Opini

Keteladanan Paus dan Duka Gaza

NU Online  ·  Sabtu, 26 April 2025 | 18:00 WIB

Keteladanan Paus dan Duka Gaza

Sri Paus Fransiskus (Foto: NU Online

Sebagai Muslim, penulis turut berduka sedalam-dalamnya atas meninggalnya Sri Paus Fransiskus. Setiap kematian niscaya menimbulkan rasa duka di kalangan saudara, keluarga dan para kolega yang mengenal almarhum, terlebih lagi meninggalnya pemimpin tertinggi umat Katolik dengan teladan kepemimpinan nyaris sempurna seperti kerap dilakukan oleh Paus Fransiskus. Inilah yang sekarang dirasakan oleh umat Katolik di seluruh dunia, dirasakan juga oleh kita semua sebagai pecinta Paus Fransiskus.


Paus Fransiskus meninggalkan sejumlah keteladanan agung yang sangat penting, mulai dari keteladanan terkait kepemimpinan hingga keteladanan terkait perdamaian dan keberpihakan terhadap mereka yang lemah dan tertindas. 


Keteladanan Paus
Keteladanan pertama dan terutama adalah dalam kapasitas beliau sebagai Kepala Negara Vatikan sekaligus Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik. Pada galibnya, kepemimpinan memiliki ketentuan protokoler yang membuat seorang pemimpin terpisah dari umat dan rakyatnya. 


Tapi pelbagai macam ketentuan protokoler seakan tak mampu memisahkan Paus dari umat yang dikasihinya. Pelbagai macam cara digunakan oleh Paus untuk menjumpai umatnya secara langsung. Tak jarang Paus mencium umatnya, khususnya dari kalangan anak-anak. Bahkan Paus juga tak segan untuk mencium kaki salah satu umat (ritual pembasuhan kaki).


Ini sungguh keteladanan kepemimpinan yang sangat kuat, bahkan mulai langka. Alih-alih pemimpin tertinggi seperti Paus, bahkan pemimpin di tingkat dusun atau desa sekalipun sudah nyaris tidak ada kepemimpinan yang sampai “mencium kaki” umat/rakyat. Hal yang jamak terjadi justru sebaliknya; umat atau rakyat mencium tangan penguasa, bahkan kadang-kadang juga mencium tangan anak dan keluarga besarnya penguasa.


Dalam tradisi masyarakat Arab ada istilah terkait kepemimpinan yang sangat terkenal; sayyidul qawmi khadimuhum (pemimpin umat/rakyat adalah pembantu atau pelayan mereka). Sebagian sumber menisbatkan perkataan ini kepada sahabat Umar bin Khattab, salah satu pemimpin agung dalam sejarah Islam awal. Pernyataan ini terkait dengan visi kepemimpinan yang sejatinya mengabdi dan melayani kepentingan umat atau rakyat.


Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, tradisi luhur ini tak ubahnya tulisan di atas kertas yang mengering bersamaan dengan keringnya tinta yang digunakan. Tradisi ini menjadi kalimat utuh di dalam kertas dan buku-buku yang mulai menua di sejumlah perpustakaan tua. Sementara dalam kehidupan sehari-hari justru rakyat dan umat yang membantu penguasa dan mendapatkan kekuasaan. Bahkan umat dan rakyat tak jarang digunakan sebagai martir untuk keberlangsungan kekuasaan penguasa beserta penerus yang dikehendakinya.


Tradisi “mencium kaki umat” sangat penting untuk ditegakkan di tengah tradisi kekuasaan yang lupa diri. Hingga para penguasa tidak lupa tentang hakikat kekuasaan yang tak lain adalah kuasa rakyat dan harus digunakan untuk kepentingan sebanyak-banyaknya rakyat. Bukan justru berupaya melanggengkan kekuasaan dengan segala macam cara, bahkan walaupun mungkin sudah tidak menjabat lagi.
   

Keteladanan berikutnya dalam kapasitas Paus sebagai pemimpin tertinggi adalah kesederhanaannya. Kekuasaan selalu menyediakan pelbagai macam fasilitas yang super mewah dan lengkap. Pada tahap tertentu, kelengkapan dan kemewahan fasilitas yang ada acap menjadi hal yang tak terpikirkan oleh sebagian besar rakyat jelata. Dan tak jarang, segala fasilitas yang ada diwujudkan atas nama dan demi kebesaran nama rakyat.


