Muhamad Rosit
Kolomnis
Gelombang demonstrasi besar-besaran mewarnai awal masa jabatan Sudewo, Bupati Pati, pada 13 Agustus 2025. Kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250% memicu protes dan kemarahan rakyat.
Sebelumnya, Sudewo memperlihatkan sikap arogan dan keras kepala saat merespons aksi protes warga. Ia menyatakan bahwa jumlah aksi massa yang turun ke jalan tidak akan mengubah kebijakan yang telah ditetapkan. Ia bahkan berujar, “Bukan hanya lima ribu, bahkan jika lima puluh ribu orang demonstran sekali pun, kebijakan PBB ini tidak akan dibatalkan”.
Pernyataan itu justru menjadi pemicu kemarahan, karena dianggap menantang dan meremehkan rakyat Pati. Tak heran pada 13 Agustus kemarin, puluhan ribu orang bersatu berunjuk rasa di depan kantor Bupati.
Pentingnya Komunikasi Publik
Dalam konteks komunikasi publik, pilihan diksi berpotensi memicu resistensi, memperkuat soliditas massa, dan mempersulit penyelesaian persoalan secara damai.
Dalam teori komunikasi, dikenal prinsip irreversibility, bahwa sekali pesan disampaikan kepada publik, maka pesan itu tidak bisa ditarik kembali.
Sayangnya, Bupati Sudewo sepertinya terlambat menyadari kekeliruannya. Permintaan maafnya pun tidak mengubah pernyataan arogan yang sudah dilontarkannya.
Selain itu, dalam komunikasi selalu terkandung dimensi isi dan hubungan. Setiap pesan yang dikomunikasikan selalu mengandung isi (apa yang disampaikan) serta hubungan (bagaimana cara komunikator menyampaikannya).
Baca Juga
Badai Perlawanan Rakyat Pati
Dalam konteks perkataan Sudewo, dimensi isinya memicu demonstrasi, sementara dimensi hubungannya menciptakan kesan arogan dan meremehkan aspirasi warga, yang akhirnya memunculkan kemarahan massal.
Pernyataan Sudewo yang menantang warga untuk berunjuk rasa adalah contoh pesan komunikasi yang berdampak jangka panjang (long-term). Apalagi di era media sosial, di mana rekaman video dan kutipan pernyataan bisa menyebar luas dengan cepat, hal ini akan semakin memperuncing masalah.
Pelajaran Berharga bagi Pejabat Publik
Sudewo yang baru menjabat pada 18 Juli 2025 harus menghadapi tuntutan agar mengundurkan diri, padahal masa jabatannya belum genap sebulan. Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik untuk tidak "bermain-main" dengan rakyat. Dalam demokrasi, rakyatlah yang berdaulat, sementara pemerintah menjalankan amanah konstitusi.
Kasus ini menjadi peringatan bahwa komunikasi publik bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian tak terpisahkan dari strategi seorang pejabat. Seorang pejabat tidak hanya diukur dari kebijakan yang dihasilkan, tetapi juga dari cara ia berkomunikasi. Sebab, bahasa memiliki kekuatan untuk membangun atau menghancurkan kepercayaan publik.
Seorang pemimpin juga perlu memahami konteks budaya, sosial, dan psikologi warga, karena respons publik tidak hanya soal isi pesan, tetapi juga bagaimana pesan itu dibingkai dan disampaikan. Di era keterbukaan informasi, pesan seorang pemimpin bisa cepat menyebar, dipotong-potong, dan diinterpretasikan beragam. Oleh karena itu, pemimpin harus mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan terhadap pernyataannya.
Kehilangan dukungan warga dalam politik tidak selalu karena kebijakan yang salah, tetapi sering kali karena cara penyampaian pesan yang kurang empatik dan tidak sensitif. Seorang pejabat publik yang bisa menyampaikan kebijakan dengan jelas dan empatik akan memperoleh legitimasi, bahkan saat mengambil keputusan yang sulit sekali pun.
Setidaknya ada tiga faktor penting agar sebuah kebijakan bisa diterima rakyat. Pertama, transparansi kebijakan. Rakyat membutuhkan alasan kuat di balik sebuah kebijakan. Pemimpin perlu menjelaskan secara terbuka, misalnya, bahwa kenaikan PBB digunakan untuk membiayai infrastruktur atau program pembangunan. Tanpa penjelasan yang baik, kebijakan akan dimaknai sebagai beban tanpa nilai tambah.
Kedua, partisipasi publik: Keterlibatan warga dalam perumusan kebijakan sangat penting. Jika warga diajak berdialog sebelum keputusan dibuat, pendapat mereka akan dihargai dan pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan dengan kondisi di lapangan.
Ketiga, komunikasi empatik: Penyampaian kebijakan tidak boleh menggunakan bahasa kasar dan arogan, melainkan harus mempertimbangkan saran dan masukan warga.
Kasus di Pati menjadi pelajaran berharga bagi para pejabat publik bahwa setiap kebijakan harus dikomunikasikan secara transparan, partisipatif, dan empatik.
Dengan pendekatan ini, kebijakan dapat diterima tanpa resistensi, bahkan menumbuhkan dukungan publik yang memperkuat legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap seorang pemimpin.
Muhamad Rosit, Dosen Komunikasi Politik FIKOM Universitas Pancasila
Terpopuler
1
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
2
Jumlah Santri Menurun: Alarm Pudarnya Pesona Pesantren?
3
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
4
Kantor Bupati Pati Dipenuhi 14 Ribu Kardus Air Mineral, Demo Tak Ditunggangi Pihak Manapun
5
Nusron Wahid Klarifikasi soal Isu Kepemilikan Tanah, Petani Desak Pemerintah Laksanakan Reforma Agraria
6
Badai Perlawanan Rakyat Pati
Terkini
Lihat Semua