NU Online: Merawat Sanad di Tengah Tantangan Dakwah Digital dan AI
NU Online · Sabtu, 12 Juli 2025 | 15:00 WIB
Wibowo Prasetyo
Kolomnis
Tepat 22 tahun lalu, NU Online lahir. Tepatnya, 11 Juli 2003. Ia hadir dari kesadaran mendalam akan perubahan zamanâdari ruang-ruang khidmah yang hening namun penuh gairah. Seperti bayi yang lahir disambut doa para kiai, tumbuh dalam pangkuan tradisi, dihidupi oleh denyut Ahlusunnah wal Jamaah (Aswaja), dan dibesarkan dengan cita-cita agung: merajut sanad ilmu, menanam adab di tanah digital yang gersang, dan menghadirkan dakwah yang lembut dalam dunia yang makin bising.
Di tengah arus digital yang deras dan kadang membutakan arah, NU Online memilih jalannya sendiri. Jalan sunyi tapi penuh makna. Abdul Munâim DZ, salah seorang pendiri sekaligus pemimpin redaksi pertama, menyebut NU Online bukan media yang mengejar sensasi.Â
âIa bertahan hingga saat ini karena konsistensi,â ucapnya, dalam syukuran harlah yang digelar sederhana, lesehan, di kantor redaksi yang juga sederhana.
Maksudnya, konsistensi sebagai media Islam yang tidak terpukau pada kecepatan, tidak hanyut dalam kecanggihan, dan tidak latah mengejar popularitas, serta tak dipusingkan dengan produksi breaking news.Â
Namun waktu tidak tinggal diam. Gelombang digital yang disambut gempita dengan lahirnya banyak media siber kala itu, kini menjelma badai algoritma dan AI (kecerdasan buatan). Malah, kecerdasan buatan bukan sekadar alat bantu, tapi perlahan mengambil alih: menyusun khutbah, bahkan menyarikan dan menciptakan âfatwaâ dalam hitungan detik.Â
Maka, NU Online memilih jalan berbeda. Di tengah ledakan informasi yang tak lagi memerlukan jurnalis dan nalar, NU Online tetap setia pada satu hal: sanad. Bahwa ilmu agama bukan hasil kalkulasi algoritma, melainkan warisan ruhani yang diturunkan dari hati ke hati, dari guru ke murid, dari pesantren ke semesta digital. Sanad inilah jangkar yang menjaga NU Online dari hanyutnya makna, hilangnya arah, dan sunyinya nurani di tengah algoritma dan kecerdasan buatan.
Khidmah Digital, Inovasi dari Tradisi
Banyak media Islam tergoda oleh euforia teknologi. Mereka pun bergegas menyesuaikan diri: membentuk konten ala TikTok, meringkas ceramah dalam satu menit, dan mengejar viralitas tanpa sempat menyaring substansi. Bentuk didahulukan, isi belakangan. Di tengah arus deras ini, NU Online memilih jalur yang berbedaâlebih sunyi, namun lebih mendalam: bukan sekadar mengikuti zaman, tetapi mengolahnya. Bukan sekadar menyesuaikan bentuk, tapi juga merawat isi.Â
NU Online pun memilih terus melakukan inovasi alih-alih sekadar larut dalam euforia teknologi. Inovasi yang datang dari ruh tradisi. Begitu kesimpulan saya dari sambutan harlah Hamzah Sahal, Direktur Utama NU Online. Sebuah pandangan yang bukan sekadar jargon, melainkan pijakan nyata dalam setiap langkah pengembangan NU Online. Tahun ini saja, NU Online telah menggagas dan memproduksi setidaknya tujuh hingga sembilan inovasi yang berakar pada visi tersebut: dari animasi tata cara shalat, koin NU, aplikasi pesantren, kanal edukasi digital seperti NU Online Institute, hingga dokumenter sinematik tentang para muassis (pendiri) Nahdlatul Ulama.
NU Online juga membangun dunia anak melalui NU Online Kids Menjadi Indonesiaâsebuah produksi yang tidak sekadar mendidik, tapi menanamkan identitas kebangsaan sejak dini, dalam kemasan yang menyenangkan. Sebuah bentuk inovasi yang menjadikan dakwah sebagai pengalaman hidup, bukan sekadar ceramah satu arah.
Peluncuran Super App NU Online di akhir 2021 menjadi pijakan. Aplikasi ini bukan agregator. Ia adalah ekosistem dakwah moderat: dari berita, jadual shalat dan arah kiblat, Al-Qurâan digital, kalkulator zakat, terjemahan dan tafsir digital, ensiklopedia hingga filantropi digital. Semuanya hadir bukan untuk menyaingi platform global, tapi untuk menghadirkan ârumah mayaâ bagi umat yang mencari ilmu dengan adab.
Dengan lebih dari 18 juta kunjungan per bulan (Similarweb, Juni 2025), NU Online kini menempati peringkat tertinggi untuk kategori âFaith and Beliefsâ di Indonesia. Namun angka bukan segalanya. Yang lebih penting adalah makna yang dibawa tiap klik: bahwa orang membaca bukan untuk sensasi, tapi untuk pengetahuan. Untuk keteduhan, bukan kegaduhan.
Inilah bentuk nyata dari tagline Harlah ke-22 NU Online: Berkhidmah dan Berinovasi. Berkhidmah, karena NU Online harus selalu melayani umat. Berinovasi, karena ia adaptif dan tidak menolak zaman. Keduanya bukan jalan berbeda, tapi satu tarikan napas dalam misi Aswaja di dunia yang terus berubah. Tetap kompatibel di semua medan kehidupan.Â
Jurnalisme yang BersanadÂ
Di tengah dominasi kecerdasan buatan generatif seperti ChatGPT, Claude, Gemini, hingga Deepseekâyang mampu menyusun ceramah atau pidato dalam sekejap, dan menyebarkan narasi agama secara otomatisâmaka tantangan media Islam hari ini bukan lagi hanya memproduksi konten.Â
Tantangannya adalah bagaimana menjaga makna agar tidak direduksi oleh statistik, menjaga akurasi di tengah banjir disinformasi, danâyang terpentingâmenjaga otoritas keilmuan agar tak tergantikan oleh mesin yang tanpa sanad.
Di sinilah NU Online berdiri teguh. Memelihara mata rantai keilmuan dalam lanskap yang kian terdesak algoritma. Ini yang dilihat Hasanuddin Ali, pendiri Alvara Research. Dalam obrolan dengan penulis, ia mengatakan, âNU Online kuat bukan karena besar, tapi karena ia punya tradisi. Di era kecerdasan buatan ini, semua bisa membuat konten, tapi tidak semua bisa dipertanggungjawabkan secara agama atau akademik. Tapi NU Online punya sanad.âÂ
Nah, dalam dunia yang dilipat oleh kecepatan, NU Online menjadi lambang dari kedalamanâmenawarkan kejelasan panduan dalam kabut digitalisasi.
KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, pun memberi arah yang selaras. Baginya, digitalisasi bukan jalan pintas, melainkan infrastruktur peradaban. âSistem digital harus menjadi tulang punggung strategi organisasi. Bukan sekadar untuk modernisasi, tapi untuk menjamin pelayanan umat yang luas, akuntabel, dan efektif,â ujarnya dalam sebuah kesempatan.Â
Maka dalam perspektif NU, teknologi bukan musuh yang harus ditaklukkan, tapi alat yang mesti ditundukkan oleh niat yang jernih dan tata kelola yang beradab.
Di sinilah NU Online tampil sebagai pemegang obor. Jurnalisme dakwah yang dipraktikkan bukan sekadar penyampaian informasi. Ia adalah bentuk ibadah. Artikel-artikelnya ditulis dengan ketelitian seorang santri, dengan kepekaan seorang ustaz yang menyapa umat, dan dengan jiwa seorang guru yang menghidupkan makna.
Khidmah digital ini tak berhenti pada konten yang indah semata. Ia diperkaya dengan langkah-langkah strategis berbasis teknologi yang tetap berpijak pada sanad keilmuan dan tradisi. Salah satunya adalah pengembangan Natural Language Processing (NLP), teknologi kecerdasan buatan yang mampu memahami, mengolah, dan menghasilkan bahasa manusia secara otomatis. Jika dikembangkan dengan kearifan lokalâmisalnya berbasis kitab kuning atau tradisi keilmuan pesantrenâNLP bisa menjadi wasilah baru dalam menjaga, menyebarkan, sekaligus merawat sanad keilmuan.
NU Online juga bisa kolaborasi dengan lembaga riset untuk mengembangkan NLP berbasis pesantren dalam menciptakan tafsir digital yang dikurasi kiaiâbukan mesin. Jalan panjang yang layak ditempuh. Karena masa depan dakwah bukan pada kecanggihan format, tapi pada keutuhan sanad.
Seperti ditekankan Emily Bell, profesor jurnalisme digital Columbia University, masa depan media bukan sekadar soal otomatisasi dan percepatan teknologi, melainkan tentang bagaimana jurnalisme tetap mampu menjalankan fungsi-fungsi utamanya: verifikasi fakta, empati terhadap publik, dan tanggung jawab sosial.Â
Bell menyoroti bahwa ketika media kehilangan kompas etik dan menyerahkan orientasi editorialnya kepada logika algoritma, maka ruang publik menjadi rapuh, rentan dimanipulasi, dan menjauh dari kepentingan masyarakat (Bell et al., 2017).
Pandangan ini terasa sangat relevan dengan NU Onlineâmedia yang tak sekadar menyampaikan kabar, tetapi juga menjaga keberadaban, menanamkan nilai, dan merawat sanad dalam setiap narasi yang disampaikan. Di tengah pusaran disinformasi dan tsunami digital, NU Online hadir bukan hanya sebagai kanal berita, melainkan ruang khidmah yang mempertahankan jurnalisme bernurani.
Membangun Masa Depan Media IslamÂ
Lesunya ekonomi global dan dominasi algoritma iklan oleh Meta dan Google, keberlangsungan media menjadi ujian berat. Banyak yang tumbang, megap-megap mencari napas. Termasuk media siber. NU Online pun tidak kebal dari badai ini. Sebagai media dengan misi dakwah, ia menghadapi dilema: bagaimana tetap hidup tanpa menjual idealisme?
Solusinya bukan semata pada iklanâmeski perlu. NU Online mesti merintis jalan baru: ekonomi berbasis nilai (value-driven economy). Gagasan mengembangkan layanan e-course fiqh, kanal dakwah eksklusif berbasis langganan, hingga paket premium konsultasi keislaman yang tetap inklusif dan moderat, perlu dijajaki. Nilai menjadi fondasi, bukan sekadar trafik.
Di saat media lain berburu trafik dan mengejar viral, NU Online mengukur dampak spiritual dan sosial. NU Online secara serius ingin mengembangkan dashboard dakwah digitalâbukan untuk membanggakan statistik, tapi untuk membaca jejak ruhani umat: apa yang dibaca, direnungkan, dan disebarkan.
Kolaborasi menjadi kunci. NU Online harus terus membuka diri pada komunitas, santri, mahasiswa teknik informatika dari kalangan pesantren, dan pegiat start-up Islam. Sebuah ekosistem dakwah yang tidak hanya menghasilkan konten, tapi membentuk peradaban digital moderat.
Ethan Zuckerman dari MIT meyakini bahwa kekuatan media masa depan justru terletak pada komunitas kecil yang saling terhubung dengan kuat. Dalam esainya (2023), ia menyebut bahwa âinternet bekerja lebih baik sebagai ruang kecilââruang yang memungkinkan interaksi bermakna, bukan sekadar konsumsi pasif. NU Online, dengan jalinan kulturalnya bersama pesantren dan jamaah, menjelma menjadi ruang semacam itu: ruang yang tidak gaduh, tapi menyuburkan kedalaman.
Inilah sejatinya NU Online: lahir dari kalangan pesantren, tumbuh dari gotong royong, dan disirami cinta jamaah. Maka loyalitas pembacanya pun tidak dibangun dari push notification, tapi dari rasa memiliki.
Dan di usia ke-22, NU Online telah membuktikan bahwa khidmah dan inovasi bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. Justru keduanya dapat berpadu menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Dalam khidmah ada akar tradisi, dalam inovasi ada sayap untuk terbang ke cakrawala baru.Â
Ketika banyak media kehilangan kompas di tengah badai kecerdasan buatan, NU Online justru menemukan arah: menjadi penjaga sanad digital yang otoritatif, penafsir zaman yang beradab, dan perintis jalan tengah di tengah dunia yang kian retak oleh konflik, ego, dan pusaran geopolitik.
Maka, siapa yang menjaga adab dan sanad di era digital, dialah yang akan menjemput keberkahan zaman.Â
Wibowo Prasetyo, Wakil Pemimpin Umum NU Online
Â
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menguatkan Sisi Kemanusiaan di Bulan MuharramÂ
2
Khutbah Jumat: Mengais Keutamaan Ibadah di Sisa bulan Muharram
3
Inalillahi, Tokoh NU, Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia KH Imam Aziz Wafat
4
Khutbah Jumat: Muharram, Momentum Memperkuat Persaudaraan Sesama Muslim
5
Khutbah Jumat: Jangan Apatis! Tanggung Jawab Sosial Adalah Ibadah
6
Khutbah Jumat: Berani Keluar Dari Zona Nyaman
Terkini
Lihat Semua