Opini

Melihat Papua dengan Dua ‘Lensa’ Alfiyah ibn Malik

Jumat, 30 Agustus 2019 | 19:00 WIB

Oleh M. Fayad Hazami
 
Indonesia bagian timur kini sedang menjadi perbincangan hangat di seantero tanah air. Jika biasanya program Waktu Indonesia Timur di NET yang mampu menyorot perhatian publik dengan lawakan-lawakan khas dari para personelnya seperti Abdur, Arie Kriting, Yewen dan teman-teman komika lainnya yang sama berasal dari timur, sekarang justru gejolak panas di tanah Papua-lah yang menyita perhatian. Pemicunya, peristiwa penggerebekan Asrama Papua yang terjadi di Surabaya tepat sehari sebelum hari kemerdekaan, Jumat (16/8).

Dilansir CNN Indonesia, kronologi kerjadian bermula saat aparat dengan salah satu ormas Islam melakukan pengepungan asrama yang dihuni oleh mahasiswa-mahasiswa asal Papua karena diduga adanya perusakan bendera Merah Putih. Pengepungan terus berlanjut, hingga pada Sabtu (17/8). Aparat menggerebek dan menahan 43 mahasiswa yang ada di dalam, setelah sebelumnya terus-menerus memaksa mereka keluar dengan diiringi makian bernada rasis.

Kejadian ini sungguh sangat disayangkan. Di saat seharusnya kita mengisi hari kemerdekaan dengan lebih meresapi makna Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan negara, para oknum justru memperkeruh suasana dengan isu rasialisme. Memanggil saudara sebangsa-setanah air dengan panggilan ‘monyet’ hanya karena memiliki warna kulit yang berbeda jelas merupakan tindakan terkutuk. 

Tindakan rasisme sebenarnya bukan hal baru di kalangan umat manusia. Tercatat, perbuatan merasa bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul ini pertama kali terjadi di dunia adalah saat iblis menolak perintah Allah swt. untuk bersujud kepada Nabi Adam a.s. Dikisahkan, penolakan itu didasari perasaan jumawa iblis dengan merasa dirinya lebih mulia karena terbuat dari api, dibanding manusia yang hanya tercipta dari tanah.

Allah swt. berfirman dalam Al-Qur’an surat al-A’raf ayat 12, “’Apakah yang menghalangimu bersujud (kepada Adam) ketika kuperintahkan kepadamu?’ Iblis menjawab, ‘Kami lebih baik daripada dia: Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Kau ciptakan dari tanah’.” Tentunya semua tahu apa yang selanjutnya terjadi, Allah swt. murka lalu mengeluarkan iblis dari surga.

Saya jadi teringat dengan salah satu bait Alfiyah ibn Malik, sebuah kitab karya Syekh Muhammad ibn Malik al-Andalusi tentang tata bahasa Arab. Nazam tersebut berbunyi, wa fi khtiyarin laa yajiul munfashil idza taatta an yajial munfashil, berarti “dalam situasi normal (tidak darurat), tidak diperbolehkan membuat dlomir munfasil, selagi masih bisa menempatkan dlomir muttasil.”

Bila diresapi lebih dalam, bait tersebut tidak cukup berhenti pada penjelasan nahwiyah saja. Jika kita maknai lebih dalam, nazam itu juga mengandung nilai-nilai filosofis semboyan kita, Bhinneka Tunggal Ika.

Saya melihat ada tiga kata kunci dalam bait yang perlu kita ambil makna filosofisnya, yaitu ikhtiyar, munfashil, dan muttashil. Kata ikhtiyar merupakan antonim dari ‘darurat’, maka bisa kita artikan juga sebagi situasi aman dan tentram yang tidak memaksa untuk bertindak semena-mena. Munfashil dan muttashil yang dimaksud dalam bait sebenarnya adalah istilah bagi nama sebuah dlomir (kata ganti). Munfashil adalah dlomir yang bentuknya terpisah dan terpecah dari fiil-nya, sedangkan muttashil adalah dlomir yang menyatu dengan fiil-nya.

Namun, dalam makna yang lebih jauh, kita maknai munfashil sebagai simbol perpecahan, dan muttasil sebagai simbol persatuan. Bila sudah begitu, bait di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam situasi Indonesia yang tenang dan damai seperti saat ini, janganlah menebar permusuhan yang bisa memecah belah bangsa. Selagi masih bisa berdamai dan bermusyawarah untuk menanamkan nilai-nilai persatuan, untuk apa kita terpecah?!”

Selain nazam itu, melihat kasus itu juga ingatan saya merujuk pada satu bait nazam Alfiyah lainnya tentang alamat i’rab, farfa’ bidlammin wansiban fathan wa jur, kasran kazikrullahi ‘abdahu yasur. Dijelaskan bahwa alamat asal i’rab rofa adalah dlommah, alamat i’rab nashab adalah fathah, dan alamat asal i’rab jar adalah kasroh. 

Secara bahasa, rofa berarti luhur dan dlommah berarti kumpul dan bersatu, sementara nashab berarti tegak dan fathah berarti terbuka, sedangkan jar berarti ‘rendah’ dan kasroh berarti ‘pecah’. Maka melalui nazam ini, kita pun diingatkan bahwa bila Indonesia ingin menjadi bangsa yang luhur (rofa’), maka dibutuhkan dlammah, yakni berkumpul, bersatu, dan bermusyawarah. Hal itu menjadi harga mati yang tak dapat ditawar. Untuk dapat tegak berdiri sebagai bangsa yang kokoh, Indonesia juga butuh fathah, keterbukaan. Indonesia sudah begitu inklusiv dengan menerima berbagai kalangan tanpa memandang suku, bahasa, ras. Semunya bersatu dalam bingkai Indonesia. Sebaliknya, bila Indonesia terus menerus terpecah belah (kasroh) hanya karena perbedaan, maka bangsa ini pun akan semakin rendah (jar) derajatnya.

Oleh karena itu, melalui dua nazam Alfiyah ibnu Malik itu, kita diingatkan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia tanpa memandang ras, suku, ataupun bahasa. Sedari dulu, kita sudah dikenal sebagai bangsa majemuk yang sekaligus inklusif. Kerajaan-kerajaan Nusantara meskipun berlandaskan agama, tetapi terbuka dengan pemeluk agama yang berlainan dengan agama resmi kerajaannya.

Sejak dulu, para pendiri bangsa kita sudah bersepakat bahwa Papua merupakan bagian dari negeri ini. Kesepakatan ini harus kita jaga dan pertahankan bersama dengan memperlakukannya sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Kita tentu ingat jikapun kita tak seagama, kita masih bersaudara dalam kenegaraan yang disebut oleh KH Ahmad Shiddiq, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1984-1991, sebagai ukhuwah wathaniyah.
 
 
Penulis adalah ustadz di Buntet Pesantren, Cirebon