Nasional

Sarbumusi: Deindustrialisasi Melanda Indonesia, Gelombang PHK Ancam Stabilitas Ketenagakerjaan Nasional

NU Online  ·  Rabu, 7 Mei 2025 | 17:00 WIB

Sarbumusi: Deindustrialisasi Melanda Indonesia, Gelombang PHK Ancam Stabilitas Ketenagakerjaan Nasional

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: Meta AI)

Jakarta, NU Online

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 tercatat sebesar 4,76 persen yang merupakan tingkat terendah sejak 1998.


Presiden Konfederasi Sarbumusi NU Irham Ali Saifuddin mengeluarkan peringatan keras tentang deindustrialisasi yang sedang melanda Indonesia.


"Fenomena ini (deindustrialisasi) telah memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan mengancam stabilitas ketenagakerjaan nasional," kata Irham, kepada NU Online, Rabu (7/5/2025).


Irham menegaskan, Indonesia sudah memasuki fase deindustrialisasi dengan gejala yang sangat jelas yakni banyak sektor manufaktur strategis yang banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia, justru pindah ke negara lain.


"Indonesia sudah mulai mengalami gejala deindustrialisasi beberapa industri manufaktur strategis seperti garmen, tekstil, dan alas kaki telah berpindah ke negara lain. Padahal ketiga subsektor ini selama ini menjadi penopang utama penyerapan tenaga kerja formal," ucap Irham.


Ia memaparkan sebuah data bahwa penutupan besar-besaran di sektor manufaktur seperti tekstil menjadi salah satu penyebab utama deindustrialisasi di Indonesia meningkat.


"Fenomena tutup usaha besar-besaran pada sektor manufaktur termasuk industri padat karya seperti tekstil menjadi penjelas dari kontraksi PMI Manufaktur Indonesia yang menyentuh level 46,7 pada April 2025 angka di bawah 50 menandakan penurunan kinerja," jelasnya.


Irham menilai, kebijakan Presiden Prabowo melakukan efisiensi anggaran pemerintah justru memperburuk situasi karena diputuskan tanpa ada sandaran teknokratis yang cukup kuat.


"Pengetatan anggaran Prabowo-Gibran yang dipaksakan tanpa sandaran teknokratis kuat telah memukul sektor strategis: makanan, minuman, perhotelan, restoran, dan pariwisata. Padahal mereka penyumbang terbesar lapangan kerja formal," imbuhnya.


Irham mengungkapkan bahwa dampak sosial yang mengkhawatirkan ini menyebabkan banyak masyarakat pekerja terlempar ke sektor informal


"57,95 persen angkatan kerja kini terlempar ke sektor informal. Dalam kondisi konversi investasi yang lemah, seharusnya pemerintah mempertahankan tenaga kerja formal at all cost atau dengan segala cara," ungkapnya.


Hal ini diperparah dengan proyeksi lembaga internasional tentang Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari yang sebelumnya 5,1 persen menjadi 4,7 persen. Sementara Bank Dunia mencatat, sebanyak 60,3 persen penduduk Indonesia atau 171,91 juta jiwa masuk kategori miskin dengan hitungan garis kemiskinan pengeluaran USD6,85 per hari.


Irham memperingatkan bahwa efek domino deindustrialisasi akan menjadi ancaman jangka panjang dengan daya beli anjlok hingga tingkat pengangguran yang meroket.


"Ini akan berujung pada turunnya daya beli masyarakat dan PHK di banyak sektor. Alarm bagi penguatan jaminan sosial, terutama bagi pekerja yang terlempar ke sektor informal," pungkasnya.