Bulan Ramadhan dan Syawal adalah bulan yang identik dengan kegiatan dan aktivitas ibadah dan amal. Di bulan Ramadhan, rutinitas ibadah bagi orang Islam adalah melaksanakan puasa dan ibadah tarawih. Ketika Ramadhan hendak berakhir, ada kewajiban lainnya yang diperintahkan oleh syariat, yaitu menunaikan zakat. Dan saat hari raya tiba, ada kesunahan yang ditradisikan, yaitu menunaikan ibadah shalat 'id dan melakukan anjangsana dalam rangka silaturahmi dan bermaaf-maafan. Tak urung, banyak umat Islam Indonesia yang melakukan mudik ke kampung halaman demi melakukan rutinitas itu. Banyak biaya yang dikeluarkan seiring hal itu menjadi kebutuhan.Â
Namun, tahukah Anda bahwa rutinitas itu tidak lengkap tanpa THR. Apa itu THR? Iya, ia adalah Tunjangan Hari Raya yang dibayarkan karena adanya momen haru raya keagamaan. Namun, apa dasar dari diberikannya THR ini khususnya kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan swasta dan sejumlah karyawan dari sebuah instansi? Bagaimana cara menghitungnya?Â
Pembahasan ini akan menjadi sangat menarik manakala kita merujuk pada pengertian dan jenis hari raya itu sendiri. Ingat bahwa di dalam PP Nomor 78 Tahun 2015, telah ditetapkan adanya 6 hari raya di Indonesia yang diakui oleh pemerintah, antara lain Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adlha, Hari Raya Natal, Hari Raya Nyepi, Hari Raya Waisak dan Hari Raya Imlek. Namun, dari keenam hari raya itu, THR identik diberikan karena momen Hari Raya Idul Fitri. Mengapa? Ya karena alasan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim.Â
Apakah THR ini hanya berlaku untuk karyawan Muslim? Tentu tidak. Perusahaan juga bisa memberikan THR kepada karyawannya yang memeluk agama lain pada waktu mereka merayakan hari raya sebagaimana tertuang di atas. Sebenarnya THR ini tidak hanya berlaku untuk perusahaan saja, melainkan semua pihak yang mempekerjakan orang lain dalam proses produksinya.Â
Aturan yang mewajibkan diberlakukannya THR ini adalah Permenaker No. 6 Tahun 2016, Pasal 2 yang menyatakan bahwa pengusaha wajib memberi THR Keagamaan kepada pekerja yang telah memiliki masa kerja minimal 1 bulan atau lebih secara terus-menerus. Kewajiban sebagaimana yang diatur dalam ketentuan peraturan ini tidak membedakan status pekerja apakah ia karyawan tetap, karyawan kontrak ataukah karyawan paruh waktu. Semuanya sama punya hak untuk mendapatkannya.
Nah, jelas bukan? Mungkin selanjutnya yang dipermasalahkan adalah bagaimana THR itu dihitung dan ditentukan oleh sebuah instansi, baik instansi pemerintah maupun instansi swasta? Dalam hal ini ada beberapa pola penghitungan. Masing-masing dibedakan menurut status personnya dan lama kerjanya.Â
1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN)
Terhadap ASN, THR lebaran diberikan dengan mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2018. Ada beberapa komponen yang turut dihitung di dalamnya, yaitu gaji pokok, tunjangan jabatan atau tunjangan umum dan tunjangan kinerja. Ada satu komponen yang juga turut dihitung dan menjadi tambahan bagi turunnya THR itu, yaitu gaji ke-13. Jadi, akumulasi THR untuk ASN adalah gaji ke-13 ditambah segala pernik tunjangan di atas. Dalam hal ini, THR bagi ASN jumlahnya akan berbeda dengan besaran THR sebelumnya yang hanya diberikan berdasar gaji pokok saja.
2. Pegawai Swasta
Acuan bagi pembayaran THR untuk pegawai swasta ini mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2019, Pasal 3 ayat 1. Di dalam Permenaker ini ditetapkan bahwa:
a. Bagi buruh yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus, maka ia diberi THR sebesar gajinya dalam satu bulan. Misalnya gaji pokok buruh adalah sebesar Rp1.5 juta dengan lama masa kerja adalah 12 bulan, maka besaran THR yang diberikan adalah sebesar Rp1.5 juta.Â
Jika buruh tersebut kesehariannya memiliki tunjangan lain, misalnya tunjangan anak sebesar Rp200 ribu dan tunjangan transportasi sebesar Rp500 ribu, maka total THR yang bisa ia dapatkan adalah sebesar Rp1.5 juta ditambah total tunjangan (Rp700 ribu), sama dengan Rp2.2 juta.
b. Bagi buruh yang memiliki masa kerja minimal 1 bulan dan kurang dari 12 bulan, maka tunjangan diberikan menurut proporsi lama kerjanya dibanding dengan besaran total THR bagi yang sudah bekerja selama 1 tahun.Â
Suatu misal: gaji pokok bulannya adalah Rp1.2 juta. Jika lama kerjanya 2 bulan, maka proporsi THR yang ia terima adalah sebesar 2/12 dikalikan dengan gaji pokok sebesar Rp1.2 juta, sehingga didapat Total THR adalah sebesar Rp200 ribu.Â
Apabila perusahaan menyediakan tunjangan anak dan tunjangan transportasi sebesar 200 ribu dan 500 ribu, maka total THR yang bisa ia terima akan berubah menjadi sebagai berikut:
2/12 x (1.2 juta + 200 ribu + 500 ribu), maka THR yang diterima oleh buruh tersebut akan menjadi 2/12 × 1.9 juta = 316 ribu rupiah.
Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan gaji pokok di sini adalah upah tanpa tunjangan sehingga merupakan net income karyawan. Pasal yang mengatur adalah Permenaker No 6 Tahun 2016 Pasal 3 ayat 2.
Terkadang perusahaan ada yang memberikan THR lebih tinggi dari yang ditetapkan Peraturan Menteri yang dijadikan acuan. Sebagian ada yang menamai gaji ke 13 dan 14. Kenapa demikian? Karena THR yang dibayarkan langsung mencakup 2 bulan gaji. Bahkan ada juga perusahaan yang memberikan THR sampai 3 bulan gaji. Semua ini tergantung pada lama kerja pada perusahaan tersebut dan merupakan hak internal instansi.
Apakah karyawan non-Muslim juga berhak mendapatkan THR? Mengacu pada Permenaker yang sama, Pasal 5 ayat 1, pembayaran THR dilakukan selama 1 tahun sekali dan disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing. Meskipun demikian, ada juga instansi yang memberikan THR itu tidak pada hari raya keagamaan pekerja secara individu, namun diberikan pada momen hari raya agama lain dan hal ini biasanya sudah didahului dengan adanya kesepakatan bersama. Jadi, jika ada kesepakatan pekerja bahwa THR dibayarkan bersamaan dengan momen hari raya agama lain, maka hal itu adalah sah dari sisi hukum positifnya, mengingat penyesuaian momen adalah merupakan anjuran dan bukan perintah yang harus dilakukan.
Sebagian pihak ada yang mengeluhkan soal pemotongan THR. Apakah hal ini dibenarkan menurut hukum positif? Mengacu pada ketentuan Pasal 24 PP Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, maka THR sebagai hak pekerja bisa saja dipotong oleh perusahaan bilamana pekerja memiliki utang terhadap perusahaan. Namun, ada catatan bahwa potongan itu tidak boleh melebihi 50% dari THR yang harus diterimakan. Kebijakan ini berguna sebagai penjamin agar pekerja dapat merayakan momen bahagia keagamaannya tanpa kebingungan dengan soal finansial.
Adapun mengenai waktu pembayaran THR, maka terdapat regulasi yang mengatur bahwa THR tersebut harus sudah diterimakan maksimal H-7 sebelum Hari Raya Keagamaan. Bahkan dalam Permenaker No 6 Tahun 2016 Pasal 10, terdapat ketentuan bahwa apabila pengusaha terlambat membayarkan THR tersebut, maka ia bisa dikenai denda sebesar 5% dari total THR yang wajib diterimakan kepada pekerja.Â
Dan apabila pengusaha menolak untuk membayar THR, maka dengan mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja, pengusaha dapat diancam dengan pidana kurungan atau denda.Â
Demikian sekelumit tentang THR dan perangkat hukumnya. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi para pekerja swasta dan aparat sipil negara dalam hal penerimaan haknya terhadap gaji ke 13. Wallahu a'lam bish shawab.Â
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur