Refleksi Hari Buruh 2025: Ketidakpastian Hukum di Sektor Industri Kelapa Sawit Jadi Sorotan
NU Online · Kamis, 1 Mei 2025 | 18:33 WIB

Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) Sumarjono Saragih dalam acara Refleksi May Day 2025 bertema Ekonomi Terhimpit, Buruh Menjerit, di Gedung PBNU, Jakarta, pada Kamis (1/5/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Achmad Risky Arwani Maulidi
Kontributor
Jakarta, NU Online
Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) menyoroti persoalan ketidakpastian hukum yang menimpa industri kelapa sawit. Persoalan ini pada ujungnya tak mampu mendorong investasi yang dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal.
Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) Sumarjono Saragih mengatakan, Indonesia saat ini sedang menghadapi situasi ketika industri besar tetapi diurus dengan cara yang kecil.
"Industri yang besar, tapi diberi ketidakpastian yang sangat mencemaskan," kata Sumarjono dalam Refleksi May Day (Hari Buruh) 2025 di Gedung PBNU lantai 8, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, pada Kamis (1/5/2025) siang.
Menurut Sumarjono, lebih kurang 16 juta perkebunan kelapa sawit diidentifikasi termasuk kawasan hutan. Padahal, angka tersebut telah dimiliki petani atau koorporasi dengan izin yang memadai. Hal ini berimbas pada tidak lakunya sawit di pasaran karena memuat potensi produksi CPO yang tidak berkelanjutan.
"Tapi sekarang dikatakan, ini bagian dari kawasan hutan, dan diambil oleh negara. Dipasanglah di sana plang-plang nama bahwa ini disita oleh negara," katanya.
Sumarjono menegaskan bahwa ketidakpastian hukum itu juga berdampak pada hilangnya pekerjaan di sektor industri kelapa sawit.
Â
"Berarti kalau ada 3 juta yang diambil dan dijadikan hutan, dan tidak bisa dikomersilkan, bahkan sawitnya ditebang, berarti ini akan menjadi hutan. Berarti ada 3 juta pekerja yang berpotensi tidak punya pekerjaan," jelas Sumarjono.
Sebelumnya, Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin menilai, komoditas ekspor Indonesia saat ini tengah mengalami penurunan, termasuk sektor kelapa sawit.
Padahal, kata Irham, ekonomi Indonesia bergantung pada komoditas-komoditas salah satunya kepala sawit tersebut. Kondisi ini semakin diperkuat oleh pemberlakuan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Merespons itu, Konfederasi Sarbumusi mendorong pemerintah untuk mempermudah perizinan dan kepastian hukum untuk mendorong investasi domestik yang mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal.
Pada saat yang sama, Konfederasi Sarbumusi saat ini juga mendesak pemerintah untuk melakukan penguatan jaminan sosial.
Penguatan jaminan sosial ini berangkat dari realitas dalam ketenagakerjaan yang berhadapan dengan isu besar, antara lain perubahan iklim dan digitalisasi, sekaligus persoalan geopolitik global yang kian memanas.
"Nah shock-shock ini itu setidaknya bisa dimitigasi apabila sistem jaminan dan perlindungan sosial kita diperkuat oleh negara. Makanya di event May Day kali ini kita menyerukan kepada pemerintah untuk menanggung, menggratiskan, menjamin, 20 persen menjamin jaminan sosial bagi 20 persen penduduk bekerja yang diambil dari base lainnya adalah penduduk berpenghasilan paling rendah," ujarnya kepada NU Online setelah acara bertajuk Ekonomi Terhimpit, Buruh Menjerit itu.
Kemudian, Konfederasi Sarbumusi menekankan agar pemerintah mendorong percepatan kekuatan keterampilan kerja. Hal ini didasarkan pada perkembangan teknologi kian masif yang meniscayakan perubahan bentuk relasi kerja.
"Kalau pemerintah tidak secara serius menyiapkan skills development agenda ke depan, saya yakin Indonesia akan semakin kehilangan daya saingnya," pungkas Irham.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Kabar Duka: Ibrahim Sjarief, Suami Jurnalis Senior Najwa Shihab Meninggal Dunia
6
Ribuan Ojol Gelar Aksi, Ini Tuntutan Mereka ke Pemerintah dan Aplikator
Terkini
Lihat Semua