Nasional

Sejarawan Lihat Kemunduran Demokrasi Akibat Ditiadakannya Pilkada di RUU DKJ

Jumat, 8 Desember 2023 | 21:00 WIB

Sejarawan Lihat Kemunduran Demokrasi Akibat Ditiadakannya Pilkada di RUU DKJ

Ilustrasi Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Sejarawan JJ Rizal melihat adanya kemunduran dalam demokrasi dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Pasalnya, isi dari RUU DKJ itu salah satunya memuat tentang Presiden Republik Indonesia (RI) memiliki wewenang untuk menunjuk dan mencabut Gubernur serta Wakil Gubernur Jakarta, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 2 bagian IV RUU DKJ.


Rizal menjelaskan, sejak tahun 1998 semangat yang telah dikedepankan adalah desentralisasi dengan wujud demokratisasi, adanya RUU DKJ disebut Rizal telah diabaikan sehingga semangat demokrasi menjadi memudar. Ia menekankan bahwa pembangunan nasional dengan sifat sentralistik itu keliru karena pada dasarnya setiap kota memiliki potensi daerahnya sendiri sehingga dibentuklah otonomi per tiap kota daerah.


"Bahkan sebelum tahun 1998, adanya desentralisasi itu di zaman Belanda pernah ada disentralisasikan pada tahun 1982. Artinya kita mundur ke masa sebelum masa disentralisasi 1902 jadi kita mengikuti pola pikir pembangunannya zaman VOC yang sifatnya sentralistik, misalnya gubernur jenderalnya dipilih dari seberang lautan oleh hero seventeen," katanya kepada NU Online, Jumat (8/12/2023) sore.

 

"Jadi menurut saya ini bentuk bukan hanya kemunduran tapi juga pengkhianatan terhadap gagasan demokrasi sebagai inti nosionalisme cilakanya itu berlaku di Jakarta atau tumbuhnya nasionalisme ya," imbuhnya.


Lebih lanjut, Rizal menambahkan bahwa pemikiran kolonial yang anti-nasionalis, yang pada dasarnya bersifat anti-demokrasi, dihidupkan kembali dengan diberlakukannya RUU DKJ. Hal ini menjadikan RUU DKJ sebagai bentuk pengaktifan kembali pemikiran kolonial yang bertentangan dengan nasionalisme, mengingat nasionalisme adalah antitesis dari kolonialisme yang umumnya menunjukkan ketidaksetujuan terhadap prinsip-prinsip demokrasi.


"Nasionalisme itu antitesis dari kolonialisme karena semua yang berbentuk kolonial itu intinya anti demokrasi, jadi dengan diberlakukannya RUU DKJ itu sama saja mengatakan kita menghidupkan kembali pemikiran kolonial yang anti nasionalis," jelasnya.


Sebelumnya, JJ Rizal mengisyaratkan harus memahami dahulu hakikat kota. Baginya, kota diidentifikasi sebagai entitas yang dihuni oleh warga, di mana warga merupakan representasi dari keberagaman. Keberagaman yang hanya dapat diatasi melalui demokrasi, tidak dapat dihadapi dengan pendekatan otoritarian.


"Bagaimana kita mau memiliki mimpi sebagai kota, sebagai bumi manusia dengan keberagaman kalau dilakukan dengan satu sistem yang dijalankan dengan otoritarianistik itu tidak akan menjadi kota, itu hanya menjadi markas dagang," pungkasnya.


JJ Rizal juga menuntut perlu dikaji ulang soal RUU DKJ tersebut. Ia melihat Jakarta saat ini sudah jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya sehingga mempengaruhi sejarah kebudayaan, kualitas penduduk, dan beragamnya etnis yang mendiami Jakarta saat ini.


"Jadi, yang mau saya sebut DKJ dalam konteks 'K-nya' khusus tapi 'kompeni'. Ini yang buat RUU ini antek-anteknya 'kompeni'. Pikirannya itu hanya menjadikan Jakarta sebagai markas dagang. Itulah yang tercermin kalau kita membaca RUU tersebut, pembuatnya otaknya hanya memikirkan uang semata," pungkasnya.