Nasional

Shalat Sunnah Mutlak: Niat, Cara, dan Waktu Terbaiknya

Selasa, 27 Agustus 2024 | 10:00 WIB

Shalat Sunnah Mutlak: Niat, Cara, dan Waktu Terbaiknya

Ilustrasi shalat sunnah mutlak. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Shalat sunnah mutlak dilaksanakan tanpa ada sebab tertentu dan tidak terikat dengan waktu. Hanya saja, shalat sunnah mutlak tetap haram dilaksanakan di waktu-waktu yang dilarang untuk shalat, yakni setelah shalat Subuh, usai shalat Ashar, dan waktu istiwa selain di Makkah.


Shalat ini juga tidak memiliki jumlah rakaat yang pasti. Artinya, boleh dilaksanakan dengan jumlah rakaat berapa saja.


Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Ustadz Sunnatullah dalam artikelnya berjudul Tata Cara Shalat Sunnah Mutlak yang dikutip NU Online pada Selasa (27/8/2024).


Para ulama, tulis pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan, Jawa Timur itu, mendasarkan shalat tersebut pada sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban berikut.


“Shalat adalah sebaik-baiknya apa yang yang disyariatkan. Barang siapa yang berkehendak maka perbanyaklah dan barang siapa yang berkehendak maka sedikitkanlah” (HR Ibnu Hibban).


Meskipun tidak ada waktu khusus untuk shalat ini, Ustadz Sunnatullah menyampaikan bahwa shalat sunnah mutlak lebih utama dilakukan pada malam hari. Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi dalam Raudlatut Thalibin mengingat terdapat sebuah hadits yang menyebut bahwa shalat malam merupakan shalat yang paling utama setelah shalat wajib.


“Paling utamanya shalat (sunnah) setelah shalat wajib adalah shalat (yang dilakukan) di malam (hari).”


Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami al-Mishri (1131-1221 H) dalam Hasiyatul Bujairami alal Khatib mengarahkan bahwa yang dimaksud shalat malam pada hadits di atas adalah shalat sunnah mutlak yang dilakukan pada malam hari, bukan pada siang harinya.


Niat dan teknis pelaksanaannya

Shalat sunnah mutlak tidak berbeda dengan shalat-shalat yang lainnya. Ia tidak memiliki bacaan atau gerakan khusus. Perbedaannya hanya terletak pada lafadz niat yang akan diucapkan, yaitu:


أُصَلِّيْ سُنَّةً رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى


Ushallî sunnatan rak’ataini lillâhi ta’âla


Artinya, “Saya niat shalat sunnah dua rakaat karena Allah ta’ala.”


Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Hasiyah Jamal menyampaikan bahwa ada beberapa kesunnahan yang perlu diperhatikan, yaitu durasi waktu ketika berdiri lebih baik dipanjangkan daripada memperbanyak jumlah rakaatnya. Misalnya, shalat sunnah mutlak yang dilakukan dua rakaat dengan durasi waktu yang panjang ketika berdiri, lebih baik dari shalat sunnah mutlak empat rakaat yang dilakukan dengan durasi waktu berdiri yang pendek.


Sementara itu, Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzdzab menjelaskan bahwa teknis shalat sunnah mutlak boleh dilakukan dengan satu kali salam dalam setiap satu rakaat, dua rakaat, tiga rakaat, atau lebih. Boleh juga dilakukan dengan satu kali salam dalam setiap dua rakaat. Juga boleh mengerjakan banyak rakaat dengan satu kali salam.


Dalam shalat tersebut, dianjurkan untuk tidak mengeraskan suaranya, tidak pula merendahkan. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an surat al-Isra ayat 110.


“Janganlah engkau mengeraskan (bacaan) salatmu dan janganlah (pula) merendahkannya. Usahakan jalan (tengah) di antara (kedua)-nya!”


Syekh Musthafa al-Bugha, dalam Fiqhul Manhaji ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan shalat pada ayat di atas adalah shalat sunnah mutlak yang dilakukan pada malam hari.


Oleh karenanya, Allah memerintahkan umat Islam untuk menengahi bacaannya antara keras dan senyap. Batasannya, jelas Ustadz Sunnatullah, untuk bacaan yang keras (jahr) sekira bisa didengar oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, dan bacaan yang senyap (israr) adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri.


Sementara itu, bacaan yang dianjurkan saat itu adalah bacaan yang sedang-sedang saja (tawasuth), yaitu dengan cara mengukur antara di dengar orang yang ada di sekitarnya dan sebatas didengar oleh dirinya.