Nasional

Ramai Pertunangan Anak di Madura, KPAI Dorong Transformasi Budaya Ramah Anak

Senin, 29 April 2024 | 17:00 WIB

Ramai Pertunangan Anak di Madura, KPAI Dorong Transformasi Budaya Ramah Anak

Ilustrasi. (Foto: Shutterstock)

Jakarta, NU Online

Belakangan ini media sosial Tiktok diramaikan pertunangan anak SD di Madura, Jawa Timur. Pertunangan tersebut merupakan budaya masyarakat Madura yang dikenal dengan tradisi abekalan atau tradisi budaya yang dilakukan secara kekeluargaan. Tradisi ini bertujuan agar keutuhan dan hubungan keluarga tetap terjamin pada masa mendatang.


Menyikapi fenomena ini, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah mendorong transformasi budaya sebagai salah satu cara atau strategi bagi masyarakat dalam upaya adaptasi terhadap perubahan di dunia yang lebih ramah anak.


“Pertunangan anak di bawah umur yang terjadi di Madura bagian dari konteks budaya yang sulit diubah pandangannya karena keterkaitannya dengan keluarga namun budaya yang mendukung situasi itu harus kita kikis, khawatir malah menyuburkan situasi perkawinan anak itu dilakukan transformasi budaya atau perubahan,” ujar Ai Maryati dihubungi NU Online, Sabtu (27/4/2024).


Transformasi budaya, lanjut Ai Maryati, harus melibatkan berbagai pihak terutama tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi terutama para pemangku kepentingan. Tak kalah penting adalah tata nilai dalam keluarga.


“Kita perlu mengubah budaya yang lebih ramah anak misalnya perspektif bahwa anak yang berpendidikan tinggi lebih dihormati, bukan seperti pandangan masyarakat bahwa anak SD sudah dilamar adalah sebuah kehormatan. Saya kira transformasi budaya harus mulai kita lakukan,” jelasnya.


Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo mengatakan, usia tujuh tahun secara fisik anak tentu belum siap baik secara fisiologis maupun biologis bahkan fase menstruasi saja normalnya di usia delapan tahun.


"Jangankan tunangan dan nikah atau bahkan hubungan seksual, menstruasi tujuh tahun saja sudah tidak normal. Perempuan itu mestinya menstruasi paling cepat delapan tahun, kalau sebelum itu namanya pubertas prekoks (pubertas dini), dan itu pertumbuhannya terganggu, dia harus dirawat oleh dokter supaya menstruasinya ditunda sedikit," ujar dia.


Ia menekankan pentingnya pendewasaan usia menikah dan pentingnya edukasi kepada keluarga. "Menstruasi aja enggak boleh kurang dari delapan tahun, apalagi menikah, ini masih tujuh tahun sudah ditunangkan. Maka, edukasi itu penting," ucapnya.


Dampak pertunangan anak

Psikolog Keluarga Rakimin mengatakan pertunangan anak dapat menyebabkan anak merasa kehilangan kontrol atas hidup mereka dan membawa dampak pada pertumbuhan emosional. Dalam beberapa kasus, dapat mengarah pada kesulitan tidur, perubahan suasana hati yang terus-menerus bahkan masalah kesehatan fisik.


“Anak-anak yang dipaksa menerima pengaturan pernikahan yang diatur oleh orang tua atau kelompok mereka mungkin merasa tidak memiliki kendali atas kehidupan pribadi. Hal ini dapat mempengaruhi rasa percaya diri dan harga diri mereka, serta mengganggu perkembangan identitas mereka sebagai individu,” ungkap Dosen Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.


Rakimin mendorong pemerintah dan masyarakat bekerja sama mengurangi dampak pertunangan anak yang dapat merugikan kondisi psikologis anak. Anak-anak jangan sampai menjadi korban, melainkan harus dilindungi dan diberikan hak yang sama.


“Saya berpandangan bahwa mempromosikan dan mempraktikkan pertunangan anak sebagai bagian dari budaya masyarakat adalah salah dan tidak bisa diterima. Alasan utama adalah bahwa fenomena ini dapat memberikan dampak buruk pada anak-anak, baik dari segi sosial maupun psikologis,” ujarnya.


Selain memperburuk kehidupan anak, fenomena pertunangan anak juga dapat memperkuat ketidaksetaraan gender dan menguntungkan hanya satu pihak, yaitu lelaki. Hal ini bisa menghadirkan konflik emosional di antara anggota keluarga dan antar-individu.


“Budaya pernikahan yang ditekankan pada pertunangan anak harus dihilangkan dan digantikan oleh budaya yang lebih sehat dan mengutamakan perlindungan hak anak. Saat yang tepat untuk melindungi hak anak adalah sekarang, karena hak anak adalah hak asasi manusia yang tidak boleh sepenuhnya dikorbankan demi menjaga keutuhan budaya,” tegas Rakimin.


Budaya pertunangan anak harus dihentikan

Senada dengan itu, Direktur Gerakan Keluarga Maslahat NU Marzuki Wahid mengatakan, budaya pertunangan anak perlu dicegah sedini mungkin sebab lebih banyak menimbulkan madharat (kerusakan) daripada maslahat (kebaikan).


“Kita memandang banyak madharat (kerusakan) daripada maslahat (kebaikan) karena anak usia 7 tahun belum memiliki pemikiran yang matang karena itu anak tidak bisa mengambil keputusannya sendiri,” kata Marzuki.


“Orang tua harus diedukasi bahwa pertunangan anak di bawah umur itu akan banyak madharat-nya, pemahaman ini perlu disampaikan kepada masyarakat sehingga tidak menjustifikasi perkawinan di bawah anak,” tandas Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.