Syafiq Hasyim
Setelah kita sedikit menjelajah Aliran Basrah yang berakhir pada kodifikasi Imam Sibawayhi dengan Al-Kitabnya, maka saat saatnya sekarang beralih pada ulasan mengenai aliran Kufah. Tokoh dari aliran ini juga banyak, namun beberapa tokoh mainstream yang disebutkan di sini.
<>
Tokoh-tokoh itu adalah Abu Jaāfar Ar-Rawaāisi, Abu Muslim MuŹæad Al-Harraā, keduanya adalah tonggak, sementara pengikutnya adalah āAli b. Hamza al-Kisaāi dan berakhir kesempurnaan aliran ini di tangan Abu Zakariya Yaįø„ya b. Ziyad al-Farraā.Tokoh terakhir ini sebanding dengan Imam Sibawayhi pada aliran Basrah.
Mengapa kedua aliran ini sangat begitu penting di dalam perkembangan ilmu tata bahasa Arab, salah satu jawabnya adalah karena sejarah keseluruhan diskursus, perdebatan, dan teori-teori tentang Nahwu berikutnya berasal dari perbedaan yang terjadi pada kedua aliran tersebut (Abduh ar-Rajiįø„i, Durus fil-Madhahib an-Naįø„wiyya, h. 109).
Secara historis, aliran Kufah pada mulanya adalah mengamalkan teori-teori yang sudah dibangun oleh aliran Basrah karena kemunculannya yang datang kemudian setelah aliran Basrah. Namun lambat lain, aliran Kufah menemukan cara mereka sendiri āmanhajāyang berbeda dengan aliran Basrah.
Dalam sejarah Islam, Kufah sendiri merupakan salah satu tempat imigrasi (hijrah) kalangan sahabat Rasulullah. Ilmu-ilmu keislaman muncul di sini, namun yang terbesar adalah ilmu qiraāah (bacaan). Ada tiga aliran qiraāah, dari tujuh aliran (qiraāah sabŹæah) yang mainstream, muncul dari kawasan ini: bacaan Imam ŹæAį¹£im, bacaan Imam įø¤amzah dan Al-Kisaāi.
Perlu diketahui di sini bahwa ilmu qiraāah adalah ilmu tentang membaca Al-Qurāan yang didasarkan pada riwayat āsejarah pembacaan yang diterima dari Nabiā, talaqqi (pertemuan langsung, dalam tradisi pesantren Jawa disebut sorogan) baik dengan Rasul, Sahabat maupun guru-guru. Karenanya dalam tradisi bacaan yang tujuh ini seseorang tidak bisa ditolerir jika melantunkan pembacaan menurut model salah satu bacaan yang tujuh jika tanpa disertai proses pertemuan langsung dengan guru tersebut dan mendapatkan ijazah (izin) untuk melantunkannya.
Pasti kita ingat qariā terkenal kita, Haji Muāammar ZA dan Khumaidi yang melantunkan beberapa ayat Al-Qurāan dengan contoh-contoh imalah yang indah. Kedua pembaca Al-Qurāan berani melantunkannya karena keduanya sudah mendapatkan ijazah. Konsep ini didasarkan pada argumen bahwa karena ilmu qiraāah ini adalah ilmu cara membaca Al-Qurāan yang didasarkan pada cara baca yang nyata (kongkrit), artinya bersumber pada Rasulullah.
Qiraāah bukan berdasar pada manį¹iq (logika), ijtihad (penggalian), dan taāwil (penafsiran), namun berdasar pada riwayat dan talaqqi. Ini merupakan metode paling valid dalam proses transmisi tekstual (naqliyyah) kebahasaan.
Lalu dimana hubungannnya dengan aliran Kufah ini?
Ternyata, tradisi qiraāah Kufah lebih banyak terbentuk dari proses aqliyah kebahasaan yang banyak didasarkan pada pertimbangan argumen-argumen Nahwiyyah (Abduh Ar-Raajihi, Duruus, h. 90). Atas fenomena di atas, para peneliti dan sejarahwan ilmu Nahwu menyatakan bahwa aliran Kufah memperluas fungsi dan makna riwayat dalam tradisi ilmu Qiraāah dengan cara mengambil satu contoh sebuah bacaan tertentu untuk diteoretisasikan pada kasus-kasus yang lain atau menjadikannya kaidah umum.
Hal ini berbeda dengan karakter aliran Basrah yang justru banyak membangun contoh-contoh sementara kaidah yang dibangun hanya satu. Mungkin secara simplistik bisa saya katakan: aliran Kufah melahirkan banyak teori nahwu dari satu contoh saja āgeneralisasiā, sementra aliran Basrah membangun satu teori nahwu dari banyak contoh (ibid.).
Contoh perbedaan keduanya lagi misalnya, aliran Basrah dari sejarah kemunculan sampai perkembangannya pada masa kini, arenanya lebih banyak terfokus pada Nahw Al-ŹæArabi (kasus Arab), bahkan terlihat kecenderungan adanya taāassub kearaban dari sebagian pengkaji Nahwu aliran Basrah.
Sementara apa yang dilakukan oleh aliran Kufah adalah realisme bahasa Arab (waqŹæi al-lugha) itu sendiri. Aliran Kufah mengkaji bahasa Arab dari materi-materi kebahasaan yang prinsip-prinsip empiris artinya melalui jalan pengamatan atas model yang berulang-ulang (taqririyyah). Hal ini berbeda dengan aliran Basrah yang cenderung lebih berdasar pada model filosofis.
Contoh dari hal ini misalnya adalah sebuah kejadian dimana suatu saat Al-Kisaaāi ditanya di forumnya Yunus ātokoh aliran Basrah mengapa aliran Kufah membaca āla aįøribanna ayyihimā, mengapa tidak āla aįøribanna ayyahim.ā (lihat kalimat yang saya tebalkan). Al-Kisaaāi menjawab: āayyun hakadha khuliqatā (demikianlah kata ayyun diciptakan). (Lihat kisah ini pada Jalaluddin Abduraįø„man As-Suyuį¹i dalam Al-Mazhar fi Ulum al-Lugha wa Anwaāiha, vol. 2, h. 373).
Menurut Abduh Ar-Rajiįø„i, āhakadha khuliqatā merupakan contoh bagaimana inti dari pandangan empirisisme bahasa aliran Basrah. Artinya, Al-Kisaaāi di sini tidak menjelaskan alasan-alasan filosofis mengapa ayyihim tidak dibaca naį¹£ab bi al-fatįø„, akan tetapi malah dibaca bi al-kasra (jer). Satu contoh perbedaan lagi adalah tentang kemungkinan adanya jumlah yang menjadi faŹæil ājumlah terdiri dari dua: fiŹæliyya artinya susunan kalimat yang terdiri dari fiŹæil dan faŹæil dan ismiyyah susunan kalimat yang terdiri dari mubtadaā dan khabarādimana aliran Basrah menolaknya dengan tegas dengan rasionalisasi filosofis kearaban mereka.
Sebagai contoh tentang kontoversi di sini adalah ātsumma bada lahum min baādi ma raāawul ayat layasjununnahuā, letak perbedaan kedua aliran ini adalah pada jawaban atas pertanyaan ādimana letak faŹæil (pelaku) kata bada? Aliran Basrah menjawab bahwa faŹæil kata kerja lampau ini adalah kata ganti tertutupi (mustatir) yang diperkirakan berupa (huwa: dia).
Pertanyaan berikutnya: kemana kata ganti mustatir ini kembali? Aliran Basrah menyatakan bahwa kata ganti mustatir ini kembali kepada masdar (kata dasar) yang disimpulkan dari kata kerja badaaā. Kira-kira rasionalisasi ketatabahasannya adalah ātsumma bada lahum badaāun huwaā¦.ā Lalu mereka mendudukan ālayasjununnahuā sebagai jumlah tafsiriyya (penjelas) atas kata ganti mustatir yang kembali pada kata dasar al-bidaā.
Dipandang dari perspektif aliran Kufah, cara pembacaan aliran Basrah lebih sebagai model imaginasi bahasa (khayyal) karena secara realitas al-bidal di sini adalah tidak nyata, sesuatu yang dibayangkan yang di dalam ilmu Nahwu sering diungkapkan dengan istilah taqddiruhu/ha. Di pesantren kita seringkali mendengar istilah ini, namun sayangnya para guru tidak pernah menjelaskan mengapa istilah ini seringkali muncul dan atas dasar apa. Semoga penjelasan kecil ini bermakna bagi saudara-saudara santri dan kiai-kiai di pondok.
Lalu bagaimana cara aliran Kufah mendudukan ātsumma bada lahum min baādi ma raāwu al-ayat layasjununnahuā?
Dengan sangat ringkas dan jelas aliran Kufah menyatakan bahwa ālayasjununnahuā āini jumlah fiŹæliyyaāadalah faŹæil dari kata bada. Pandangan aliran Kufah ini jelas bahwa bagi mereka pemberlakuan jumlah sebagai faāil yang ditolak oleh madzhab Basrah adalah fenomena yang benar dan biasa dalam bahasa Arab.
Satu contoh lagi, Kalangan Kufah menyatakan bahwa mafŹæul itu menjadi naį¹£ab karena adanya fiŹæil dan faŹæil sebelumnya, maka aliran Basrah cukup dengan fiŹæil, kedudukan nasab pada mafāul bisa terjadi. Contohnya: zaydan akramtuhu. Nasab pada kata zaydan menurut aliran Basrah karena ada fiŹæil yang ditakdirkan sebelum zaydun, maka menurut kubu Kufah, nasab pada zaydun justru karena ada fiŹæil dan faŹæil yang jelas meskipun jatuh setelah zaydan.
Meskipun perbedaan kedua madzhab ilmu Nahwu ini sering dicitrakan berbeda oleh kalangan peneliti ilmu ini, namun ternyata banyak juga kesamaan dari kedua kubu ini. Misalnya, pandangan bahwa įøarf (keterangan tempat atau waktu) dan jer majrur bisa merafaākan isim di belakang keduanya ketika kedudukan kalimahny menjadi mubtadaā, ternyata pandangan ini juga disepakati oleh Al-Mubarrad, tokoh aliran Kufah. Sudah barang tentu, titik temu mereka masih banyak lagi, namun saya tidak akan menjelaskan satu per satu mengingat diskusi ini memang sangat luas dan panjang sekali.
Bahasan serial ilmu nahwu ini merupakan bagian ketujuh. Silakan diikuti pembahasan selanjutnya yang dikupas Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Syafiq Hasyim. Belum lama ini ia meraih gelar Dr. Phil dari BGSMCS, FU, Berlin, Jerman.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
6
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
Terkini
Lihat Semua