Nasional

Soal Pemisahan Pemilu-Pilkada: KPU Siap Jalankan Putusan MK, DPR Sebut Langgar Konstitusi

NU Online  ·  Senin, 7 Juli 2025 | 17:00 WIB

Soal Pemisahan Pemilu-Pilkada: KPU Siap Jalankan Putusan MK, DPR Sebut Langgar Konstitusi

Ketua KPU RI Mochamad Afifuddin saat menyampaikan pernyataan kepada wartawan usai rapat dengan Komisi II DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (7/7/2027). (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai 2029 memicu perdebatan di parlemen dan penyelenggara pemilu.


Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan siap melaksanakan putusan MK itu bila sudah diatur dalam undang-undang. Sementara DPR, melalui Fraksi Partai Nasdem, menilai putusan MK melampaui kewenangannya dan melanggar konstitusi.


Ketua KPU RI Mochamad Afifuddin menyatakan pihaknya akan mematuhi apa pun yang diputuskan melalui undang-undang, termasuk jika pemilu nasional dan daerah dipisahkan.


“Kami ini selalu menjalankan keputusan MK. Kalau sudah diturunkan dalam undang-undang, maka kami akan tindak lanjuti. Sampai sekarang, belum ada undang-undang turunan dari putusan itu,” jelas Afif usai rapat dengan Komisi II DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (7/7/2027).


Afif juga menekankan bahwa secara teknis, KPU sudah lama mengusulkan agar proses seleksi anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota dilakukan serentak. Hal itu penting karena kondisi saat ini menyulitkan koordinasi, terutama jika pergantian anggota KPU terjadi sangat dekat dengan tahapan pemilu.


“Ada KPU provinsi yang harus diganti hanya beberapa hari sebelum penghitungan suara. Kami sudah mengusulkan soal keserentakan seleksi sejak 2022,” tambahnya.


Menurut Afif, pemisahan pemilu nasional dan pilkada sebagaimana diatur dalam putusan MK akan berdampak pada anggaran, regulasi teknis, dan kebutuhan sumber daya. Namun, semua itu baru dapat dipetakan lebih pasti setelah ada aturan hukum yang mengaturnya secara rinci.
 

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda, di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Senin (7/7/2025). (Foto: NU Online/Fathur) 


Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Rifqinizamy Karsayuda menilai bahwa jika DPR menindaklanjuti putusan MK ini, maka hal tersebut justru akan menjadi bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945.


"Putusan ini, kalau kami jalankan, maka itu justru pelanggaran terhadap konstitusi itu sendiri," tegas Rifqi.


Ia juga mengkritik MK yang menurutnya telah melampaui peran sebagai penguji konstitusionalitas dan malah membuat norma hukum baru, mengambil alih fungsi Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang.
Rifqi merujuk pada perbandingan antara putusan MK No. 55/2019 dan putusan terbaru No. 135/2024.


"Ini bukan soal penolakan hasil, tapi soal Mahkamah yang men-downgrade dirinya sendiri. Putusan MK tidak boleh inkonsisten. Objek yang sama tidak bisa diputus berkali-kali dengan hasil berbeda," tegasnya.


Meski sikap resmi DPR belum diumumkan, Rifqi menyebut Fraksi Nasdem sudah memiliki pandangan sendiri. Ia juga mengingatkan bahwa pembentukan norma transisi seperti memperpanjang masa jabatan kepala daerah hingga lebih dari lima tahun akan melanggar Pasal 22E UUD 1945.


"Rekayasa konstitusi itu tidak boleh melabrak konstitusi. Kalau masa jabatan DPRD diperpanjang 7,5 tahun, itu namanya mengangkangi konstitusi," ujarnya.


Namun demikian, Rifqi menegaskan bahwa keputusan final terkait tindak lanjut putusan MK berada di tangan para ketua umum partai politik dan pimpinan DPR.


"Kami di Komisi II ini hanya menunggu keputusan politik dari para ketua umum. Nanti kalau kami ditugaskan, tentu pembahasannya akan terbuka dan partisipatif," ujarnya.


Ia memastikan bahwa jika Komisi II diberi mandat untuk membahas RUU Pemilu atau RUU Partai Politik, semua pihak akan dilibatkan, mulai dari akademisi, ormas, hingga masyarakat sipil lintas pandangan politik.