Nasional

Pemerintah Harus Konsisten Jamin Demokrasi dan Otonomi Khusus di Papua

Senin, 5 Juli 2021 | 02:00 WIB

Pemerintah Harus Konsisten Jamin Demokrasi dan Otonomi Khusus di Papua

Ilustrasi Kepulauan Papua. (Foto: Tirto)

Jakarta, NU Online
Pemerintah dinilai inkonsisten dalam melaksanakan demokratisasi dan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. Akibatnya, Otsus gagal membawa keadilan sosial bagi penduduk Papua. Ruang-ruang publik untuk menyatakan pendapat dan kritik semakin ditutup. Kualitas demokrasi Papua masih jauh dari pencapaian keadilan, kesehatan, dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua.


Demikian di antara kesimpulan diskusi virtual bernama Weekend Talk yang diadakan Koalisi Kemanusiaan Papua yang disiarkan di YouTube Public Virtue Institute, Ahad (4/7). Diskusi bertema Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua dan Inkonsistensi Otonomi Khusus ini menghadirkan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Timothius Murib, Ketua MRP Papua Barat Max Ahoren sebagai pembicara dan beberapa pembicara lainnya.


“Otsus ini belum menyentuh isu kekerasan dan isu HAM. Otsus ini juga harusnya mensejahterakan orang asli Papua. MRP mencatat bahwa demokrasi Papua masih buruk meski ada Otsus selama 20 tahun lebih. MRP menilai demokrasi Papua masih jauh dari harapan,” kata Ketua MRP Papua Timothius Murib.


Timothius mengusulkan pentingnya menggelar evaluasi menyeluruh terhadap Otsus, yakni evaluasi yang dapat menampung aspirasi masyarakat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi kerakyatan.


Hal senada disampaikan Bupati Jayapura Mathius Awoitauw. Ia menilai Otsus hanya dirasakan di level pemerintah tingkat provinsi saja. Sementara di level kabupaten atau kota, kebijakan yang dia rasakan adalah yang bersumber dari UU Otonomi Daera, bukan Otsus.  


Mathius menjelaskan, dampak tidak berjalannya Otsus adalah sulitnya membuat regulasi perlindungan masyarakat adat. Di Jayapura, terdapat puluhan wilayah adat yang tidak teridentifikasi akibat tidak berjalannya kebijakan Otsus secara maksimal.


Dalam acara tersebut, akademisi Universitas Cendrawasih, Melkias Hetharia, mengatakan Otsus gagal memenuhi dua tujuannya, yakni pembangunan kesejahteraan rakyat Papua dan menyelesaikan kasus HAM masa lalu.  


“Pasal-pasal UU tersebut bersifat umum dan tidak operasional. Akibatnya, Otsus sulit untuk diterapkan begitu saja. Pengawasan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sangat lemah. Peraturan turunan berupa Peraturan Daerah Provinsi atau Perdasi, dan Peraturan Daerah Khusus atau Perdasus kerap bertabrakan dengan peraturan menteri,” kata Melkias.


Dalam kesempatan yang sama, Sekda Kota Jayapura, Frans Pekey, melihat adanya inkonsistensi antara berbagai peraturan. Dalam kasus ini, jika ada perbedaan antara peraturan pusat dan Otsus, kerap kali Otsus yang ‘dikalahkan’.


“Jika terjadi inkonsistensi, cenderung dan senantiasa mengalahkan UU Otsus karena standar nasional dan peraturan sektoral,” kata dia.


Sementara itu, koordinator AMAN Regional Papua Ludia Maya berpendapat, MRP seharusnya menjadi keterwakilan masyarakat Papua dalam memberi masukan pada pemerintah pusat.


“Saya melihat MRP tidak aktif sampai ke akar rumput. Ada penjaringan aspirasi dalam MRP, tapi kami masyarakat adat tidak dilibatkan. Aspirasi ini tidak tahu juga apakah dibawa atau tidak,” kata Ludia


Turut menanggapi dalam diskusi itu adalah Deputi Direktur Public Virtue Research Institute Anita Wahid dan Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid


Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin