Nasional

Respons Gus Dur saat Sekelompok Demonstran Mendatangi Rumahnya

Rabu, 25 September 2019 | 17:30 WIB

Respons Gus Dur saat Sekelompok Demonstran Mendatangi Rumahnya

KH Abdurrahman Wahid. (Foto: Pojok Gus Dur)

Jakarta, NU Online
Demonstrasi mahasiswa merespons Rancangan Undang-Undang (RUU) yang hendak disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak hanya terjadi saat ini, tetapi sudah berulang kali. Jika sekarang ribuan mahasiswa merespons RUU KUHP dan RUU KPK, pada September 1999 silam DPR hendak mengesahkan RUU PKB (Penanggulangan Keadaan Bahaya).

Dalam RUU PKB itu, mahasiswa melihat ada pendekatan militerisme dalam menanggulangi kondisi bahaya, sehingga perlu ditolak. Di situ mereka melihat ada upaya pembangkitan kembali Orde Baru lewat orang-orang tertentu.

Di balik upaya penolakan itu, ada sejumlah mahasiswa yang memilih mendatangi tokoh bangsa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Ciganjur, Jakarta Selatan. Tentu saja untuk meminta nasihat dan saran. Di antara mahasiswa tersebut ialah aktivis PMII Ciputat, Alamsyah M Djafar.

Berikut cerita Alamsyah M Djafar yang dituangkan lewat facebook-nya dan dikutip NU Online, Rabu (25/9):

"Gus Dur harus diberi tahu soal ini. Boleh jadi beliau belum mengerti!" kata sahabat saya yang berambut gondrong setengah menarik urat lehernya. "Jika RUU PKB diketuk, Orde Baru bangkit lewat orang-orangnya, Wiranto," katanya lagi. 

Mobil angkutan kota (angkot) Ciputat yang kami tumpangi itu terus melaju menuju Ciganjur. Kami ingin cepat menemui Gus Dur dan bicara terbuka soal isu kebangsaan ini. Telpon selepas maghrib dari ajudan Gus Dur beberapa jam lalu membuat kami kecewa.

Telpon itu isinya ringkas saja: Gus Dur menyarankan kami tak turun jalan ke DPR. Padahal bus sudah kami pesan, spanduk sudah dicetak, leaflet agitasi dan propaganda sudah dikopi, desain aksi sudah dipastikan. Semua buyar.

Gagal demo tak apalah. Tapi masalahnya lebih besar dari sekadar gagal demo itu. Jika RUU diketuk, Indonesia dikangkangi militer. Orde Baru bisa hidup dari kuburnya. "Ini yang perlu kita sampaikan kepada Gus Dur. Beliau harus tahu ini," katanya lagi. Saya mengiyakan pikiran itu.

Saat kami masuk ke ruangan di rumahnya di Ciganjur, Gus Dur masih terbaring. Ia bangun karena kami melempar salam. Kami bertujuh mencium tangannya, lalu duduk melantai. Lama kami berdiam-diam. Gus Dur diam. Mungkin menunggu tamu-tamu mahasiswa heroik ini mengutarakan unek-uneknya. 

Tak ada yang bicara. Teman saya menyenggol bahu saya agar saya bicara. Saya tak berani. Lainnya juga begitu. Menunggu beberapa menit tak ada yang bicara. "Saya bukan melarang kalian demo. Saya hanya tak mau ada mahasiswa yang mati lagi," kata Gus Dur mengingat peristiwa tragis pada 1998.

Gus Dur lantas mengusulkan agar memilih satu-dua orang di antara kami lalu bertemu dengan Pak Wiranto. Intinya itu saja pembicaraan malam itu. Lalu Gus Dur bicara lain dan tentu saja cerita-cerita lucu.

Peristiwa itu terjadi sekitar September 1999 ketika RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya yang dibuat pemerintah dan DPR akan diketuk. Mahasiswa meradang. Mereka turun ke jalan. Saya ikut dalam gelombang itu. 

Saya cuma mau bilang, jelek-jelek begini saya pernah jadi demonstran. Aksi-aksi demonstrasi yang meluber di mana-mana belakangan ini sudah mengingatkan masa-masa itu. Dan yang lebih penting lagi dari semua itu, Jokowi perlu mendengar aspirasi mereka.

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan