengganggu perjalanan, menyingkirkan kerikil yang masuk ke alas kaki, harus menepi untuk menyeka keringat deras, dan menyemangati diri sendiri saat di depan tampak bukit tinggi menjulang. 


“Tapi itulah sejatinya mencintai. Cinta sejati teruji oleh tantangan, tumbuh berkembang tak peduli apa pun situasinya. Cinta sejati akan terus mekar walau dalam situasi yang tidak nyaman. Sebab mencintai adalah kata kerja, mencintai adalah tindakan, mencintai adalah komitmen, mencintai tak mengenal balasan,” tuturnya. 


Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu juga mengungkapkan teladan Gus Dur yang mencintai Indonesia walau disia-siakan, direndahkan, dan tidak dihargai. Meski begitu, cinta Gus Dur untuk Indonesia terus tumbuh dan berkembang. Alissa bilang, cinta Gus Dur pada Indonesia sangat kuat. 


Ia kemudian mengutip salah satu bait puisi Penyair D Zawawi Imron yang menggambarkan tentang kecintaan Gus Dur terhadap Indonesia. Zawawi Imron mengaku tak meragukan cinta Gus Dur untuk Indonesia. 


Berikut bait puisi Zawawi Imron yang dibacakan Alissa:


Seperti kami yang tidak punya alasan untuk meragukan cintamu, Gus Dur, kepada buruh pencangkul yang tidak punya tanah atau kepada nelayan yang tidak kebagian ikan. Cintamu, Gus Dur, akan terus merayap ke seluruh penjuru mata angin dan tak mengenal kata selesai. Mari mencintai Indonesia tanpa ragu. 


“Mari kita gulirkan cinta kita pada Indonesia agar terus merayap ke seluruh penjuru angin. Mari kita tekadkan cinta kita pada Indonesia tak mengenal kata selesai. Marilah kita berjanji Indonesia abadi demi rakyat, demi bangsa. Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita meneruskan,” pungkas Alissa.


Sebagai informasi, acara ini dihadiri oleh Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Jay Akhmad yang berbicara bahwa kemerdekaan tak hanya untuk diperingati dan dirayakan tetapi juga harus terus diperjuangkan. 


Kemudian ada sesi refleksi kemerdekaan yang disampaikan oleh tiga orang. Pertama, Direktur Swara Rahima Pera Sopariyanti yang menyampaikan refleksi dari perspektif keadilan gender. Ia juga mendorong DPR dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). 


Kedua, ada Asman Azis dari Gusdurian Samarinda yang menyampaikan refleksi kemerdekaan dari perspektif keadilan ekologi. Ia menyampaikan sembilan jejak Gus Dur soal keadilan ekologis dan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan.


Ketiga, refleksi kemerdekaan disampaikan oleh Pendeta Wahyudi dari GBI Tlogosari, Semarang. Ia menyampaikan apresiasi dan rasa bangga kepada para penggerak Gusdurian yang telah membantu dan mengadvokasi Jemaat GBI Tlogosari untuk bisa mendapat izin mendirikan bangunan (IMB). Walhasil, terbitlah IMB pada 24 September 2020 setelah satu tahun didampingi oleh Gusdurian. 


Aru Lego Triono