Opini PAMERAN MATJA

Nusantara dalam Seni Rupa: Kosmopolitanisme Spiritual dan Pergeseran Struktur Waktu

Kamis, 13 Agustus 2015 | 11:05 WIB

Oleh: Faisal Kamandobat

I

Pada tahun 2011, seniman kelahiran India yang bermukim di Inggris, Anish Kapoor, memamerkan karya berjudul The Death of Leviathan di Grand Palais, Paris. Kapoor menggambarkan Leviathan (monster buas yang dilukiskan oleh Thomas Hobbes sebagai lambang kejahatan) dalam rupa gelembung darah dari karet sintetis berukuran raksasa hingga puncaknya bersentuhan dengan atap <>gothic yang merupakan ciri umum arsitektur suci di Eropa. Melihat ukurannya, para pengunjung yang masuk ke dalam "gelembung darah" raksasa tersebut jadi tampak begitu kecil, sama kecilnya dengan saat mereka berhadapan dengan kekuatan hasrat dan kesucian maha besar (sebagai simbol dari kapitalisme dan gereja) yang berabad menggerakkan peradaban mereka. Demikianlah Kapoor "menginterupsi" peradaban Barat tepat di ulu hatinya, dengan menampilkan ironi skismogenesis yang membuat laju peradaban Barat mengalami kebuntuan. Ironi tersebut kian dalam mengingat pelakunya bukan seniman asal London atau Paris sebagai ibu kota peradaban Barat, melainkan oleh seniman asal India (sebuah bangsa dengan peradaban yang berbeda, dianggap minor karena kemiskinan serta dibuat inferior oleh penjajahan). Hal tersebut menandakan tengah terjadi pergeseran konsep waktu dalam peradaban, baik struktur, posisi, maupun orientasinya.

Struktur waktu yang membentuk sejarah, sejak modernitas menjadi paradigma dunia, bergerak dalam struktur linear-progresif yang melaju demi menggapai ideologi kemajuan (progress). Dalam paradigma tersebut, bangsa atau peradaban Barat yang mampu mengumpulkan kekayaan, pengetahuan dan inovasi diposisikan berada di puncak sejarah, sedangkan bangsa-bangsa atau peradaban-peradaban non-Eropa yang dianggap lebih miskin, bodoh dan lamban diposisikan berada di belakangnya, mengantre di "ruang tunggu sejarah" (waiting room of history) menanti datangnya masa depan (Alatas, 2010). Struktur waktu linear-progresif, dengan demikian, bukan kategori ilmiah dan objektif, melainkan kategori politis-ideologis yang digunakan oleh sebuah peradaban untuk mendominasi dan mengontrol peradaban-peradaban lain yang memiliki struktur waktu berbeda—terutama struktur waktu siklis-spiritual yang berputar sesuai irama ritual, pola pertanian dan pelayaran, serta kelahiran, kematian, dan kebangkitan. Seni rupa yang dicanangkan Barat, dilahirkan dan berada dalam konteks modernitas, termasuk instrumen sekaligus korban dari dominasi waktu linear-progresif tersebut, sebagaimana seniman-seniman non-Barat dianggap sebagai sekedar pengikut yang tertatih menapaki anak tangga tatanan seni rupa dunia, dengan para maestro Barat berada di puncak waktu dan sejarah.

Akan tetapi, struktur waktu linear-progresif tersebut perlahan mengalami ancaman seiring rapuhnya fondasi ekonomi, politik dan pengetahuan yang mendukungnya. Dalam bidang ekonomi, arus modal tengah bergerak dari Barat ke Asia, seiring jumlah populasi, ketersediaan bahan mentah, dan target pasar yang melimpah. Dalam bidang pengetahuan, ilmuwan-ilmuwan Asia kian menduduki posisi penting di berbagai perguruan tinggi dunia, dengan temuan-temuannya yang fundamental. Dalam politik, mengingat kekuatan ekonomi yang dimiliki, posisi Asia secara geopolitik terus menguat, dari hanya penggembira menjadi penentu di dunia. Begitu pula dalam seni rupa di mana seniman-seniman China, India, Jepang, dan Arab mulai menjadi pemain-pemain penting dalam peta seni rupa dunia.

Kenyataan tersebut telah mengganggu arus waktu linear-progresif yang semula berpuncak di New York, London, Paris dan Berlin, perlahan mulai digeser ke Beijing, New Delhi, Dubai dan Tokyo. Dengan kata lain, struktur waktu linear-progresif yang dicanangkan di Barat sejak Abad Pencerahan, daya magisnya mulai memudar seiring cadangan devisa, pengetahuan, dan peran politik yang kian melemah, sehingga mengancam keberadaan "menara waktu" itu. Salah satu respon Barat terhadap hal tersebut adalah dengan mengakomodasi individu dan kosmologi budaya yang berbeda-beda dalam peradabannya, seperti tampak pada Venice Binennale 2015 yang bertema Universes in Universe dengan kurator asal Nigeria, Ekwui Enwezor. Tema tersebut merupakan strategi Barat untuk keluar dari kutukan Angelus Novus, sosok malaikat dalam lukisan Paul Klee (1920) yang ditafsir oleh Walter Benjamin sebagai sang penjaga "metafisika kemajuan". Ia terbang dengan sedih ke masa depan, dengan puing-puing korban berserakan di bawahnya.

Di tengah situasi demikian, pameran seni rupa yang mengangkat tema spiritual menemukan momentumnya untuk kembali mewarnai peradaban, baik dengan mereorientasi struktur waktu dari linear-progresif yang berujung pada kekayaan tanpa batas menuju struktur waktu siklis yang mengembalikan setiap capaian sejarah ke titik berangkat kelahirannya, maupun dengan mereposisi puncaknya yang semula hanya berada di Barat dipluralisasi ke berbagai titik di luar itu. Apa yang dilakukan seniman seperti Anis Kapoor yang India dan Zaha Hadid yang Irak di London, Cai Guo Qiang yang China dan Shirin Neshat yang Iran di New York, bukanlah semata perwujudan kosmopolitanisme baru hasil mobilitas dan hibriditas di era kapitalisme dan demokrasi sekarang ini, melainkan usaha yang secara sadar dilakukan untuk melakukan reorientasi dan reposisi peradaban dengan membawa pesan dari akar budaya mereka untuk didiskusikan, disemai, dan didialogkan dengan peradaban lain—dalam hal ini Barat—yang tengah mengalami keletihan dalam menggapai metafisika sejarah bernama kemajuan.

II

Unsur spiritual yang ditawarkan dalam pameran kali ini merupakan rangkaian dari Muktamar Nahdhatul Ulama ke-33, bertema "Islam Nusantara". Sesuai karakteristik geografis dan ekologisnya, Nusantara merupakan kawasan terbuka di mana berbagai kebudayaan dapat masuk sehingga kawasan ini menjadi salah satu daerah paling dinamis dan kosmopolitan di dunia. Arus kebudayaan tersebut jalin-menjalin dalam sejarah, mulai dari era Salakanagara di ujung Barat pulau Jawa, kemudian masuknya arus Indianisasi yang membentuk institusi kerajaan Hindu-Budha dengan raja sebagai pusat orientasi politis dari kosmologi mandala, diikuti Islam yang menawarkan etika sosial dan model organisasi jaringan keagamaan yang cocok dengan era perdagangan maritim ketika itu, kemudian Barat masuk membawa tata politik govermentalis sebagaimana tercermin dalam model organisasi, tata birokrasi dan benteng-benteng pertahanan sebagai pusat dagang, politik, dan sekaligus militer yang, seperti pernah ditegaskan Radhar Panca Dahana, "sesuai dengan karakter daratan Eropa". Di sela-sela arus besar tersebut gelombang migrasi dari China daratan berdatangan dan membentuk pusat-pusat kebudayaan di berbagai kota pelabuhan di kepulauan ini. Pengaruh mereka pun cukup penting baik kultural, politik dan terutama ekonomi.

Kelompok-kelompok yang datang silih berganti sesuai era dan masanya telah ikut serta membentuk sedimentasi dalam struktur mental setiap generasi di kawasan ini, persis seperti struktur geologis wilayah yang dihuninya: lapisan terdalam mental orang Nusantara adalah mistis, kemudian kosmopolitanisme khas Asia, dan modernitas berada di lapisan permukaan (Lombard, 2005). Tidak mengherankan jika kebanyakan orang Indonesia semakin modern justru semakin spiritual, sebagaimana para ilmuwan yang kian saleh, aktivis yang sekuler di masa mudanya berbalik menjadi mistikus di masa tuanya, para pejabat yang pergi ke dukun, dan pengusaha sukses kian aktif dalam organisasi keagamaan.

Hal tersebut juga tampak dalam seni rupa. Unsur-unsur spiritual banyak ditemukan justru dalam usahanya memaknai modernitas yang sekuler itu. Misalnya, konsep "jiwa ketok" Sudjodjono, kontemplasi geometris Ahmad Sadali, perubahan ruang demografi dan kosmologis Fajar Sidik, hingga matahari-matahari dalam kanvas Affandi, dekora-magis Widayat, cerita-cerita mitologis lukisan Nasirun, wayang kontemporer Heri Dono, dan banyak lagi lainnya. Menjadi modern, dengan kata lain, adalah sekaligus menjadi semakin spiritual dan kosmopolitan. Dalam proposisi yang lebih berani: spiritualitas dan kosmopolitan adalah usaha mereka menjinakkan modernitas agar tidak menjadi kekuatan liar yang bergerak ke masa depan dengan melindas segala sesuatu, namun menjadi kosmologi yang dapat hidup secara koeksisten dengan kosmologi-kosmologi lain di Nusantara.

Dengan kata lain, berbagai arus kebudayaan yang masuk ke Nusantara, betapa pun memiliki doktrin, orientasi dan ciri intrinsik lain yang berbeda-beda pada akhirnya ikut dibentuk oleh karakteristik ekologis dan geografis kepulauan ini. Secara geografis, mengingat kawasan ini merupakan kawasan terbuka yang bisa dimasuki dari berbagai penjuru, maka hampir semua kelompok sosial-budaya yang masuk ke kawasan ini cenderung tidak melakukan penguasaan teritorial melainkan ideologis (sampai kemudian berdiri institusi negara-bangsa bernama Indonesia). Dengan ikatan ideologis, afiliasi politis dibentuk lebih berdasarkan ikatan kultural; berbeda dengan ikatan teritorial di mana afiliasi politis dibentuk berdasarkan klaim atas wilayah.

Dalam afiliasi politik berdasarkan ideologi, kesamaan kultural menjadi tali yang mengikat anggota kelompok yang menyebar dan hidup berpindah-pindah di berbagai wilayah. Tidak heran jika di Nusantara ini keraton-keraton dari kerajaan yang berbeda berdiri berdekatan mengingat orientasi politik mereka yang utama bukan wilayah melainkan manusia—berdasarkan kesesuaian ideologi atau budaya dari penghuni yang menyebar dan bergerak sesuai musim tanam dan panen, arah angin serta tujuan pelayaran, jadwal ritual dan festival yang digelar, dalam irama waktu siklis sejarah. Hal tersebut berbeda dengan afiliasi politis berdasarkan klaim teritorial seperti negara-bangsa, di mana kebudayaan suatu kelompok penguasa boleh berganti, namun wilayah yang dikuasai tetap dalam batas yang sama—persis seperti migrasi bangsa Eropa di "Dunia Baru" Amerika, di mana mereka menancapkan bendera untuk menandai tanah tersebut telah "resmi" menjadi miliknya.

Menyaksikan hal tersebut, antropolog Tony Rudyansjah (2011) mengilustrasikan bahwa di Nusantara ini para penguasa tak ubahnya kelompok-kelompok seniman yang melakukan pertunjukan keliling di berbagai pulau, dengan keraton-keraton sebagai panggungnya, ritual-ritual sebagai karya seninya, rakyat sebagai pengiringnya, para pedagang sebagai sponsor dan semua yang terlibat menjadi pelaku sekaligus penontonnya. Implikasinya, terjadi massifikasi pertukaran budaya dalam bentangan sejarah. Beragam kelompok sosial-budaya hidup dengan mengikuti irama waktu siklis di berbagai kawasan, saling bertukar nada dan irama dalam tembang, saling meminjam dan memberikan metafor dalam puisi, berbagi tokoh-tokoh pahlawan, lakon-lakon cerita, untuk disalin, diterjemahkan dan dibentuk ulang sesuai kebutuhan, sebagaimana ditunjukkan dalam kajian klasik Adrian Vickers (2009) tentang cerita Panji yang muncul dalam berbagai versi mulai Bali sampai Thailand, juga kajian mutakhir Ronit Ricci (2011) tentang terjemahan kitab berbahasa Arab yang muncul dalam berbagai versi di Asia Selatan dan Tenggara.

Dalam kebudayaan demikian, wajar jika tokoh Sibatara dari Majapahit ditemukan dalam puisi orang Luwu, lalu masuk dalam serat sastra di Buton dan muncul dalam senandung kabanti; sosok Sunan Kalijaga yang Islam muncul dalam kitab orang Budha di Lasem, ditemukan dalam pantun orang Melayu, dan menjadi acuan dalam primbon Jawa; lalu makam Sunan Gunungjati yang Islam di Cirebon menjadi tempat peribadatan orang China, maulid Nabi di Pekalongan diikuti umat berbagai agama, orang Islam ikut merayakan Natal di Papua, dan pemakaman umum menjadi tempat peristirahatan abadi orang-orang dengan latar belakang iman yang berbeda. Pertukaran puisi, serat dan tembang itulah yang memembentuk berbagai kelompok sosial-budaya di kawasan ini secara mendalam sebagai sebuah bangsa daripada tesis Bennedict Anderson (1981) tentang kapitalisme cetak yang hanya mengikat identitas kebangsaan komunitas elit terpelajar bentukan kolonial.

Karakteristik geografi yang terbuka, orientasi politik ideologis serta kultur kosmopolitan seperti dipaparkan di atas, dibentuk sekaligus membentuk model organisasi jaringan untuk mengelola kekayaan kultural dan natural di Nusantara. Hal tersebut karena dalam masyarakat yang mobile, organisasi jaringan dianggap lebih fleksibel dan efektif daripada organisasi piramida sosial yang lebih cocok untuk masyarakat yang menetap. Dengan organisasi jaringan, masyarakat yang menyebar dan jalin-menjalin, diversifikasi sumberdaya alam yang berada di berbagai daerah, dan ekologi maritim yang luas, dapat lebih mudah mengorganisasi diri. Berdasarkan model organisasi semacam itu, maka stratifikasi sosial lebih bersifat cair dan horizontal, dan usaha untuk melakukan pemisahan sosial dan kultural secara tegas akan mengalami kesulitan, entah dengan elitisasi atau demarkasi. Agama, misalnya, dalam konteks ini akan melebur dengan adat, pembagian kerja yang berbasis di alam, orientasi politis dan kesenian sehingga menjadi tradisi yang longgar dan dinamis, yang dengan cara itu ikut mewarnai segala sesuatu menjadi spiritual. Demikian halnya dengan aturan hukum, afiliasi politis, aturan kekerabatan dan perdagangan yang juga bersifat longgar, dikodifikasi dalam tembang yang terbuka ditafsir, diikuti dan digubah sesuai kecakapan seseorang dalam menimbang kebutuhan dan memahami perlambang.

Jika geografi yang terbuka membentuk kosmopolitanisme Nusantara, ekologi yang kaya membentuk mentalitas ekonomi yang tidak agresif terhadap alam (Agusyanto, 2013). Di Nusantara, kekayaan bukanlah usaha mengeksploitasi, mengakumulasi alam, dan menyimpannya di gudang untuk cadangan hingga bergenerasi; sebab bagi mereka kebun dan ladang adalah gudang penyimpan kekayaan yang sebenarnya—terlebih iklim di kawasan ini tidak seperti di daerah empat musim yang membutuhkan cadangan makanan untuk bertahan hidup dalam waktu yang panjang. Maka tidak heran jika tidak ada perang berskala besar di kawasan ini yang dilakukan hanya demi berebut "seonggok gunung" (Geertz, 1980), karena setiap kelompok memiliki "harta" semacam itu. Implikasinya, tidak dibutuhkan kekuasaan politis yang besar dan aturan hukum yang rumit serta rigid dalam kehidupan sosial. Hal tersebut berbeda dengan di Barat, di mana negara lahir sebagai kekuatan super untuk menjinakkan nafsu liar manusia (oleh Hobbes disebut Leviathan) demi berebut sumber makanan di tengah ekologi yang miskin, iklim yang ganas, dan banyaknya populasi—agar tidak membahayakan sesama.

Perbedaan mental itulah yang diangkat oleh Heri Dono di Venice Biennale 2015 dengan karya berjudul Trojan Comodos: Asia menguasai dunia dengan perdagangan dan kebudayaan, sedang Barat menguasai dengan perang dan politik kontrol govermentalisasi di segala bidang, sebagaimana kelompok dagang VOC datang ke kawasan Nusantara dilengkapi pasukan bersenjata, mendirikan benteng-benteng pertahanan, dan seterusnya. Karya tersebut menemukan makna politis yang penting—sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Heri Dono dalam sebuah perbincangan—ditampilkan di Venice sebagai kota kelahiran kapitalisme pada Abad XV. Kapitalisme, kita tahu, merupakan sistem ekonomi yang kelak akan mengubah struktur waktu sejarah dunia dari siklis-spiritual menjadi linear-progresif-sekuler, dengan Barat yang berhasil menumpuk kekayaaan melalui penjajahan di seantero bumi (hal tersebut dilakukan karena alamnya miskin, dan karena itu menjadi agresif terhadap alam) diposisikan berada di garis depan sejarah.

III

Sebagaimana kebudayaan-kebudayaan lain, Islam tidak bisa lepas dari penyesuaian-penyesuaian dengan mental dan praktik masyarakat yang tinggal di kawasan Nusantara ini, terlebih karakteristik intrinsik doktrinnya banyak yang sesuai dengan eko-geografi kawasan ini. Dari tinjauan alam, Nusantara dan Arab memiliki kesamaan sebagai masyarakat dengan mobilitas sosial tinggi, meski dengan ekologi yang berbeda. Di Nusantara, masyarakat hidup secara nomadik di laut, sedang di Arab hidup secara nomadik di padang pasir. Bagi orang Arab, padang pasir dianggap sebagai samudera, unta tak ubahnya perahu, dan oasis-oasis serta daerah tempat tinggal menetap (mada'in) disebut sebagai pulau-pulau. Itulah kenapa bangsa Arab menamai wilayahnya dengan sebutan jazirah yang berarti "kepulauan". Dan barangkali karena itu pula bagi orang Jawa, Arab dianggap sebagai "segara wedi" (lautan pasir)—layaknya kembaran lain dari Nusantara yang maritim.

Lahir dan hidup dalam ekologi dan kultur nomadik baik di padang pasir maupun di lautan membuat Islam tidak mengenal sistem kependetaan yang lebih berorientasi teritorial namun lebih menekankan pada tanggung jawab individu dalam relasi sosial, dengan struktur organisasi lebih berbentuk jaringan daripada stratifikasi apalagi kelas sosial ekonomi yang tegas. R. Michael Feener dan Terenjit Seeva (2009) menyebut organisasi jaringan yang membentuk peradaban tersebut dengan frasa "Islamic connection" yang jejaknya dapat dijumpai pada tradisi santri kelana dan peziarah keliling di Nusantara ini hingga hari ini. Kesesuaian mental, model organisasi, dan orientasi agama demikian membuat Islam lebih mudah diterima di Nusantara pada era kebangkitan perdagangan Asia Tenggara daripada era kejayaan agraris. Dalam perdagangan, posisi individu yang lebih otonom mendukung praktik transaksi, dan cara kerja jaringan lebih relevan untuk kebutuhan distribusi. Berbeda dengan posisi individu yang tunduk sepenuhnya terhadap struktur total kosmologi mandala Hindu-Budha yang memang lebih sesuai untuk perekonomian agraris dan masyarakat menetap. Itu pula dalam Islam, hukum perdagangan diatur dengan sangat terperinci dibanding hukum pertanian, perkawinan, terlebih ritual. Mengingat besarnya pengaruh Islam dalam membentuk konsep individu serta kemampuannya mengaransemen Nusantara menjadi peradaban, Denys Lombard (2005) menyebut bahwa modernisasi di Nusantara lebih dibentuk oleh Islam daripada Barat (VOC) yang datang membawa tengkulak dan senapan.

Nusantara, dengan eksposisi sedikit puitis, tak ubahnya untaian batu mulia yang memancarkan cahaya spiritual, dirajut dalam siklus sejarah, irama ritual dan festival. Pantulan cahayanya, kendati sumber cahayanya yang kuat berada di masa lalu, namun pijar spiritnya masih menyala di masa kini, bertransformasi ke dalam berbagai bentuk ekspresi, beradaptasi dalam berbagai konteks, dan bersanding dengan kosmologi-kosmologi lain yang hadir ke kawasan ini pada masa selanjutnya, termasuk seni rupa modern yang ditampilkan dalam pameran bertajuk Matja ini. Sebagaimana disampaikan kurator A. Anzieb dan Hasan Basri, pameran ini berusaha membaca, mengolah dan menampilkan khazanah "Islam Nusantara" yang sejak lama mampu hidup saling merajut dengan kosmologi-kosmologi spiritual lain, bahkan dengan modernitas. Hal itu ditunjukkan dalam keragaman tema, ekspresi, teknik, dan medium yang digunakan para seniman dalam pameran ini.

IV

Matja merupakan turunan dari surat pertama Al-Quran Iqra' (dan karena itu memiliki bobot spiritual) yang berarti "Bacalah!". Membaca, dalam konteks ini, bukan aktivitas kognitif-intelektual semata melainkan juga aktivitas eskperiensial dan penghayatan. Ketika kata tersebut ditempatkan dalam konteks seni rupa, makna "membaca" bukan semata memahami dengan mencerap fenomena luar ke dalam kesadaran, melainkan juga memproduksi fenomena tersebut melalui kerja kreatif yang bersifat praktikal-eksperiensial dan memancarkannya ke luar—dalam wujud karya rupa yang material. Singkatnya, dalam seni rupa arti kata "membaca" juga sekaligus "menulis", atau mengkonsumsi sekaligus memproduksi makna baik kognitif, eksperiensial, maupun praktikal. Dan sesuai bentuk materialnya, membaca dalam seni rupa juga sekaligus mengembangkan sesuatu yang abstrak (ide/konsep) menjadi konkret (karya seni) dan memberi bobot abstrak (ide/konsep) terhadap sesuatu yang konkret (karya seni). Membaca sebuah karya seni dengan membuang salah satu unsur tadi akan mendistorsi substansi dari seni rupa sebagai salah satu jalan yang mampu mentransformasi kemanusiaan ke puncak tertinggi, khususnya bagi pribadi-pribadi yang dikaruniai bakat khusus dalam bidang ini.

Respon para perupa terhadap spiritualitas Nusantara tersebut, menyebut kecenderungan yang pertama dalam pameran ini, adalah dengan melakukan transendensi terhadap simbol yang merepresentasikan tatanan kosmis yang suci. Melalui transendensi, seniman mengambil simbol tersebut untuk digapai dan diafsir lewat lukisan. Usaha tersebut dilakukan, misalnya, oleh Agus Kamal dalam gaya kaligrafi modern dengan teknik "realisme kerok" yang khas kreasinya. Melalui karyanya ini, ia memilih menghayati dan mengekspresikan spiritualitasnya secara formal, dengan bentuk ekspresi lafadz Ilahi bergaya arkais dan siklis, sehingga pusat suci Ilahi dapat tampil dalam kepurbaan yang agung. Karya kaligrafi lain juga muncul dalam lukisan abstrak A. Mustofa Bisri (Gus Mus) berjudul Hanya Lafal. Lukisan tersebut berupa garis-garis vertikal yang puitis, anggun, bersahaja dan modern. Dalam proses transendensi yang kontemplatif tersebut, baik Kamal maupun Gus Mus, juga terjadi dialog imajinatif antar budaya (Nusantara dan Arab) dan zaman (masa lalu dan masa kini), dengan memperkaya perkembangan seni kaligrafi Arab, mulai dari bentuk paku di Levant (juga disebuat Syami—kini meliputi Syria, Jordania, Lebanon dan Palestina) dan Yaman, kemudian berkembang ke gaya klasik standar dengan struktur baku, hingga ke bentuk modern yang menampung kebebasan ekspresi individu seniman—mungkin agar ibadah artistiknya semakin mudah dan leluasa.

Adapun usaha transendensi di luar bahasa religius formal dapat ditemukan dalam lukisan abstrak eskpresionis Najib Amrullah berjudul Gembiraku Gembira Kita, dengan pilihan warna riang dan sapuan kuas yang bebas. Dengan lukisan tersebut, spiritualitas ditafsir sebagai pelepasan dari beban psikologis. Di samping itu, terdapat juga usaha transendensi yang berusaha mengontrol transendensi ke arah ikonissai fenomena. Dengan ikonisasi, fenomena diangkat ke realitas yang lebih tinggi dan mengerucut pada figur yang mampu mewakili realitas yang lebih luas dengan mencakup dan menyatukan makna-makna yang kontradiktif; persis seperti ikon jam mewakili semua jenis jam dan simbol salib atau bintang sabit mewakili semua umat Kristen dan Islam yang belum tentu rukun di antara sekte-sektenya. Agus Suwage dalam karya The Champ melakukannya dengan melukis rupa figur harimau di atas meja, namun bayangan (ruhnya) meloncat bebas. Harimau adalah ikon dari kemenangan dan kekuasaan, serta merupakan totem dari berbagai usaha mistik, magis dan spiritual terkait kekuatan dan kependekaran. Sedang Jeihan dalam karya Sunan Kalijaga berusaha melakukan ikonisasi fenomena dalam aktivitas transendensinya. Fenomena tersebut dilakukan dengan langsung pada figur penting Sunan Kali Jaga yang mengaransemen Islam di kawasan Nusanatara dengan merajut agama, adat istiadat, sistem politik, lanskap kota tata negara, dan seni sebagai kesatuan kosmologis. Mengingat Sunan Kali Jaga sendiri adalah ikon, maka usaha Jeihan disini melakukan ikonissai dari ikon yang sudah diterima secara umam, sehingga apa yang ia lakukan bukan menambah makna, melainkan lebih berusaha menegaskan dan melebarkan pancaran Sang Sunan dalam konteks seni rupa modern..

Abstraksi dan transendensi dalam bentuk lain dilakukan Rocha Radipa dalam Echoes of Glory dengan kecenderungan abstrak ekspresionis. Karya ini menarik karena menyerupai cara khas Nusantara dalam memaknai sejarah yang amat dipengaruhi oleh gema resital pantun dan tembang. Sejarah, dalam konstruksi budaya Nusantara, bukan urutan perisitiwa kronologis melainkan momentum-momentum yang dianggap penting yang dihadirkan lewat serial nyanyian, sehingga waktu yang hadir bukan sekuensi peristiwa yang sebenarnya terjadi melainkan durasi serialitas dan paralelitas irama puisi tentang peristiwa tersebut. Kejayaan kerajaan dan kisah para pahlawan di masa lalu dikisahkan tidak persis seperti yang terjadi di masa lalu, melainkan lebih sebagai hasil konstruksi puitis dan musikal di masa kini tentang masa lalu itu. Inilah yang menjadi pokok kajian James Siegel tentang budaya tembang di Sumatera dalam Shadow and Sound (1981) dan kajian James Fox dalam Panen Lontar (1996) tentang puisi naratif manaholo masyarakat Rote. Dengan kata lain, peristiwa yang berjalan dalam kronologi linear sejarah digubah ke dalam struktur siklis pola rima pantun dan nyanyian yang berulang-ulang.

Usaha transendensi di luar ekspresi keagamaan formal, ekspresionis dan ikonisasi adalah transendensi tradisi spiritual dengan bahasa ungkap tradisional. Usaha tersebut tampak pada lukisan gunungan karya Lukman dan Tri Purwanto. Keduanya melukis gunungan dalam bentuk segitiga geometri modern dengan dibubuhi ragam hias dekoratif khas Nusantara: tumbuhan, laut, dan gunung itu sendiri. Praktik ini merupakan usaha memberi bobot spiritual terhadap modernitas dan vice versa: memberi bobot modern terhadap spiritualitas. Dengan cara itu, laju modernitas dalam struktur waktu progresif diinterupsi oleh kekuatan spiritual besar sang Pengendali Sejarah yang coba digapai oleh senimannya, mengingat gunung (meru) merupakan simbol dari hierarki kesucian dalam usaha manusia menyatu dengan Tuhan. Dalam konteks ini, seni rupa modern yang telah demikian sekuler di Barat berubah menjadi spiritual karena diubah oleh aktivitas seniman yang bersemangatkan ritual.

Hal itu membedakan transendensi di Barat dengan di sini. Di Barat, transendensi dilakukan dengan menafsir realitas berdasarkan praktik abstraksi dalam sains analitis seperti dilakukan Kandinsky, Rothko, Mondrian, dan terutama Vasarely. Implikasinya, semakin transenden seorang pelukis akan semakin jauh dari alam, karena cara berpikir analitis (dari kata "analiyen" yang berarti "menarik dari" atau "memisahkan dari") justru menjauhkan seniman dari fenomena yang direspon. Jika fenomena yang direspon adalah realitas suci, maka akan semakin jauh pula dari kesucian itu. Sedangkan di sini, abstraksi dilakukan tidak dengan pendekatan analitis layaknya fisikawan atau matematikawan, melainkan dengan penghayatan dan kontemplasi menuju pemurnian layaknya meditasi mistikus, sehingga semakin transenden seorang seniman dalam berkarya akan semakin menyatu secara ontologis dengan alam dan pusat suci (divine core). Oleh karena itu, transendensi di Barat merupakan usaha sekulerisasi terhadap entitas suci dengan mengambil simbol suci namun memutus afiliasinya dengan institusi keagamaan, sedang di sini sebaliknya: melakukan spiritualisasi terhadap sekularisme di mana bentuk-bentuk abstrak modern ditafsir sesuai konsep spiritual dari agama yang telah melebur menjadi tradisi (bukan institusi). Dengan cara itu, struktur waktu linear-progresif dari modernitas diubah agar selaras dengan struktur waktu siklis-spiritual dalam tradisi tersebut—yang dalam keseluruhannya memiliki makna spiritual.

V

Transendensi dan kontemplasi semacam itu bukan tanpa risiko; sebagaimana meditasi yang terlalu intens akan membuat seseorang berada di ketinggian dan terasing dari kehidupan sosial sehari-hari. Kesucian yang digapai dengan melukis atau mengukir gunungan akan bertahan di puncak abstraksinya sebagai entitas yang tetap dan absolut, namun steril dari gerak sejarah yang dinamis dan liar; begitu indah dan abadi, namun kehadirannya dalam kehidupan kurang aktual. Dalam tradisi Nusantara yang kosmopolit dan egaliter, semedi dilakukan tidak setiap saat melainkan dalam waktu-waktu tertentu yang dianggap keramat atau ketika ada hajat yang sangat mendesak. Waktu selanjutnya digunakan untuk bekerja, melakukan ritual dan festival sesuai kalender kosmis yang berlaku.

Kecenderungan kedua setelah transendensi adalah Matja ditafsir sebagai usaha merefleksikan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, simbol suci yang telah berada di ketinggian sebagaimana dibayangkan para seniman abstrak berusaha diturunkan ke dalam realitas sosial-budaya yang lebih praktis dan ekperiensial. Masuk dalam kategori ini karya Nasirun Matja Maning dan instalasi Perahuku Samuderaku, Semar Wayang Golek karya Tarman, Aksara Kagangga karya Edopop, Dongengan Bapak karya Rahman Seblat, Body Swing dan Is It as Simple and as Easy karya Ivan Sagita dan Cahaya lukisan karya Bunga Jeruk.

Nasirun, seperti biasa, mengolah moral and spiritual story dari kehidupan rakyat jelata namun ditempatkan dalam lanskap pemahaman yang luas, hingga terjadi komunikasi yang menggetarkan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Sebuah karya yang mampu merujuk pada dirinya sendiri, menjadi sebuah realitas atau "dunia" dalam karya itu sendiri. Cara kerja demikian dibentuk oleh lingkungan asal Nasirun sebagai penduduk desa di Banyumas yang kental nuansa tradisi, spiritualitas,dan tidak mengenal tata aristokratik Jawa, sehingga metafor yang dipilih adalah figur dan dunia batin orang kecil di tengah kosmologinya. Dalam lukisan Matja Maning, Nasirun menempatkan seniman Slamet Gundono yang juga berasal dari Jawa manca-negari (dari Tegal, sama seperti Banyumas yang juga berada di luar batas negara konsentris Kesultanan Mataram) tengah menafsir bintang-bintang jagad raya, dengan teks tembang memenuhi langit-langitnya. Slamet, yang juga santri dan seniman yang berorientasi kerakyatan, adalah seorang inovator "seni rakyat" agar tetap relevan dan aktual, tidak hanya dalam realitas kekinian budaya Jawa namun juga mampu menempatkannya dalam konteks seni kontemporer yang akomodatif terhadap inovasi-inovasi lokal. Dengan demikian, Nasirun tengah menegaskan bahwa di Nusantara ini, spiritualitas dibagi secara adil dan merata, tanpa peduli kelas sosial, tanpa pandang modern atau tradisional—semua mendapat tempat yang sama dalam tatanan kosmisnya yang suci.

Tidak berhenti di situ, sosok Slamet Gundono yang adalah seorang dalang kemudian disalin ke dalam instalasi wayang dan ditempatkan di atas perahu berjudul Perahuku Samuderaku. Instalasi tersebut mengandung makna yang khas Nusantara; bukan semata karena perahu adalah metafor paling jelas dari ekologi maritim kawasan ini, melainkan juga karena perahu merupakan simbol spiritual bagi kalangan sufi—kelompok yang menyatukan spiritualitas dan seni dalam mewarnai sejarah Nusantara ini. Para sufi mengibaratkan kejernihan hati yang telah diasah di hadapan Tuhan bagaikan intan, sedangkan pencari intannya adalah para sufi yang berlayar di atas gelombang nafsu yang harus dijinakkan. Sang sufi dalam instalasi tersebut adalah Slamet Gundono, sosok dalang yang telah diubah menjadi wayang, ketika pencarian itu telah menjadi paripurna.

Tafsir yang mencoba merespon realitas sehari-hari juga dilakukan oleh Tarman dalam wujud Semar dari versi wayang golek. Semar dalam lukisan Tarman digambarkan tengah membawa saudara-saudaranya sesama Punokawan. Sebuah usaha interpretasi simbolik tentang Semar sebagai lambang dari kosmos yang mampu merangkul keseluruhan kerabatnya. Perbedaannya, jika Nasirun menafsir realitas sehari-hari dengan nuansa mistis yang kuat, Tarman melakukan visualisasi dengan gaya yang lebih realis, sehingga materialitas lukisan hadir lebih kuat daripada alam pikiran yang dikandungnya. Hal tersebut kurang lebih senada dengan Rahman Seblat dalam Dongengan Bapak. Seblat menggambarkan seorang ayah yang berperan sebagai dalang yang bercerita untuk anak-anaknya dengan gaya karikatural. Pelukisan semacam itu telah mentransformasi wayang dari pertunjukan besar ke ruang keluarga, serta dari alam pikiran dewasa menuju alam pikiran anak-anak, sehingga pesan spiritual hadir tidak dalam bentuk mistis yang menakutkan seperti Nasirun namun dalam keriangan karikatural sesuai alam pikiran bocah. Adapun Edopop menghadirkan lukisan sebagai interpretasi kosmologis di tengah tata ekologis yang berubah dalam rupa sosok-sosok pinggiran di tepian ladang dan gunung sebagai pusat tata dunia konsentris.

Termasuk dalam spiritualitas keseharian adalah lukisan Ivan Sagita dan Bunga Jeruk Permata Pakerti, meski keduanya memiliki kecenderungan estetis yang berbeda. Ivan, salah seorang pionir "surealisme Jogja", menghadirkan dunia mistis dari kewajaran sehari-hari dalam Body Swing Series dan Is It as Simple and as Easy—sebuah penggambaran yang surealis jika dipandang dari kaca mata modernitas yang lebih menekankan dimensi empiris namun bagi orang Jawa lebih dipandang sebagai realitas karena bagi orang Jawa dimensi meta-phenomena yang gaib dianggap lebih nyata daripada yang dapat diindera. Adapun bunga Jeruk menfsirkan Matja dalam rupa dua orang anak yang tengah membaca langit yang dipenuhi buah-buah cinta berguguran. Lukisan yang bertendensi romantis dan bergaya naif tersebut menyerupai lukisan Nasirun Matja Maning dari komposisinya (manusia di tengah lanskap angkasa), namun sang pembaca langit dalam lukisan Bunga bukan seorang dalang yang sufistik melainkan sepasang bocah yang masih bening pikir dan batin—paralel dengan kecenderungan estetiknya yang naïf.

VI

Setelah spiritualitas diintensifkan melalui transendensi, kemudian dipancarkan dalam realitas sehari-hari, akhirnya tiba saatnya spiritualitas dipertemukan dengan realitas-realitas yang penuh paradoks. Kosmologi suci adalah sesuatu yang ideal dalam kontemplasi, namun saat ditempatkan dalam kehidupan luas yang penuh persoalan, di situ spiritualitas akan tampil lebih menggetarkan dan memiliki implikasi lebih luas. Itulah kecenderungan ketiga dari karya-karya yang tampil dalam pameran ini.

Masuk kategori ini adalah karya novelis Ahmad Tohari berjudul Macan Dikejar Masuk Langgar. Dalam masyarakat Banyumas, langgar adalah nama lokal untuk mushola sebagai tempat ibadah untuk rumpun penduduk yang kecil. Lebih dari sekadar tempat ibadah, langgar juga digunakan untuk istirahat sehabis dari ladang, menonton pertunjukan ketoprak, lengger atau wayang di larut malam, juga tempat anak-anak bermain. Langgar, dengan kata lain, adalah tempat orang desa menyimpan keluh kesah dan menaruh nilai-nilai yang paling luhur. Adapun macan bagi orang Jawa adalah lambang kekuasaan, ambisi, dan keperkasaan. Dengan lukisan ini, Ahmad Tohari tengah berbicara soal abuse of religion dimana (institusi) agama digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk tujuan di luar fungsi dan nilai-nilai dasarnya. "Kalau sudah memakai peci dan surban, siapa yang menyangka kalau orang tersebut bajingan?" Kurang lebih demikian kata pelukis dalam sebuah perbincangan. Implikasinya adalah agama yang semula merupakan wahana masyarakat bernaung dan menyempurnakan kemanusiaannya, justru menjadi wahana yang menghancurkannya, seiring tabel nilainya menjadi berantakan karena ketidak sesuaian antara strultur (moraluitas) dengan aktor (umat, terutama pemimpinnya) serta tujuannya.

Usaha membongkar spiritualitas dalam realitas juga dilakukan oleh S Teddy D dan Bob Sick Yudhita dalam pertunjukan yang "bandel". Bob adalah seniman yang setia menempuh jalan kesakitan demi menanggung penderitaan dunia. Cara kerjanya terkesan konyol, namun jika dilihat lebih dalam, Bob sebenarnya tengah memasuki jalan eksistensial dalam berkesenian dengan menjadikan tubuhnya sebagai kanvas: seluruh badan dibubuhi tato "buruk rupa" (bukan tato salon yang indah). Dalam pertunjukannya, Bob yang tubuhnya penuh tato mengendarai vespa berbendera Nahdhatul Ulama dan ikat kepala Front Pembela Islam (FPI). Dengan praktiknya tersebut, Bob tengah menunjukkan begitu banyak paradoks dalam realitas keagamaan mutakhir di negeri ini: manusia bertato yang identik dengan brandal justru adalah seorang manusia religius, adapun religiusitas yang seharusnya hadir sesuai nilai-nilai ideal justru dikoyak oleh kepentingan pemimpin-pemimpinnya. Atau dengan kata lain, Bob sedang menjadikan dirinya sendiri sebagai simbol dari korban politik keagamaan.

Dengan mode of discourse menyerupai para seniman Dada dan pop-kiri tersebut, Bob memprovokasi sekaligus menelanjangi penyalahgunaan entitas spiritual untuk tujuan di luar itu (abuse of religion); mirip semangat Ahmad Tohari Macan Dikejar Lari ke Langgar. Bedanya, Bob menjadikan tubuhnya sendiri sebagai art property sehingga tampil lebih performatif dan radikal dalam modus operasi wacananya.

Masih dalam kecenderungan yang sama, seniman Arahmaiani menghadirkan kata "I Love You" dalam kaligrafi Arab bergaya pop art. Sekilas, karya ini biasa dan sederhana, namun sebenarnya ia membongkar cakupan wacana cukup luas. Pop-art lahir sebagai counter terhadap high art yang telah menjadi milik elit intelektual dan borjuis. Dalam cara kerjanya, pop art tidak menggunakan basis konseptual khas ilmuwan dan filsuf seperti para pelukis high art Eropa, namun dengan melukis produk-produk kapitalisme pasar yang telah menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat konsumer Amerika (Kamandobat, 2007). Adapun kaligrafi Arab, sesuai bahasanya, secara ontologis memiliki bobot spiritual mengingat bahasa tersebut merupakan bahasa wahyu. Ketika bahasa wahyu yang spiritual digunakan untuk menulis kata cinta dalam gaya pop art, maka akan terbuka sebuah medan pemaknaan: kapitalisme yang sekuler ternyata memiliki hubungan baik dengan entitas spiritual, persis sebagaimana sejumlah penguasa Arab menjadi kapitalis baru dunia, dan menjalin kerjasama dengan penguasa dan pengusaha Amerika-Eropa. Dengan kata lain, karya ini membongkar "perselingkuhan yang indah" antara penguasa agama dengan penguasa modal dalam rangka melipatgandakan keuntungan. Dalam konteks politik waktu, keduanya bersepakat menjinakkan waktu siklis spiritual dan waktu linear progresif kapitalisme untuk dijadikan rel demi meluncurkan kereta kekuasaan dalam rangka menaklukkan wilayah dan sejarah, di mana Timur dan Barat serta masa lalu dan masa depan tunduk pada motif dan kehendak pribadi.

Selain karya-karya yang masuk dalam koridor pop art, baik yang cenderung "kanan" seperti Arahmaiani maupun yang "kiri" seperti Bob Sick, muncul karya Tisna Sanjaya yang tegas, frontal dan bertenaga khas seni activism. Lukisan Tisna berjudul Mooi Indie 2 berupa pemandangan alam dari beras dan hasil alam lain di Nusantara ini sebagai critical review terhadap isu mooi indie dan kelas sosial tertentu yang menikmatinya. Pelukis Sudjodjono pernah mengkritik tendensi mooi indie Barat yang cenderung melihat Nusantrara dari keindahan alamnya namun melupakan jiwa dan nasib penghuninya. Tisna, lebih jauh dari Sudjodjono namun masih dalam semangat yang sama, menegaskan bahwa hal paling romantis dan eksotis dari mooi indie bukanlah pemandangan alamnya melainkan hasil alamnya: rempah-rempah yang membuat kawasan ini menjadi sasaran penjajahan dari dulu hingga kini. Singkatnya, mooi indie bukanlah persoalan "politik seni rupa" namun persoalan "politik ekonomi" dalam rupa eksploitasi alam dan manusia yang terus berlangsung hingga kini. Dengan demikian, lewat lukisan Tisna tersebut kita menjadi tahu bahwa alam yang merupakan manifestasi simbolik dari pandangan spiritual masyarakat Nusantara justru menjadi sumber penderitaannya: firdaus yang indah itu telah menjadi barang jarahan berabad-abad, dan para penghuninya menderita tepat di kuil sucinya—keindahan alam tropis dengan segala flora fauna serta ritual dan festivalnya.

Di tengah situasi menyedihkan tersebut, Heri Dono tampil sebagai pendongeng kontemporer dalam instalasi dan pertunjukan Flying Dress, bekerjasama dengan Wiwiek Poengky Art Fashion. Fashion show ini menampilkan busana"haute couture" yang dibuat khusus untuk merespon gaya hidup para penggila haute couture yang sebenarnya. Baju-baju rancangan Heri Dono dan Wiwiek tidak dibuat dari sutra, taffeta atau organdi layaknya haute couture beneran melainkan dari daur ulang sampah hasil buangan masyarakat yang telah dibuat super konsumtif oleh kapitalisme pasar dengan cara memanipulasi tabel kebutuhan dan menaikkan kurva kepuasan di luar batas. Kenyataan karya ini ditampilkan dalam pameran seni rupa yang juga telah masuk ke dalam perangkap kapitalisme, justru menimbulkan implikasi bukan semata pada tatanan ekonomi kapitalisme tetapi juga nasib seni rupa sendiri. Alih-alih merayakan gemerlapnya, karya ini justru menunjuk sumber kemegahannya yang telah mengubah cahaya spiritual seni menjadi superfisial. Karena itu, ekomomi kesejahteraan dan yang sekarang tengah menjadi metafor global dan riuh rendah seni rupa tiba-tiba berubah menjadi komikal berkat "fashion show" ini.

Cara kerja semacam itu merupakan ciri khas Heri Dono yang menggunakan "logika bengkok" dalam sampakan ketoprak Mataraman sebagai mode of discourse. Dengan "logika bengkok" dimaksudkan, sebagaimana dikatakan oleh senimannya, tentang adanya hal yang masuk akal di balik hal yang tidak masuk akal. Misalnya, fashion show dengan menggunakan sampah adalah tidak masuk akal, namun ia menjadi masuk akal mengingat pesan moral dan politik yang disampaikan. Bayangkan jika tata dunia yang kita diami, baik politik, ekonomi, dan kultural, dibaca dengan "logika bengkok" semacam itu: kita akan jatuh ke dalam komedi hitam (black comedy) menyaksikan otoritas-otoritas dunia ditelanjangi dan dilucuti. Dalam konteks inilah karya ini mengandung muatan spiritual dan memiliki implikasi luas melebihi ruang wacana dalam seni namun juga dalam ekonomi, politik, dan ekologi.

VII

Namun, implikasi yang luas secara wacana belum cukup untuk menjadikan spiritualitas Nusantara sebagai energi yang signifikan dalam lanskap antarperadaban. Spirit tersebut perlu diolah dengan basis konseptual lebih kuat serta mencakup antardisiplin dan wilayah, digarap dengan kecakapan teknis yang lebih baik, dan lebih berani dalam mempertanyakan arsitektur budaya, ekonomi dan politik yang beroperasi secara global. Itulah yang dilakukan Anish Kapoor dalam Mirror Clouds di metropolitan-metropolitan dunia. Dengan karyanya itu, ia berusaha mengubah struktur waktu modern, orientasi kapitalisme yang progresif, dan masyarakat urban yang kompleks, ke dalam tata mandala klasik khas India dengan menggunakan instalasi cermin raksasa sebagai titik pusat konsentrisnya. Singkatnya, Kapoor telah mentransformasi mandala ke dalam realitas kontemporer dunia sehingga dunia kontempoter mengikuti konsep tersebut. Hal yang sama dilakukan oleh Zaha Hadid yang menafsir lukisan Malevich dari fisika quantum. Dengan konsepnya itu, kita akan melihat beragam bidang geometris dari dimensi waktu, sehingga bidang-bidang tersebut menjadi bergerak layaknya lekuk tubuh wanita dan gelombang padang pasir di Arab (negeri asal Zaha) yang dimaterialkan dalam beragm karya instalasi dan arsitektur yang memenuhi kota-kota metropolitan dunia. Nada yang sama juga dilakukan oleh Cai Guo Qiang dalam Falling Back To The Earth yang merefleksikan kehancuran ekologis akibat praktik eksploitasi alam yang lompatan volumenya meningkat berkat kapitalisme yang bergerak dalam struktur waktu linear progresif menuju kepemilikan tanpa batas.

Untuk mengamplifikasi dimensi spiritual seni rupa kita dalam konteks kosmopolitan berskala global, bakat, kecerdasan dan semangat go international saja tidak cukup. Kalangan seni rupa kita perlu melakukan restrukturisasi secara menyeluruh, baik tata lembaga, aturan main, meritokrasi orang-orang yang terlibat, struktur jaringan yang beroperasi secara global, maupun strategi wacana di level internasional. Itulah yang dilakukan oleh China, Arab dan India dengan migrasi global di berbagai wilayah, bidang keahlian, dan zaman. Nusantara memiliki modal kultural tak terhingga untuk diolah, agar irama siklis waktu spritualnya dapat mengonduksi irama sejarah dalam cakupan wilayah lebih luas. Jika itu terjadi, posisi Indonesia dalam peta geopolitik seni rupa bukan hanya sebagai penyeimbang (seperti selama ini terjadi di hampir semua bidang), melainkan berkembang menjadi salah satu pemain yang menentukan.

 

Daftar Pustaka

  • Alatas, Ismail Fajrie. "Momok Ketimpangan: Waktu, Antropologi, Sejarah, dan Modernitas. Antropologi Indonesia, No. 1. (2010)
  • Agusyanto, Ruddy. Budaya Sontoloyo: Matahari Itu Berkah atau Kutukan? Institut Antropologi Indonesia (2013)
  • Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso (1981)
  • Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia. Gramedia Pustaka Utama (2005)
  • Kamandobat, Faisal. Multikulturalisme: Basquiat yang Mendobrak Warhol. Kompas, 20 Oktober 2007.
  • Rudyansjah, Tony. Maula, M. Jadul. Prahara, Hestu. Kesepakatan Tanah Wolio: Ideologi Kebhinekaan Dan Eksistensi Budaya Bahari Di Buton. Universitas Indonesia (2011)
  • Ricci, Ronit. Islam Translated: Literature, Conversion,and TheArabic Cosmopolith of the South and Souteast Asia. University of Chicago Press (2011)
  • Geertz, Clifford. Negara: The Theatre State in 19th Century Bali. Princeton University Press (1980)
  • Feener, Michael R. Seeva, Terenjit (ed.) Islamic Connections: Muslim Societies in South and Southeast Asia. ISEAS (2009)
  • Siegel, James. Shadow and Sound: The Historical Thought of a Sumatran People. Duke University Press (1982)
  • Fox, James J. Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Pustaka Sinar Harapan (1996)
  • Vickers, Adrian. Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Pustaka Larasan (2009)