Opini

Hobi Perang

Rabu, 16 Maret 2022 | 11:00 WIB

Hobi Perang

Tentara bayaran kini muncul ke permukaan. Perang Rusia-Ukraina, perang terdahsyat semenjak perang dunia II (1945), mengundang mereka ke medan laga.

Deep Purple merilis pada 1974 sebuah lagu yang melegenda. Ia berjudul Soldier of Fortune yang berarti Tentara Bayaran. Ia bercerita tentang cinta yang hilang yang membuatnya tidak berhenti berburu. Dia hidup seperti melayang pasrah pada nasib laksana tentara bayaran yang rela mengorbankan nyawa demi kepuasan batin.

 

Tentara bayaran kini muncul ke permukaan. Perang Rusia-Ukraina, perang terdahsyat semenjak perang dunia II (1945), mengundang mereka ke medan laga. Adalah Volodymyr Zekensky, presiden Ukraina, pengundangnya. Keterbatasan jumlah tentara Ukraina dibandingkan Rusia, membuatnya mengajak para relawan perang dari seantero dunia untuk hadir. Hingga tulisan ini dibuat, sudah belasan ribu tentara dari pelbagai negara Eropa, Amerika, dan negara lain yang mendaftar. Oleh Zelensky mereka dipersilakan hadir tanpa visa. Pembaca berita TV Aljazeera dalam dialognya dengan seorang pengamat militer menunjukkan keheranannya, betapa mungkin seseorang mau ikut perang sementara dia bukan warga negara yang sedang terlibat perang. Sang pengamat menjawab, bahwa memang ada orang yang punya jiwa perang yang tinggi yang gemar menantang perang. Tidak seperti umumnya orang yang menghindari perang, justru baginya perang adalah sebuah petualangan yang menantang dan mengasyikkan.

 

Selain soldier of fortune, tentara bayaran dalam bahwa Inggris disebut dengan mercenary. Mereka telah ada sejak dahulu kala dan terus ada hingga kini. Pada zaman Firaun (2000 SM), Romawi (800 SM) ia telah ada. Dan kini di era modern juga ada. Yang paling gres sebelum perang Ukraina, perang di Libia yang hingga kini masih berlangsung antara tentara resmi negara melawan kubu Khalifa Haftar, mantan kepala angkatan darat Libia era Qadafi, juga banyak melibatkan para tentara bayaran. Libia negara yang kaya minyak tentu tidak sulit baginya untuk mendanai kehadiran mereka. Sumur-sumur minyak yang dikuasai kelompok bertikai mampu menghasilkan dana untuk membayar mereka. Semakin tinggi bayaran semakin semangat mereka ikut. Dalam perang sekarang, Ukraina membayar per orang/bulan 50 juta jika dirupiahkan, kata sumber media asing.

 

Ada beragam motif di balik tentara bayaran. Ada yang murni uang, karenanya ia disebut “mercenary” yang berarti mata duitan. Bisa karena solidaritas kepada salah satu pihak perang. Seperti kaum jihadis yang pergi ke Palestina untuk membela saudara seiman melawan Israel. Bisa karena faktor ideologis, seperti mereka yang antikomunis ikut membela Ukraina melawan Rusia meski negara ini tidak lagi seperti saat bernama Uni Sovyet dulu yang komunis. Bisa faktor sejarah masa lalu yang memusuhi salah satu pihak sehingga terdorong terjun membela pihak yang lain. Bisa karena faktor balas budi, seperti keterlibatan tentara Suriah  membela Rusia melawan Ukraina karena Rusia berjasa membela Suriah memerangi ISIS (2013-2017) hingga jatuh korban nyawa di pihak Rusia. Bisa faktor kemanusiaan sehingga orang luar rela ikut perang membela Ukraina yang dianggap dianiaya oleh Rusia dengan serangan yang banyak memakan nyawa warga sipil.

 

Dalam kasus Ukraina, banyak motif berkelindan. Motif seringkali tidak tunggal. Walhasil mereka kemudian datang dan mempraktikkan keterampilan mereka dalam berperang. Kebanyakan mereka berlatar belakang militer. Mereka bukan orang baru mengangkat senjata. Mereka sebagian adalah pensiunan tentara, pecatan tentara atau yang pernah bekerja di sektor keamanan yang terampil menggunakan senjata. Tanpa keahlian itu, sulit rasanya diterima oleh pihak pengguna.

 

Perang bagi mereka, khususnya yang murni untuk mencari uang, tak ubahnya seperti sawah ladang bagi petani. Atau seperti acara besar yang mengundang pedagang untuk berjualan. Perang bukan sesuatu yang menakutkan tetapi sebaliknya menjanjikan. Apakah ini sesuatu yang abnormal atau kelainan? Entahlah. Tidak semua orang menyukai yang biasa-biasa saja. Ada yang menyukai tantangan dan keseruan seperti olahraga ekstrem yang sangat menakutkan bagi banyak orang tapi tidak demikian bagi sang pelaku yang justru menikmati.

 

Dalam perjalanan penulis dari Connecticut ke New York bersama seorang teman warga Amerika asal Rusia, sang teman sambil menyetir mobil bercerita banyak hal mulai urusan romansa, minat ikut politik, hingga tawaran bergabung ISIS di Suriah dengan tawaran gaji tinggi. Menjadi kombatan seperti halnya profesi apa pun memang mesti dibayar. Semangat perang dan motif ideologis tetap membutuhkan dana untuk mewujudkannya. Pihak yang berperang harus menyiapkan itu apalagi mengundang orang luar untuk masuk.

 

Perang memang sejatinya untuk sebuah tujuan mulia bukan untuk mencari uang. Untuk itu mereka, tentara bayaran, tidak dianggap sebagai pejuang oleh hukum internasional. Bagi mereka tidak berlaku hukum tawanan perang yang harus diperlakukan secara manusiawi jika tertangkap lawan. Tidak ada perlindungan hukum bagi mereka jika mengalami perlakuan keji dari musuh saat tertangkap. “Kamu bukan siapa-siapa ikutan perang. Rasain sendiri akibatnya”, kira-kira begitu.

 

Pengorbanan nyawa tidak layak kecuali hanya untuk sebuah nilai mulia. Nilai mulia berpusat pada ketuhanan (teosentrisme) dan pada kemanusiaan (antroposentrisme). Kebenaran agama yang masuk dalam bagian pertama, diperjuangkan hingga orang yang meyakininya datang dari jauh untuk ikut berperang. Seperti saat Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) berdiri dengan ibukota Raqqah dan Abu Bakar al-Baghdadi sebagai khalifah, sebagian umat Islam lintas negara yang meyakini keharusan menegakkan khilafah dan penerapan syariat secara tekstual, hadir. Tidak semua dari mereka terampil berperang. Tidak seperti tentara bayaran yang memang punya keahlian di situ.

 

Selain motif absolut teosentris tadi, yang melahirkan sosok seperti Usamah bin Laden yang dituduh ada di balik serangan gedung kembar WTC New York pada 11 September 2001, motif keadilan kemanusiaan (antroposentrisme) juga mampu menggerakkan kombatan lintas negara. Seperti Che Guevara yang merupakan orang kedua setelah Fidel Castro pemimpin Kuba. Dia berkelana dari negara ke negara di Amerika Latin dan merasakan mirisnya kehidupan, kemiskinan, dan kondisi penyakitan masyarakat di sana. Dia berkesimpulan bahwa ini semua akibat eksploitasi kaum kapitalis yang harus dihancurkan lewat revolusi global. Dari Argentina, Che pindah ke Meksiko dan akhirnya ke Kuba untuk menumbangkan Batista penguasa pro Amerika.

 

Bersama Castro, Che berhasil melakukan revolusi dan menumbangkan Batista hingga menduduki jabatan terpenting di Kuba. Semangat juang Che membuatnya tidak betah di jabatan tingginya. Dia memilih berperang dan mengubah nasib rakyat dengan mengobarkan revolusi. Dia datang ke Congo Afrika dan menggerakkan revolusi namun gagal. Terakhir dia ke Bolivia untuk tujuan yang sama hingga akhirnya tertangkap oleh CIA dan dihukum mati pada 1968. Bersamanya ada banyak pejuang lintas negara yang rela mati demi memperjuangkan nasib manusia yang tertindas. Mereka bukan tentara bayaran tapi tentara ideologis yang haus berjuang dan tidak betah hidup dalam damai.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya