Opini MAMANG M HAERUDIN

NU, Titik Temu Islam Inklusif dan Kewirausahaan

Kamis, 11 April 2013 | 05:02 WIB

“Perkumpulan NU tidak hanya sekadar mengurusi aspek sosial, dakwah, dan pengembangan pendidikan agama Islam. Para kiai NU yang dipelopori oleh KH Hasyim Asyari dan KH Abdul Wahab Chasbullah telah memperhatikan sisi kesejahteraan umat melalui perkumpulan Nahdlatut Tujjar.”
<>
Petikan di atas merupakan pandangan perempuan inspiratif, Hj Hizbiyah yang dirilis di situs NU Online (05/04/2013). Dan tulisan ini hadir, anggap saja sebagai ikhtiar saya untuk “mensyarahi” pernyataan Ketua Pimpinan Wilayah Muslimat NU DKI Jakarta tersebut. 

Benar bahwa NU sebagaimana awal mula Islam masuk ke Nusantara, selain berwatak inklusif, juga entrepreneurship. NU sendiri, merupakan metamorfosis dari Nahdlatut Tujjar, sebagai tonggak yang ditancapkan para kiai NU saat itu untuk membangkitkan geliat ekonomi para pengusaha pribumi menengah ke bawah. 

Sejurus dengan itu, awal masuknya Islam ke Nusantara, mengutip Komaruddin Hidayat (2012) bahwa Islam berkembang di wilayah Nusantara dibawa oleh para pedagang. Sifat pedagang selalu terbuka, senang memelihara persahabatan dan memperbanyak kawan baru untuk mengembangkan bisnisnya. Pedagang yang senang konflik tentu takkan mendukung usahanya. Sifat pedagang ini rupanya sejalan dengan semangat dakwah yang juga selalu ingin menawarkan dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah baru. 

Demikian kiranya bahwa NU dan Islam bertemu pada titik; inklusif dan entrepreneurship. Pengaruh para pedagang yang menyebarkan Islam ke bumi Nusantara benar-benar berimplikasi positif pada pola dakwah yang berkembang di Indonesia. Watak entrepreneurship yang berimplikasi inklusif ini membangun para pedagang untuk memiliki karakter khas, yakni pandai menjalin silaturahmi, persaudaraan, keterbukaan, dan kasih sayang. 

Kita mesti ingat bahwa Nabi Muhammad Saw adalah entrepreneur ulung dan jujur, beliau menjalani usahanya tidak kurang dari 25 tahun. Dua punggawa ormas Islam Indonesia terbesar NU-Muhammadiyah; KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan adalah juga dua kiai entrepreneur. Dan dalam konteks kekinian, orang-orang yang mampu menyetir perekonomian nasional maupun global adalah para entrepreneur

Maka, tidaklah berlebihan jika kita; NU, Pesantren, dan bangsa ingin menggapai kembali kedigdayaannya, mesti kembali ke watak awal Islam yang inklusif dan entrepreneurhip. Watak inklusif menjadi signifikan untuk menunjukkan bahwa Islam itu rahmatan lil’alamin, mengayomi semua jenis manusia. Memahami dan menghargai pluralitas identitas; suku, bahasa, adat, ras, atau agama dan keyakinan sekalipun. 

Sementara watak entrepreneurship menjadi berarti untuk meminimalisir angka kemiskinan dan pengangguran yang semakin mengkhawatirkan dan membludak dewasa ini. Lebih dari semua itu, agar anugerah kekayaan yang dimilik bangsa benar-benar dapat dinikmati utuh dan merata oleh seluruh masyarakat Nusantara. Hingga kemudian, bangsa kita merdeka dengan arti yang hakikat, terbebas dari hutang dan masyarakat berkehidupan mandiri dan sejahtera. 

Maka dengan demikian, jika kita asumsikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini berkisar 237 juta jiwa, jumlah ideal wirausahawan Indonesia semestinya ada dalam kisaran 4.740.000 jiwa. Dan faktanya hari ini, menurut Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Indonesia hanya memiliki wirausahwan sekitar 568.800 (0,24% dari jumlah penduduk antara tua dan muda) saja. Jadi kekosongan wirausahawan di Indonesia ini amat besar, dan masih kekurangan sekitar 4.171.200 jiwa lagi untuk mencapai angka 2%. Dan ironisnya, jumlah wirausahawan muda di Indonesia masih amat rendah hanya berada dalam kisaran 0,18% saja. 

Fatalnya, menurut data dari Kementerian Pendidikan Nasional memperlihatkan bahwa sebagian besar lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 60,87% dan lulusan Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 83,18% masih didominasi dengan keinginan tinggi untuk menjadi pegawai atau karyawan dibandingkan menjadi wirausahawan. 

Padahal, meminjam konsepsi David Mc Clelland, bahwa idealnya negara yang ingin maju mesti memiliki (minimal) 2% dari total penduduk sebagai entrepreneur atau wirausahawan. Faktanya di Indonesia, yang memiliki kekayaan sumberdaya alam melimpah ini jumlah pengusahanya masih dalam kisaran 0,24% dari total penduduk. Jika kita bandingkan dengan pengusaha di beberapa Negara lain, misalnya Singapura, ia sudah memiliki wirausahawan mencapai 7,2%, Malaysia 2,1%, Thailand 4,1%, Korea Selatan 4,0%, dan Amerika Serikat 11,5%. 

Oleh karenanya, NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia dan dunia, mesti gegap gempita untuk mendorong dan mengaplikasikan watak Islam yang—selain inklusif juga—entrepreneurship. Maka rekomendasi saya untuk hal ini adalah; Pertama, pendidikan entrepreneurship mesti dimasukkan dan dimodifikasi secara intens ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Setiap instansi pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi (PT) harus mengilhami pendidikan entrepeneurship sedini mungkin. 

Kedua, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, dan instansi lain yang terkait untuk merancang regulasi yang khusus untuk mewujudkan gerakan entrepreneurship secara nasional dan masal. Pelaksanaannya harus integratif dan berkelanjutan. Ada pengawasan secara berkala dan pelatihan secara terus menerus. 

Ketiga, memfokuskan garapan pembangunan nasional dengan menggerakkan pemberdayaan UMKM dan koperasi  untuk masyarakat lapisan menengah ke bawah. Upaya ini disesuaikan dengan potensi lokal daerah setempat. 

Keempat, semua elemen masyarakat dan lembaga-lembaga apapun, termasuk di dalamnya NU—Muslimat, Fatayat, GP Ansor, IPNU-IPPNU, dan lain-lain—untuk secara integratif menggalakkan pemberdayaan berbasis entrepreneurship kepada masyarakat sesuai dengan objek garapannya masing-masing. 

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingat bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Kehidupan itu ada sepuluh bagian. Sembilan bagian terdapat dalam perdagangan, dan satu bagian dalam bidang lain”. Demikian. Wallahu’alam bi al-Shawab.

 

 

* Ketua LP3M STID Al-Biruni Cirebon-Khadim al-Ma’had Pesantren Raudlatuth Tholibin, Babakan, Ciwaringin, Cirebon.