Opini 80 TAHUN GUS MUS

80 Tahun Gus Mus dan Suasana Politik NU

Selasa, 13 Agustus 2024 | 14:00 WIB

80 Tahun Gus Mus dan Suasana Politik NU

Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri. (Foto: Muhammad Jordan)

Bagi warga NU umumnya, minimal NU iplikithik seperti saya, Gus Mus adalah figur rujukan moral yang sangat penting. Setiap langkah beliau adalah solusi, bukan problem. Ucapan-ucapan beliau berisi jalan keluar bagi masalah atau jalan tengah bagi suatu pertikaian.


Kesan ini dibentuk oleh banyak pengalaman berinteraksi secara langsung dan tidak langsung dengan beliau. Salah satu kejadian lama yang sangat berkesan pernah saya ceritakan di laman Facebook.


Menjelang Idul Adha belasan tahun lampau, saya mendapati diri sedang rada bokek. Kondisi keuangan sedang tercekik oleh pengeluaran rutin dan cicilan (entah mobil entah KPR, saya lupa). Harga kambing qurban jadi terasa membebani pikiran. Saya tahu bahwa qurban itu sunnah bagi yang mampu. Kalau sedang kurang mampu secara finansial, tak ada keharusan untuk qurban. Tapi saya sangat keberatan "mengklaim" diri tak mampu di hadapan Tuhan. Karenanya saya cari nasihat dari para ulama dan kiai tentang hal itu, untuk menguatkan hati. 


Salah satu nasihat datang dari Gus Mus: "Qurban itu sunnah. Tapi dawuhipun Rasulullah, orang mampu yang tidak berqurban, jangan dekat-dekat mushallaku."


Isi kalimat itu tidak baru bagi saya. Namun mendengarnya kembali membuat saya merasa dijewer keras-keras. Saya spontan bulatkan tekad untuk menunaikan qurban di hari lebaran, entah dari mana dananya.


Tak lama setelah menetapkan tekad itu, tiba-tiba ada SMS masuk dari bagian keuangan fakultas. Isinya adalah permintaan untuk "mampir ke lantai 1" mengambil honor (entah ujian, koreksian atau kepanitiaan; saya agak lupa). Saya pun turun ke bagian keuangan. Di sana saya disodori beberapa lembar berkas yang harus ditandatangani. Setelah tanda tangan, saya menerima amplop berisi uang honor beberapa items. Isinya total Rp. 1.350.000; tepat seharga satu ekor kambing qurban ukuran besar ketika itu.


Kaitan kejadian tersebut membuat saya merasa bahwa perkataan Gus Mus punya bobot spiritual yang sangat kuat dan solutif.


Kali lain, saat sedang balik ke Indonesia di tengah studi di Curtin University, saya diundang untuk hadir di sebuah munas PKB di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Saat itu PKB sedang berada di puncak sebuah konflik kepemimpinan yang sangat serius, pasca pemilu 2004. Konflik pasca Muktamar Semarang itu belakangan membuat partai ini terbelah secara politik, dan melahirkan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) pimpinan Choirul Anam.


Dalam acara di Surabaya itu, saya hadir sebagai pengamat saja. Di sana saya bertemu dengan sejumlah orang, termasuk Gus Saifullah Yusuf dan Pak Mahfud MD. Sempat berbincang sekilas dengan Pak Mahfud, beliau bertanya seperti ini pada saya, “bagaimana kabarnya Anas?” Yang ditanya Pak Mahfud adalah Anas Hidayat, dosen UII yang juga sedang ambil S3 di Curtin University. Saya ceritakan bahwa Pak Anas baik-baik saja, bareng saya ngurusi embrio Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di Western Australia.


Yang terkesan bagi saya dari acara di Sukolilo itu adalah sambutan Gus Mus dalam pembukaan. Saat acara itu saya duduk di pojokan kanan, memandang pada layar monitor yang menampilkan panggung dan deretan kursi depan secara lebih jelas. Alwi Syihab nampak sangat ganteng di situ. Wajahnya terlihat berbeda dari wajah-wajah “pribumi” di sekitarnya. 


Apa dawuh Gus Mus saat itu? Beliau kira-kira mengatakan seperti ini:


“Saya kan sudah pernah bilang: ‘mbok ya apa-apa itu dirembuk dulu’. Saya sudah ingatkan sejak lama, agar segala urusan itu diselesaikan dengan rembukan, jangan dengan bertengkar rebutan jabatan. Kalau sudah rebutan jabatan, bubrah semua.”


Beliau tidak menunjukkan keberpihakan pada kubu manapun yang saat itu sedang mempertengkarkan kursi kepemimpinan PKB. Gus Mus mengingatkan pentingnya mencari jalan tengah, menemukan solusi bagi pertikaian antara kedua pihak yang sama-sama mengincar posisi kepemimpinan di PKB.


Andai nasihat Gus Mus itu diikuti, arah politik kepartaian di Indonesia akan sangat berbeda dari sekarang. Tapi saya paham, mengikuti nasihat soal qurban tentu jauh lebih mudah daripada mengikuti nasihat untuk rembukan ketimbang rebutan kursi pimpinan parpol.


Sikap dan nasihat yang konsisten juga pernah disampaikan oleh Gus Mus dalam Muktamar Ke-33 NU Tahun 2015 di Jombang, yang juga memanas karena konflik yang hampir berujung pada kekerasan itu. Di puncak ketegangan yang memalukan itu, Gus Mus menyampaikan pidato secara sangat teatrikal. Dengan uraian air mata, beliau berkata:


"Mohon dengarkan saya. Dengan hormat kalau perlu saya mencium kaki-kaki Anda semua agar mengikuti akhlaqul karimah, akhlaq KH Hasyim Asy'ari dan pendahulu kita.”


Para muktamirin tercekat. Pihak-pihak yang bertikai pun mulai mengendalikan diri sehingga keadaan yang semula memanas itu kembali menyejuk. Muktamar perlahan kembali kondusif.


Hari-hari ini, jama’ah NU tengah gundah karena konflik. Yang menguat bukanlah konflik internal PKB seperti tahun 2005 itu. Yang terjadi bukan pula konflik internal NU seperti saat muktamar di Jombang. Yang tengah memanas sekarang adalah konflik antara pimpinan pusat PKB dengan pengurus besar NU. Di PKB ada dzurriyah muassis yang sangat dihormati oleh Gus Mus. Di PBNU ada keponakan yang berada dalam kewajiban kasih-sayang beliau. 


Konflik ini berat, dan saya yakin para Nahdliyin sedang menunggu tausiyah dari Gus Mus untuk menengahi konflik itu. Tapi kok rasanya kita ini kurang elok betul, di tengah ulang tahun beliau yang ke-80 (10 Agustus 2024), tengah yang harusnya guyub rukun mensyukuri kesehatan beliau, malah menyuguhi konflik duniawi yang fana ini. Ketimbang meminta beliau turun gunung menengahi konflik, bagaimana kalau urusan itu kita bereskan sendiri di atas itikad baik, lalu bersama-sama mendoakan kesehatan dan kebaikan bagi Gus Mus? Sepakat?


Abdul Gaffar Karim, Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM).