Nasional

Perbedaan Awal Bulan Hijriah, Bisakah Disatukan? Ini Penjelasan Lembaga Falakiyah PBNU

Sabtu, 24 Juni 2023 | 15:00 WIB

Perbedaan Awal Bulan Hijriah, Bisakah Disatukan? Ini Penjelasan Lembaga Falakiyah PBNU

Ilustrasi melihat bulan. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online
Perbedaan awal bulan Hijriah kerap mewarnai keberagamaan umat Islam Indonesia. Sebagaimana awal Syawal 1444 H lalu, di bulan terakhir Hijriah ini juga terjadi perbedaan. Ada yang menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah 1444 H terjadi pada Selasa, 20 Juni 2023 M. Ada pula yang memutuskan tanggal 1 Dzulhijjah 1444 H terjadi pada Senin, 19 Juni 2023 M. Hal ini tentu saja berdampak pada perbedaan hari raya Idul Adha 1444 H, ada yang Kamis, 29 Juni 2023 M, ada pula yang Rabu, 28 Juni 2023 M.


Perbedaan penetapan awal bulan ini menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat, apakah hal tersebut dapat disatukan sehingga bisa merayakan Idul Adha pada hari yang sama?


Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) KH Sirril Wafa menegaskan bahwa hal tersebut bisa untuk dilakukan. Namun, hal yang menjadi persoalan adalah pada pihak yang berbeda ini.


“Soal perbedaan penentuan awal bulan di lingkup Nusantara apakah tidak bisa disatukan? Jawabannya bisa. Masalahnya terpulang kepada para pihak yang berbeda,” katanya kepada NU Online pada Jumat (23/6/2023).


Namun, jika penyatuan kalender itu di tingkat internasional atau global, hal tersebut, menurutnya, sangat sulit untuk diwujudkan.


“Menyangkut kalender global, sepanjang berkaitan dengan penyatuan dan penyamaan waktu-waktu ibadah, melihat perkembangan sampai saat ini, menurut saya sangat sulit (untuk tidak menyebut tidak bisa) untuk disatukan,” jelasnya.


Sebab, terang Kiai Sirril, perbedaan tempat yang mengakibatkan perbedaan waktu ini bukanlah sebuah kekurangan yang harus dipaksakan menjadi satu waktu yang sama.


“Perbedaan waktu ibadah dalam Islam antarnegara bukanlah merupakan kekurangan yang harus dipaksakan untuk disatukan,” kata dosen Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Sementara untuk perbedaan dalam satu wilayah hukum yang sama, menurutnya, masih bisa dicari solusi untuk mempersatukannya. Jika ada upaya tersebut, menurutnya, menjadi satu langkah baik nan realistis.


“Kalau dalam satu negara, mencari upaya solusi penyatuan jauh lebih elok dan realistis,” pungkas ulama ahli falak asal Kudus, Jawa Tengah itu.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin