Opini

Tentang Rindu: Pengalaman di Tanah Suci

Kamis, 16 Februari 2023 | 09:00 WIB

Tentang Rindu: Pengalaman di Tanah Suci

Suasana jamaah umrah sedang melakukan thawaf. (Foto: Ahmad Rozali)

Konon, obat kerinduan adalah pertemuan. Kalimat ini bermakna: apabila kita merindukan seseorang atau sesuatu, maka obatnya tak lain adalah bertemu dengannya. Ini rumus umum yang mafhum diketahui semua orang. Namun sepertinya itu tak berlaku untuk pertemuan dengan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Alih-alih mengobati dahaga rindu, pertemuan dengan keduanya justru melahirkan rindu yang lebih besar lagi dari sebelumnya. 


Rindu-dendam pada Haramain (dua tanah Suci: Makkah dan Madinah) sebelum bertemu dengannya tak sebesar ini. Ia tak sampai terbayang-bayang dan mengganggu. Namun sejak datang dari sana, kerinduan akan keduanya menguat dan hampir tak terbendung. 


Sebab saat kerinduan ini telah ditopang berbagai kenangan mulai dari penglihatan atas gagahnya Ka’bah yang dikelilingi kesucian Hajar Aswad, Maqom Ibraim, Multazam, dan Rukun Yamani yang disucikan, termasuk ingatan segarnya air zamzam di setiap sudut masjid. Kesemua memori itu menambah tebalnya rindu dan melambungkannya ke langit-langit malam yang makin menguat setiap harinya.


Saya juga masih bisa melihat antrian orang-orang yang berbaju ihrom serba putih yang mengantre melewati gerbang King Abdul Aziz. Dari gerbang itu, akan nampak dua anak tangga dan eskalator yang mengantarkan kita langsung ke hadapan Ka’bah yang maha indah. Saya juga masih bisa merasakan dinginnya lantai masjid yang terbuat dari marmer itu. Saya juga masih ingat desakan demi desakan yang terjadi saat kami semua berebut mencium Hajar Aswad, Multazam dan situs suci lain di sekitar Ka’bah. Di tempat-tempat suci itulah, saya melaksanakan ajaran kiai, karena menurutnya, di sanalah tempat khusus maqbulnya doa. 


Ingatan masjid Nabawi di Kota Madinah juga tak kalah indahnya. Masjid Nabawi adalah tempat yang sangat menenangkan; karpetnya yang tebal, lantainya yang dingin, ukiran di langit-langitnya yang indah dan udara malamnya yang sejuk  menjadikan perpaduan yang begitu syahdu. Nikmat sekali berada berlama-lama di dalamnya, baik untuk membaca Al-Qur’an, atau memuji Nabi Muhammad saw melalui untaian shalawat, atau sekedar tidur berlama-lama di ‘rumah’ Kanjeng Nabi Muhammad Saw itu.


Tentu saja satu ingatan terbaik adalah memori tentang makam Nabi Muhammad saw, terutama sekali ingatan berada di kawasan Raudlah. Di sana kerinduan akan Rasulullah saw pecah, air mata akan tumpah, tangan seketika menengadah mengumandangkan rasa syukur pada Allah Swt atas takdir yang membawa kita berada di dalam Raudlah. Barangkali, tak ada satupun kerasnya hati yang tak melunak dan leleh saat kita berada di dalamnya. 


Rasanya, kerinduan pada Rasulullah saw yang terpupuk sejak lama sekali terbayar. Semasa di tanah air, kita tentu sering merindukan Kanjeng Nabi. Kadangkala kita diam-diam mengungkapkan rindu pada Rasulullah saw, baik di tempat sepi maupun tempat ramai. 


Saya sendiri, pernah pada suatu ketika di awal tahun 2014 tak kuasa menahan pada Rasulullah saw di tempat ramai saat menyaksikan pementasan teater musikal “Kalung Permata Barzanji” di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Suara penyair perempuan yang membacakan kisah Nabi Muhammad saw juga masih lekat terekam.

 

Entah apa yang terjadi, namun waktu itu, aku yang duduk bersama puluhan penonton lain seolah dirasuki kerinduan yang mencekam. Seketika air mata tumpah dan aku duduk lemas lunglai sambil sesenggukan menahan tangis rindu pada Rasulullah Saw di kursi penonton. Untung saja, suasana penonton yang gelap menyembunyikanku dari pandangan semua orang.


Namun pengalaman itu bukan kali pertama kali menangisi rindu. Sejak tahun 2000-an semasa di pesantren, tangis rindu pada Rasulullah Saw seringkali pecah saat pembacaan shalawat malam Jumat memasuki bacaan mahallul qiyam. Saat itulah saya yang menabuh rebana akan memukul terbang sekeras-kerasnya dan melupakan rasa sakit di tangan akibat benturan kayu dengan ruas jemari yang kadang sampai lecet. Kami meyakini bawah Rasulullah saw hadir di dalam majelis yang membaca shalawat pada-Nya seperti malam-malam itu.


Ungkapan kerinduan pada Rasulullah Saw dapat kita temukan dalam berbagai bentuk. Penyair legendaris Taufiq Ismail misalnya, yang pada tahun 1974 telah menulis puisi ‘Rindu Rasul’. Puisi yang kelak dipopulerkan musisi legendaris Indonesia Bimbo dan banyak direporduksi oleh musisi lain seperti Vidi Aldiano, Gigi, Kikan, dan musisi lain. Dalam liriknya tergambar kuat kerinduan yang berat dan perih  kepada Rasulullah saw: 


Rindu Rosul

Rindu kami padamu, Ya Rasul. Rindu tiada terperi.

Berabad jarak darimu, ya Rasul. Serasa dikau di sini.

Cinta ikhlasmu pada manusia, bagai cahaya suarga.

Dapatkah kami membalas cintamu, secara bersahaja?


Di dalam buku berjudul Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit, Taufiq Ismail mengaku bahwa lagu ‘Rindu Rasul’ selalu menggetarkan hatinya, sebagaimana dikutip dari Republika. Dalam buku itu, ia mengisahkan dialog kecil dengan Iin Parlina yang biasa menyanyikan lagu tersebut bersama Bimbo. 


“Setiap Iin di panggung membawakan Rindu Rasul, sesudah menyanyi satu dua bait, dia lalu membelakangi penonton. Dia menitikkan air mata. Selepas pentas, saya (Taufiq Ismail - Red) bertanya kepadanya, kenapa. Jawabnya, “Nggak tahan Bang. Saya selalu menangis.”


“Saya tidak pernah bilang pada Iin, ketika petikan gitar intro Rindu Rasul dimulai, saya selalu juga menitikkan air mata. Biasanya sampai selesai”.


Di buku itu juga Taufiq mengakui bahwa tujuan lahirnya melahirkan lagu itu tak lain sebagai shalawat pembuktian cinta pada Rasulullah Saw. “Lirik lagu tersebut memang saya niatkan sebagai shalawat pada Junjungan kita itu. Semoga begitu pula para pendengar dan pemirsa pementasannya ikut bershalawat Rasul.”


“Mudah-mudahan membangun suasana Ilahiah secara bersama-sama, menjadi bentuk ibadah yang bersahaja yang sampai ke pangkuan-Nya.”


Syair yang diciptakan tahun 70-an itu hanyalah satu dari banyak syair yang tercipta untuk mengungkapkan rindu pada Sang Kekasih. Shalawat-shalawat berbahasa Arab yang kita sering baca tak lain merupakan ungkapan rindu dan kecintaan pada Nabi Muhammad saw dengan berbagai bentuknya. 


Kita tentu patut bersyukur, walaupun kita hidup di Indonesia yang berjarak ribuan kilometer dan hidup belasan abad setelah Rasulullah saw, kita masih merasakan kehadiran-Nya setiap saat. Kerinduan ini yang membawa kita semua berupaya sekuat tenaga mendatangi kota Rasulullah di Makkah dan Madinah serta menapaki jejak demi jejak langkah Kanjeng Nabi. 


Anda tentu saja bisa membayangkan, kita yang tak pernah berjumpa langsung dan berjarak sebegitu jauh dengan Rasulullah Saw dapat merasakan rindu kepadanya, bagaimana kita tak bahagia menyampaikan salam langsung di kotanya di Madinah terutama dari dalam Raudlah. 


Akan tetapi, hal yang tak kusangka adalah: kukira setelah datang dari Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, kerinduan ini akan berkurang, namun, kerinduan pada keduanya justru menebal dan menguat. Ia bahkan melahirkan candu dan kesakitan yang dalam, serta kenikmatan yang tak terbayangkan. Benarlah adanya apa yang ditulis Taufiq Ismail, Rindu kami padamu ya Rosul, rindu yang tiada terperi.


Ahmad Rozali, Pengurus LTN PBNU