Opini

Kontribusi Ulama Ahlussunah wal Jamaah bagi Umat Islam

Kamis, 28 November 2019 | 14:00 WIB

Kontribusi Ulama Ahlussunah wal Jamaah bagi Umat Islam

Ilustrasi: NU Online

Oleh Febi Akbar Rizki

 

Secara jarak dan waktu, umat Islam zaman sekarang sangat jauh masanya dari Nabi Muhammad SAW. Lebih dari 1400 tahun dengan jarak 88.000 km lebih. Namun Alhamdulilah lantaran peran para ulama, peran para wali, peran para ustadz akhirnya aqidah Islam, syariat agama Islam, akhlakul Islam bisa sampai kepada kita. Dengan peran para ulama, kita bisa Islam, dengan peran para ulama kita bisa shalat, dengan peran para ulama kita bisa zakat, dengan peran para ulama kita bisa haji dan seterusnya. Bersyukur kepada Allah tidak sah, kecuali kita juga berterimakasih kepada manusia yang telah berjasa menyampaikan Islam kepada kita. Rasulullah SAW bersabda:

 

"Orang yang tidak bisa tidak berterima kasih kepada manusia, tidak bisa menghargai jasa manusia, maka dia tidak sah syukurnya kepada Allah SWT."

 

Kalau guru dan kiai sudah wafat, kita ziarahi makam mereka, kita doakan mereka, kita kirim doa kepada mereka. Itulah cara kita berterimakasih kepada mereka yang telah berjasa membawa Islam di Indonesia. Kalau mereka masih hidup, sowan (silaturrahmi) kepada mereka, tetap ikuti akidah mereka, pengajian mereka dan sambung hati dengan mereka. Sangat disayangkan jika hanya gara-gara masalah politik, misalnya caleg atau pilihan presiden ada satu dua umat Islam yang salah arah. Mungkin dia mengaji ke Gading, mengaji kepada Kiai Bashori dan seterusnya, namun hanya gara-gara berbeda pilihan, lalu menyatakan putus hatinya dengan kiai, na’udzubillah min dzalik. Sangat disesalkan, menang tidaknya pilihan tidak ada artinya dibandingkan putus hubungan atau kehilangan ulama itu.

 

Ilmu harus pakai sanad, apa sanad? Riwayat yang mengkaitkan kita sampai Rasulullah SAW. Kepastian aqidah, dasar syariat serta cara kita shalat, untuk memastikan itu semua benar-benar berasal dari Rasulullah SAW, maka wajib mengaji kepada ulama yang punya silsilah. Ulama iu pernah mengaji kepada guru yang sebelumnya, guru yang sebelumnya pernah mengaji kepada guru yang sebelumya, guru yang sebelumya pernah mengaji kepada guru yang sebelumnya, begitu seterusnya menyambung sampai Rasulullah SAW.

 

Kalau kita mengaji kepada ulama dengan sanad keilmuan yang jelas seperti itu, sehingga menyambung sampai Rasulullah SAW, maka dipastikan apa yang kita amalkan merupakan ilmu yang terwarisi dari Rasulullah SAW. Sejatinya para ulama yang secara turun temurun mempunyai silsilah sanad ilmu sampai Rasulullah SAW, merekalah yang bisa dikatakan ulama, karena ulama adalah para pewaris Nabi, Bagaimana mungkin bisa dikatakan pewaris Nabi jika tidak mempunyai silsilah yang jelas sampai Rasulullah SAW. "Para ulama adalah para pewaris Nabi".

 

Kita yang tidak pernah bertemu dan tidak pernah mengaji langsung dengan Rasulullah SAW. Oleh karenanya, bertemu ulama ibarat sahabat yang bertemu Rasulullah SAW. Mengaji kepada ulama yang mempunyai sanad Ilmu sampai Nabi, bagaikan sahabat yang mengaji langsung kepada Nabi Muhammad SAW.

 

Kiai Gading, Kiai Bashori, Habib Sholeh dan semua ulama Ahlussunah Waljamaah, apapun yang mereka sampaikan pasti berdasarkan sabda dan ajaran Rasulullah SAW, termasuk masalah sekecil apapun. Contoh kecil, kita ikut kiai atau ulama yang biasanya membaca Surat Yaasin, diniatkan untuk kedua orang tua yang sudah meinggal. Sedangkan ada golongan diluar Ahlussunah wal Jamaah yang mengatakan itu bid’ah dan bukan ajaran Rasulullah SAW.

 

Imam Assuyuti dalam kitab Al-Jam’u Shogir Juz 2 Hal. 178. Riwayat Imam Baihaqi, Nabi Muhammad SAW bersabda:

 

"Barangsiapa membaca Yasin, ikhlas dan mengharap ridlo kepada Allah SWT, maka dosa-dosanya diampuni Allah SWT. Oleh karenanya, supaya orang yang sudah meninggal dan orangtua kita diampuni. Sabda Nabi, bacakan surat yasin di samping orang yang sudah meninggal."

 

Keterangan itu juga ada di kitab Bulughul Maaram:

 

"Bacakan surat Yasin (dihadiahkan) untuk orang-orang yang sudah mati di antara kamu"

 

Kalaupun ada diantara mereka, seperti Wahabi atau yang lain mengatakan hadis ini dhoif. Pemimpin sekaligus tokoh Wahabi, Muhammad bin Ali bin Muhammad Assaukani dalam kitab Arrosaus Salafiyah halaman 36 justru menyatakan hadis ini sahih. Dia mengatakan hadza hadisun shohih, ini adalah hadis sahih.

 

Ulama mengajarkan kita bersedekah dengan niat untuk orang yang sudah meninggal. Tapi, ada orang diluar Ahlussunah wal Jamaah yang mengatakan hal tersebut bid’ah dan tidak ada dalilnya. Padahal itu Hadis Bukhari nomor 2563.

 

"Datang seorang laki-laki (sowan) kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulallah ibu saya telah wafat, kalau saya bersedekah lalu pahalanya saya niatkan untuk ibu, apakah ibu dapat pahala juga? Nabi menjawab iya, ibumu dapat pahala."

 

Setelah mayit diberangkatkan ke makam, kiai-kiai kita menganjurkan untuk masak sekedarnya di rumah duka. Orang-orang yang pulang dari kuburan, kita beri makan setelah mayyit dikubur. Orang menuduh itu Kejawen dan khurafat, padahal itu full sunnah Rasulullah SAW. HR Imam Bukhori nomer 5417.

 

"Ketika keluarga Siti Aisyah istri Nabi, ada yang wafat, banyak sekali kaum perempuan datang takziyah, lalu ketika mayit dikubur perempuan-perempuan yang takziah tersebut pulang, tinggal tetangga dan keluarga dekat saja yang tidak pulang. Lalu Aisyah memasak Talbina, bubur sarit dicampur dengan adonan susu yang sudah direbus. Setelah memasak, Aisyah memberi hidangan dan bilang kepada para tamu di rumah duka, monggo buk dipun dahar. "

 

Rasulullah SAW bersabda memberi makan seperti ini di rumah duka, setelah mayit dikubur (orang malang bilang namanya Tumpeng pukur). Memberi makan yang seperti ini, mujimatun lifuadil marid, membuat tenang hati orang yang sedang susah.

 

Oleh karena itu, ikutilah ulama-ulama Ahlussunah Waljamaah, jangan hanya karena pilkada, jangan hanya karena Pilpres lalu hati kita putus dari kiai, na’udzubillah min dzalik.


Penulis adalah Pengurus PKPT IPNU IPPNU UNISMA

 

*Tulisan terinspirasi dari sebuah khutbah yang disampaikan KH Marzuki Mustamar