Membaca Ulang Fiqih Klasik: Menjawab Tuduhan Tak Relevan dengan Zaman Sekarang
NU Online · Jumat, 15 Agustus 2025 | 13:07 WIB

Kitab berjilid-jilid karya ulama modern yang merangkum pemikiran ulama terdahulu (Foto: PCNU Sumenep)
Zahro Wardi
Kolomnis
Suatu pagi, saya mendapat kiriman tautan berita tentang perlunya kitab fiqih dasar yang umum dikaji di pesantren, yaitu Fathul Qarib, untuk dirombak dan sebagian dipindahkan ke kitab sejarah. Pasalnya, kitab itu dianggap sudah tidak relevan, kuno, dan usang.
Tidak bisa dipungkiri, kitab fiqih rata-rata ditulis pada zaman ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang seperti sekarang. Kitab-kitab itu ditulis pada masa-masa kekhalifahan, bahkan jauh sebelum runtuhnya Turki Utsmani pada tahun 1924 M.
Fathul Qarib karya Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi (lahir tahun 859 H/1455 M) di Kota Gaza, Palestina, misalnya, lahir di zaman itu. Kitab ini merupakan syarah dari matan Ghayah wat Taqrib karya Syekh Abu Syuja' (lahir tahun 433 H) di Basrah, Irak, dan seakan menjadi "kurikulum wajib" bagi semua pesantren di jenjang tsanawiyah/wustho.
Ada juga kitab Fathul Muin yang ditulis oleh Syekh Zainuddin al-Malibari (lahir tahun 1532 M/938 H) dari Malabar, India. Kitab ini juga sangat penting untuk pendalaman fiqih di jenjang aliyah/’ulya.
Selain itu, ada kitab Fathul Wahab karya Syekh Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad Al-Anshori (lahir tahun 823 H di Mesir) yang sering digunakan sebagai pembanding saat mengkaji kitab Fathul Muin.
Kitab-kitab klasik di luar mazhab Syafi'i, bahkan kitab-kitab induk dari imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali), ditulis jauh sebelum itu.
Kontekstualisasi sebagai Solusi
Para mujtahid (penulis) kitab fiqih klasik dalam merumuskan hukum tentu mempertimbangkan situasi dan kondisi zaman itu, sebagai syarat dalam berijtihad. Termasuk yang dijadikan pertimbangan adalah situasi sosial, seperti keberadaan tuan dan budak, dikotomi antara warga kelas satu (Muslim) dan kelas dua (non-Muslim), serta metode transaksi yang masih sangat klasik.
Kondisi inilah yang menjadi objek ijtihad para mujtahid untuk merumuskan hukum-hukum terkait ibadah, kemasyarakatan, muamalah, pernikahan, pemerintahan, dan perbudakan.
Lalu, apakah rumusan fiqih dalam kitab-kitab klasik tersebut harus dibuang karena dianggap tidak relevan? Tentu tidak! Justru keontentikannya harus dijaga. Kitab-kitab itu adalah laksana naskah keramat bagi para muqallid (fuqaha yang belum sampai tingkat mujtahid).
Yang perlu dilakukan oleh para pengkaji ilmu fiqih adalah mengkontekstualisasikan, membaca ulang, dan mendialogkan isinya dengan situasi dan kondisi zaman sekarang. Kita harus mengupas, men-syarahi, dan menambah catatan-catatan (تحليل الكتاب), bukan mengganti atau menghapusnya (تحذيف و تبديل).
Kontekstualisasi terhadap kitab fiqih klasik adalah keniscayaan. Jika tidak, kita bisa terjerumus dalam situasi yang fatal.
Contoh-contoh Kontekstualisasi
Sistem pemerintahan: memahami secara harfiah bab pemerintahan dan kewenangannya akan membawa pemikiran kembali ke sistem khilafah, padahal saat ini semua negara menganut prinsip nation state (negara bangsa). Cara mengkontekstualisasikannya adalah mengambil nilai dan prinsipnya, bukan makna harfiahnya.
Barang temuan. Dalam masalah barang temuan (luqathah), fiqih klasik menyarankan untuk diumumkan di pintu masjid atau pasar. Intinya adalah diumumkan di tempat yang mudah diakses masyarakat. Cara mengkontekstualisasikannya saat ini, bisa diumumkan melalui media elektronik, media sosial, dan media online lainnya.
Penyelesaian konflik: fiqih klasik mewajibkan rafa’ ila al-hakim (lapor ke hakim). Saat ini, redaksi "hakim" harus dipahami sebagai penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan peradilan). Laporan awal tidak ke hakim, melainkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK).
Perwalian nikah. Istilah "sulthan" atau "hakim/qadli" dalam masalah perwalian nikah, saat ini dipahami sebagai Kepala Urusan Agama (KUA) atau penghulu resmi negara, sesuai regulasi di Indonesia.
Kriminal dan pidana (jnayat dan hudud). Fiqih klasik memang merinci jenis-jenis tindak pidana dan hukumannya, tetapi metode penyelidikan yang digunakan pada zaman itu masih manual. Di zaman modern, kasus kriminal harus diungkap menggunakan Scientific Crime Investigation (SCI) untuk mencapai keadilan.
Perbudakan. Bab perbudakan dalam kitab fiqih klasik harus dipahami bahwa semangat Islam adalah menghapus perbudakan, bukan melanggengkannya. Bab ini tetap perlu dibaca sebagai bagian dari sejarah peradaban Islam dan untuk mengambil "tabarrukan" (keberkahan) dari penulisnya, meskipun tidak bisa diterapkan lagi.
Hubungan Muslim dan non-Muslim. Konsep jizyah yang dibebankan kepada kafir dzimmi pada masa khilafah harus dipahami sebagai jaminan hak hidup dan keamanan. Di masa sekarang, di mana tidak ada lagi negara yang dibangun atas nama agama dan psikologis perang antaragama sudah tidak ada, konsep itu tidak relevan.
Sesungguhnya, upaya untuk syarah, tahlil, dan hasyiyah (memberi catatan) terhadap kitab fiqih klasik terus dilakukan oleh ulama kontemporer seperti Syekh Wahbah Al-Zuhaili, Syekh Ramadhan Al-Buthi, dan Syekh Ali Jum'ah.
Dengan demikian, kitab-kitab turats akan terus mampu berdialog dengan zaman untuk menjawab masalah-masalah kontemporer. Dialektika fiqih klasik secara qauli (perkataan ulama) mungkin ada batasnya, tetapi secara manhaji (metodologi), ia akan terus mampu menjawab perkembangan zaman sampai kapan pun.
KH Zahro Wardi, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Dosen Fiqhul Muwathonah Program Doktoral (S3) Pendidikan Agama Islam UNKAFA Gresik, Wakil Ketua LBMNU Jatim
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
Khutbah Jumat: Kemerdekaan Sejati Lahir dari Keadilan Para Pemimpin
3
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
4
Kantor Bupati Pati Dipenuhi 14 Ribu Kardus Air Mineral, Demo Tak Ditunggangi Pihak Manapun
5
Khutbah Jumat: Refleksi Kemerdekaan, Perbaikan Spiritual dan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
6
Ketua PBNU Sebut Demo di Pati sebagai Pembangkangan Sipil, Rakyat Sudah Mengerti Politik
Terkini
Lihat Semua