Nasional

Wasekjen PBNU: Di Era Modern, Makna Jihad dan Pahlawan Bisa Diperluas

Jumat, 12 November 2021 | 07:15 WIB

Wasekjen PBNU: Di Era Modern, Makna Jihad dan Pahlawan Bisa Diperluas

KH Abdul Mun'im DZ saat peluncuran bukunya, "Fragmen Sejarah NU" (Foto: NU Online/Damar Pamungkas)

Jakarta, NU Online
Jihad memiliki tataran makna yang sangat luas. Bukan sebatas pada perang kombatan, makna perjuangan sejatinya lebih daripada itu.

 

Demikian disampaikan oleh Sejarawan KH Abdul Mun'im DZ saat mengisi webinar Road to Muktamar NU-34 bertajuk Nahdlatul Ulama dan Kepahlawanan, Kamis (11/11/2021) malam.

 

Ia menerangkan bahwa definisi pahlawan perlu segera diperluas. Tidak hanya identik dengan mereka yang mengangkat senjata, tetapi juga yang berjuang pada bidang strategis lainnya. “Harus objektif. Ijtihad, jihad, dan mujtahid. Itu kan sama-sama satu akar,” beber Wakil Sekretaris Jendral Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu.

 

Sebagaimana pada pertempuran 1945. Ia menyebut bahwa banyak sejumlah pihak yang justru terinspirasi oleh ahli mujahadah. Pertempuran yang saat itu hanya dengan menggunakan senjata apa adanya, tentu tidak meyakinkan dan sebanding dengan lawan.

 

“Kekuatan ahli mujahadah itu berada di belakang seluruh pertempuran ini sehingga mendapatkan kemenangan. Makanya, ahli mujahadah tidak bisa dilupakan,” jelasnya.

 

Berbicara soal kepahlawanan dan problematikanya, baginya, makna kepahlawanan saat ini masih terfokus pada kontribusi seseorang dalam perang fisik. Menurutnya, apabila definisi tersebut masih terus digunakan hingga situasi hari ini, makna pahlawan berpotensi menciut dan lenyap.

 

“Generasi ‘45 yang mendapatkan gelar pahlawan memang yang berperang. Kalau diteruskan definisi itu, lama-kelamaan tidak ada pahlawan, karena sudah tidak ada perang fisik,” paparnya.

 

Oleh karenanya, makna jihad dan kepahlawanan bisa dipugar dan diperluas lagi, menyesuaikan dengan konteks kehidupan modern.

 

Catatan sejarah perjuangan bisukan peran ulama 
Menukil sabda Rasulullah saw, ia menerangkan bahwa perang fisik dari pertempuran yang dahsyat pun sejatinya adalah pertempuran kecil. 

 

"Jihad itu tatarannya sangat luas. Pengertian sebagaimana disebutkan hadits Raja’na min jihadil asghar ila jihadil akbar, bahwa jihadil akbar itu justru ada setelah perang. Dari situlah makna jihad dan kepahlawanan akan bisa diperluas pada era modern ini. Sehingga, kita tidak akan kehabisan sosok pahlawan," terangnya.

 

Berkaca pada hadits tersebut, ia mengisahkan peristiwa resolusi jihad yang dikobarkan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. “Ini ternyata adalah bagian dari jihadil asghar. Apa perang besarnya? Yaitu perang perebutan wacana tentang sejarah tahun ‘45 itu sendiri,” tuturnya.

 

Kodifikasi sejarah yang dilakukan pascakemerdekaan, sambung Mun'im, merupakan medan riil dalam pengimplementasian jihadil akbar. Bagaimana kemudian peran para kiai NU dan pesantren dibisukan dalam catatan sejarah, menjadi sesuatu yang harus diluruskan.

 

Salah satu tokoh yang bereaksi mengenai penulisan sejarah tersebut adalah KH Munasir Ali. Kiai yang sekaligus Komandan Batalyon Tjondromowo yang berbasis di Jawa Timur mulai dari Surabaya sampai Madiun itu merasa tersinggung dan menilai penulisan sejarah tidak adil.

 

“Lalu beliau mengumpulkan seluruh arsip yang dimilki NU kemudian ditata pada 1982 lalu diserahkan kepada arsip nasional untuk diteliti para sejarawan dan ilmuan sosial yang berbicara soal sejarah,” ujarnya mengisahkan.

 

Hal tersebut dilakukan sebelum KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) berkuasa dan pertarungan makna pahlawan sudah berlangsung. Hingga ditandai oleh pemerintah pada tahun 2015, peran ulama kemudian dicatatan ke dalam sejarah melalui penetapan Hari Santri.

 

“Prosesnya lama. Dari tahun 1982 dan itu baru memperoleh kemenangannya tahun 2015,” katanya.

 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi