Nasional

Tanda Matinya Demokrasi: 'Wasit' Dikendalikan, Oposisi Disingkirkan

Sabtu, 15 Oktober 2022 | 21:45 WIB

Tanda Matinya Demokrasi: 'Wasit' Dikendalikan, Oposisi Disingkirkan

Ketua PBNU, Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali) dalam Forum Peningkatan Kualitas Demokrasi pada Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2022, di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (15/10/2022).  (Foto: NU Online/Aru Lego Triono)

Surabaya, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi’ Alielha atau Savic Ali mengatakan bahwa demokrasi bisa mati secara perlahan. Demokrasi, katanya, tidak hanya mati karena kudeta militer sebagaimana yang terjadi di beberapa negara seperti Thailand dan Myanmar. 


Savic menyebutkan tiga tanda-tanda demokrasi akan mati secara perlahan. Pertama adalah menguasai atau mengendalikan 'wasit'. Ia menjelaskan, wasit yang dimaksud di dalam konteks pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lalu dalam konteks pemerintahan adalah hakim. 


"Kalau ada tendensi atau berusaha mengendalikan, menguasai, menempatkan orang terdekatnya di posisi strategis (sebagai 'wasit') maka itu salah satu indikasi demokrasi jatuh, yaitu saat kekuasaan eksekutif berkepentingan untuk mengkooptasi dan mengendalikan wasit," ungkap Savic dalam Forum Peningkatan Kualitas Demokrasi pada Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2022, di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (15/10/2022). 


Kedua, demokrasi bisa mati ketika oposisi disingkirkan dan tidak diberi tempat. Bahkan dimatikan atau dibuat sekecil mungkin. Menurut Savic, demokrasi di Indonesia sudah mulai ada kecenderungan akan mati. 


"Demokrasi bisa mati, kalau mereka yang berposisi sebagai wasit terkooptasi dan oposisinya disingkirkan. Tendensi itu dua-duanya ada di Indonesia dan dianggap kebenaran atau didukung banyak orang, karena mungkin kita mewarisi referee (wasit) yang tidak benar," ungkap Savic.


Ketiga, menerapkan sebuah sistem baru demi benar-benar menguntungkan kekuasaan atau pemerintahan. Misalnya dengan cara mengubah aturan hukum seperti mengubah atau merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) beberapa waktu lalu. 


"Itu adalah tiga corak, biasanya demokrasi itu akan mati atau disuntik mati secara pelan-pelan dengan tiga hal itu," tutur aktivis 1998 itu. 


Berkaca pada Era Presiden Soeharto

Soeharto diangkat sebagai presiden sementara pada 1967, lalu dikukuhkan menjadi presiden definitif pada 1968. Savic masih sangat ingat pidato perdana Soeharto saat dilantik menjadi presiden, yakni ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menegakkan konstitusi yang sesuai dengan prinsip demokrasi. 


Kemudian Soeharto ikut Pemilu pada 1971. Setelah itu, tepatnya pada 1973, Soeharto mengeluarkan kebijakan penyederhanaan atau fusi partai politik menjadi tiga yaitu Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).


"(Soeharto) mulai berkepentingan atas stabilitas politik, partai tiga saja. NU dipaksa masuk PPP bertahun-tahun. Tidak ada yang melawan. Oposisi tidak ada. Partai jadi cap stempel saja selama bertahun-tahun. Baru kemudian NU keluar dari PPP tahun 1984. Artinya, Soeharto berhasil menyingkirkan oposisi lewat strategi fusi partai dan mengubah sistem," jelas Savic. 


"Kita harus belajar dari sejarah kita sendiri atas indikasi-indikasi bagaimana demokrasi itu bisa mati secara pelan-pelan atau disuntik mati perlahan. Kalau sudah mati, dihidupkan lagi susah," imbuhnya.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan