Nasional

Untuk Papua Damai, Pendekatan Adat Sering Diabaikan

Rabu, 18 September 2019 | 12:10 WIB

Untuk Papua Damai, Pendekatan Adat Sering Diabaikan

Foto: NU Online/Syakir

Jakarta, NU Online
Beberapa waktu lalu, Papua kembali bergejolak. Hal itu diakibatkan dari represi dan tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan Bandung. Pemerintah dan masyarakat ramai-ramai ingin mendatangi asrama mahasiswa di Surabaya, tetapi semuanya ditolak.

Tokoh Muda Papua Methodius Kossay mengatakan bahwa penolakan mereka karena luka batinnya belum terobati.

Hal itu disampaikan saat Kossay menjadi narasumber pada dialog perdamaian dengan tema Damai Papua untuk Keutuhan NKRI di Aula Gedung IASTH Lantai 3, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya, Jakarta, Selasa (17/9).

Maka, lanjutnya, keinginan bertemu mahasiswa Papua, menurutnya, jangan hanya ketika terjadi konflik, tetapi perlu diwujudkan dalam bentuk ajakan, persuasi dengan diikutsertakan dalam berbagai kegiatan dan duduk bersama.

Hal itu tidak hanya disampaikan kepada pemerintah secara umum, tetapi juga kepada warga Papua yang terlibat dalam kepemerintahan di berbagai tingkatan.

Oleh karena itu, ia meminta agar 'honai', rumah adat Papua, harus dihadirkan di seluruh wilayah Indonesia dengan duduk bersama di asramanya. "Honai sesungguhnya minum kopi bersama di dalam asrama," ujarnya.

Artinya, pemerintah harus mengayomi masyarakat dan mahasiswa Papua di mana pun mereka berada. Para tokoh Papua yang duduk di kursi pemerintahan juga, katanya, harus hadir sebagai orang tua bagi mereka.

Sementara itu, Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kogoya menyatakan perlu ada evaluasi otonomi khusus Papua sebagai sebuah perjanjian.

Sementara ini, adat sebagai elemen penting di Papua tidak dilibatkan dalam menentukan keputusan. Tak ayal akibatnya, pemerintah menjadi pincang. Sebab, adat memiliki pengaruh kuat di tengah masyarakat pulau paling timur Indonesia itu.

Hal serupa disampaikan oleh Margaretha Hanita, dosen Kajian Ketahanan Nasional Sekolah Ketahanan dan Strategik Global (SKSG) Universitas Indonesia.

"Masyarakat Papua lebih tunduk pada hukum adat daripada hukum positif. Eksistensi perdasus tidak efektif. Satu hal yang mereka rasakan pasti kecewa," katanya.

Banyak hal yang diatur dengan hukum adat dan agama tetapi tidak diakui dalam hukum positif. Hal itu, menurutnya, membuat masyarakat Papua merasa terasing. "Pendekatan kita masih belum mendapatkan hati bagi Papua," katanya.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Alhafiz Kurniawan