Opini

Lain di Sini, Lain di Sana: Memaknai Perbedaan

Jumat, 3 November 2017 | 01:00 WIB

Dalam pengertian populer, lain itu berbeda, berbeda itu tidak sama, dan tidak sama itu berlainan—bisa juga berlawanan. “Lain di sini, lain di sana” berarti berbeda di mana-mana. Namun, berbeda di mana-mana belum tentu melahirkan ekspresi yang tidak sama. Seperti digambarkan dalam lagu anak-anak, “Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang”. Telah jelas output-nya sama, walaupun proses yang dialaminya berbeda. Mungkin, di sini senang gara-gara menang, di sana senang gara-gara curang. 
 
Sebelum lebih jauh saya ingin menghadirkan Gus Dur terlebih dahulu dalam tulisan ini, “Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa baca al-Qur’an, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi al-Qur’an. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah bukan yang lainnya, dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.”
 
Hidup kita ini kadang terlalu repot dengan diri kita sendiri, kita itu maunya orang sama dengan kita dan sesuai dengan keinginan/pikiran kita, padahal tidak ada yang sama dalam hidup ini. Kebiasaan membanding-bandingkan pun sering kita temui dalam masyarakat kita, seperti guru di sekolah—membanding-bandingkan muridnya, orang tua di rumah—membanding-bandingkan anaknya, politisi—membanding-bandingkan janjinya, pengamat—membanding-bandingkan Indonesia, dan tokoh agama—membanding-bandingkan pemahamannya.
 
Mungkin itu semua dilakukan dengan tujuan ingin menghadirkan kebaikan dalam hidup ini, agar sesuatu menjadi berkualitas. Namun, membanding-bandingkan kadangkala membuat kita terjebak menjadi tidak adil. 
 
Tidak semua orang itu sama, bahkan bisa dipastikan tidak ada kesamaan diantara kita, jikalau ada kesamaan paling hanya berapa persennya saja. Apalagi kita hidup di zaman yang sudah dikotak-kotakan oleh spesialisasi ilmu pengetahuan. Orang mempunyai kemampuan masing-masing dalam bidangnya. Lantas apakah kita harus menyalahkan orang yang tidak sepaham dengan kita karena tidak sesuai dengan bidang yang kita geluti? Tentu jangan dong.
 
Pertanyaannya, apakah lain di sini dan lain di sana, menandakan hidup itu benar-benar relativ dalam hal apapun? Relativ sosial, relativ pergaulan, relativ kultural, relativ pemahaman, dan relativ lainnya. Dan orang sering mengatakan kebenaran yang ditemukan oleh manusia itu relativ, sehingga tidak ada hal objektif? Ini membingungkan. Objektif itu jelas ada.
 
Saya ambil contoh seperti ini, seorang peneliti sedang melakukan penelitian tentang kemiskinan, tingkat kemiskinan di setiap daerah itu berbeda, antara Kebumen, Cirebon, dan Yogyakarta, jika kita membandingkan angka kemiskinannya itu yang dinamakan relativ, tapi kemiskinan itu sendiri objektif. 
 
Nah, karena itu—setiap identifikasi harus bisa memilah maksud dari berlainan, berlawanan, dan berbeda. Seperti: ‘berlawanan’, ialah ‘mati dan hidup’, ‘miskin dan kaya’—seorang pada saat yang sama tidak bisa dikatakan “dia hidup” sekaligus “dia mati”, “dia miskin” dan “dia kaya”, kalau pun itu muncul bersamaan pasti melalui perspektif berbeda, miskin harta dan kaya hati (tidak sama), dalam hal ini yang bisa disematkan hanya satu jenis, mati atau hidup, miskin atau kaya.
 
Sedangkan ‘berlainan’, bisa dikatakan dengan contoh, Purwadi adalah seorang yang berkulit putih dan berkulit hitam. Tidak mungkin kedua warna ini melekat pada Purwadi diwaktu yang bersamaan, tetapi dapat diterima kedua kebenaran yang berbeda itu apabila keduanya hilang, dan terlahir sifat baru yang melekat terhadap diri Purwadi.Atau dengan kata lain, Fadli Zon adalah Wakil Partai Gerindra sekaligus Wakil Partai Golkar, jelas tidak mungkin. Fadli Zon pasti akan ditebas, karena berbeda kepentingannya. Kecuali, hal tersebut akan menjadi benar, ketika Fadli Zon pernah mencicipi keduanya, dan sekarang ia mempunyai identitas baru sebagai Ketua Partai Perkutut.
 
Kemudian ‘berbeda’, contohnya: murid berbeda dengan guru. Namun, kedua hal tersebut bisa disandang dalam waktu bersamaan. Ada seorang mahasiswa tapi sekaligus merangkap menjadi guru. Jelasnya begini, Talim adalah seorang Menteri, namun ia merangkap juga sebagai Sekjen Partai Kucing. Walaupun secara institusi berbeda, namun bisa dilakoni dalam waktu bersamaan.Padahal ada aturan etis, merangkap jabatan itu “lucu”. Apalagi keduanya sama-sama jabatan politik.
 
Kembali ke “Lain di Sini, Lain di Sana”. Dalam teori Marxis ada pemilik modal dan ada juga kaum buruh. Dalam terminologi Islam ada kaum penindas dan kaum tertindas. Dalam organisasi Islam tebesar di Indonesia, ada NU dan ada Muhammadiyah—begitupun seterusnya. Tuhan menciptakan hunian terakhir di akhirat kelak, ada surga dan ada juga neraka. Jika demikian, hidup ini kumplit sekali dan seringkali bertolak belakang. 
 
Adanya perbedaan pandangan merupakan hal lumrah. Karena itu, Indonesia menempatkan dasarnya Bhinneka Tunggal Ika dan karena itu ada Sumpah Pemuda, tujuannya apa? Untuk menyatukan keperbedaan kita dalam bingkai kerukunan. 
Orang boleh saja tidak sepakat dengan yang lain, namun bukan menjadi hak kita mencabut pemikiran orang lain, lantas kita mengaggapnya salah dan bodoh. “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakan hal itu” begitulah yang Voltaire katakan.
 
Bukankah Allah SWT Berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
 
Dalam ranah yang lebih luas, tuntutan keadilan harus dimiliki oleh seorang pemimpin, apalagi di masyarakat ‘lain di sini, lain di sana’. Pemimpin harus mampu menjadi penengah dalam memutuskan kebijakan-kebijakannya. Pemimpin harus menghindari kesewenang-wenangan. Setiap pemimpin yang dipilih rakyat harus mengedepankan sikap jujur, bersih dan amanah. 
 
Ibnu Abbas mengatakan, “Sungguh, bumi akan terasa indah di mata manusia bila ‘di sana-sini’ ada pemimpin yang jujur dan adil. Sebaliknya, bumi menjadi jelek bila ‘di sana-sini’ banyak pemimpin yang jahat. Bumi bisa bersih hanya di zaman adil, tidak di zaman yang penuh kezaliman.” Semoga ‘zaman now’ banyak pemimpin-pemimpin yang adil. 
 
Pemimpin harus berangkat dari perasaan kosong, putih, dan tanpa kepentingan. Agar ia tidak sombong dan tidak merasa pintar serta tidak merasa unggul dari siapapun, supaya pemimpin selalu belajar adil.
 
Dalam hal ini, saya sepakat dengan Cak Nun, baginya syarat menjadi pemimpin itu sederhana, yaitu harus ‘manusia’. Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya, gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal semua orang sudah bersepakat bahwa ia manusia. Cak Nun melanjutkan dengan pertanyaan menarik, bukankah perilaku kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan ‘rutin’ dalam konstelasi perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?” (Emha Ainun Nadjib, Pemimpin, Republika) 
 
Namun, era sekarang ini, perilaku kebinatangan tidak hanya terjadi dalam konstelasi poilitik saja. Pun peristiwa keagamaan juga, seakan-akan kita sekarang itu konsisten menyerukan kebaikan agama, tapi inkonsisten dalam praktik keagamaan yang baik. Begitu pula dengan toleransi, kita ingin bangsa ini mempunyai karakter toleransi sempurna, namun ternyata kita sendiri telah menjadi intoleran terhadap intoleran.
 
Nampak perdebatan setiap hari kita lihat, pertentangan dalam berbagai hal. Media-media itu sebagai alat adu domba mempertemukan dua kelompok yang berseberangan. Perdebatan yang tidak memunculkan proposisi tertentu yang menjadi fokus kontroversi. Perdebatan dan pertentangan dibiarkan melebar, menjadi isu-isu yang tak bertuan. Tidak ada sifat kritis membangun, satu sama lain menjatuhkan. Apalagi proses pendalaman, betul-betul “blur” dan kosong. 
 
Bagi mereka yang berkepentingan, ini kesempatan untuk memanipulasi dan mempengaruhi publik dengan ilusi-ilusi kebaikan, walaupun tanpa dasar pemikiran. Bagi publik, hal ini menyulitkan untuk mengukur mana baik, man salah, mana benar, mana sesat. Karena ‘di sini lain—di sana lain’, dan publik harus ‘di sini’ atau ‘di sana’?
 
 
Aswab Mahasin, Pembaca Setia NU Online.