Di sinilah pentingnya teladan kesederhanaan dari seorang Paus. Seperti dalam kunjungan terakhirnya ke Indonesia, Paus justru menggunakan fasilitas-fasilitas biasa yang jarang digunakan oleh seorang pejabat (terlebih kepala negara). Bahkan selama berkegiatan di Indonesia, Paus memilih menggunakan mobil operasional biasa yang jauh dari kesan mewah. 


Posisi duduk Paus di dalam mobil pun tak seperti “bos”, apalagi pemimpin yang biasanya duduk di kursi belakang (sendirian). Paus justru naik mobil bersama-bersama dengan timnya dengan menempati kursi di depan pula berdampingan dengan sopir yang menyopiri mobilnya. Sungguh ini keteladanan dan pemandangan seorang pemimpin yang sangat langka.  


Keteladanan agung berikutnya dari Paus adalah terkait dengan kecintaannya terhadap keberagaman sekaligus memuliakan segala perbedaan yang ada. Dalam setiap perjumpaan yang bersifat lintas iman, Paus acap menunjukkan sikap hangat, hormat dan bahkan takzim kepada tokoh agama yang ditemui. 


Perjumpaan dan kehangatan hubungan beliau dengan Grand Syeikh Al-Azhar, Syeikh Ahmad Al-Tayeb, contohnya, menjadi teladan harmoni dan perdamaian secara global. Pun demikian dengan perjumpaan-perjumpaan lain seperti ketika Paus berjumpa dengan Imam Masjid Istiqlal yang sekarang menjadi Menteri Agama Republik Indonesia, KH Nasaruddin Umar.


Duka Gaza
Keteladanan Paus selanjutnya adalah terkait kecintaannya terhadap kaum lemah dan perdamaian. Mungkin cinta inilah yang membuat Paus tidak gentar untuk membela mereka yang menjadi korban perang di Ukraina, menjadi korban perang di Gaza, memberi ketangguhan bagi keluarga sandera di Israel dan mendesak segera diakhirinya perang Gaza. 


”Saya mohon, sekali lagi, untuk segera diwujudkan gencatan senjata di Jalur Gaza, pembebasan sandera, dan akses terhadap bantuan kemanusiaan,” inilah pesan perdamaian terakhir Paus Fransiskus, dibacakan Uskup Agung Diego Ravelli, Kepala Liturgi Kepausan, dalam Misa Paskah, Minggu (20/4/2025).


Demi cintanya terhadap kaum lemah dan perdamaian, Paus tidak memilih sikap aman dalam bentuk netral, melainkan memilih sikap berpihak kepada warga Gaza yang lemah dan keluarga sandera. Demi kaum lemah dan perdamaian, paus tidak gentar berhadap dengan pemerintahan Israel sekarang (di bawah kepemimpinan Netanyahu). 


Bahkan beberapa bulan lalu, Paus mendukung PBB untuk mengadakan penyelidikan di Jalur Gaza terkait dugaan genosida yang dilakukan oleh Israel (17/11/04). Belakangan sikap Paus lebih tegas lagi dengan menggunakan istilah “arogansi penjajah” (ghatrosatul muhtal) di Palestina dan Ukraina (Aljazeera.net, 25/11/04).


Oleh arenanya, dalam konteks perang Gaza, meninggalnya Paus menjadi duka di atas duka. Duka pertama terkait dengan meninggalnya Paus itu sendiri. Duka berikutnya terkait dengan perang yang belum ada tanda-tanda mau selesai sampai sekarang. Dan lebih duka lagi, karena meninggalnya Paus berarti berkurangnya dukungan dari tokoh yang sangat kuat agar perang yang ada segera diakhiri.  


Apa pun itu, Paus telah menjalankan seluruh tugasnya dengan sebaik-baiknya. Paus tak hanya menjadi pemimpin bagi umat dan komunitasnya, melainkan telah menjadi imam bagi kemanusiaan secara universal. Dengan pelbagai macam keteladanan agung yang dilakukan, dunia pantas berduka sekaligus perlu mengucapkan terima kasih kepada Paus. Keteladanan agung Paus Fransiskus harus senantiasa dilanjutkan ke depan. Terima kasih Sri Paus Fransiskus. 


Hasibullah Satrawi, pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam.