Tokoh

Mengenal Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Ulama Besar Pengarang Kitab Fathul Bari

Rabu, 24 Juli 2024 | 06:00 WIB

Mengenal Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Ulama Besar Pengarang Kitab Fathul Bari

Ilustrasi ulama. (Foto: NU Online)

Cerdas, berbudi luhur, berlimpah harta namun tetap sederhana pada dirinya sendiri, dermawan pada orang lain, dan luar biasa ibadahnya. Ketika membayangkan sifat-sifat mulia tersebut terkumpul pada satu orang, rasanya seperti sedang menghadirkan sosok karakter utama dalam sebuah dongeng. Namun tentunya tulisan ini bukan hendak menceritakan dongeng, ini adalah kisah hidup seorang laki-laki yang hidup sekitar tujuh abad silam. Dia adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani.

 

Kelahiran

Namanya adalah Ahmad bin Ali Al-'Asqalani atau lebih populer dengan Ibnu Hajar Al-Kinani Al-Asqalani. Hajar sendiri adalah julukan salah satu kakeknya. Ibnu Hajar lahir di daerah pinggiran sungai Nil, Mesir pada 22 Sya'ban 773 H. Nisbat Al-Kinani merujuk pada suatu kabilah, yaitu suku Kinan, yang berasal dari 'Asqalan, Palestina. 

 

Ibnu Hajar lahir dalam keluarga yang sarat dengan keilmuan dan kesalehan. Ayahnya adalah ulama ahli fiqih, bahasa, dan sastra Arab, yang memiliki rasa ta'dzim dan cinta yang tinggi pada para ulama dan orang-orang saleh. Ia merupakan salah satu murid dari muhaddits besar, Al-Imam Ibnu Sayyidin Nas, pengarang kitab sirah dan syama'il nabawiyyah berjudul 'Uyunul Atsar. Ayahnya meninggal pada 23 Rajab 777 H, sedangkan ibunya meninggal lebih dulu.  (Muhammad bin Abdurrahman As-Sakhawi, Al-Jawahir wad Durar [Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1999], halaman 103-108).

 

Masa Kecil

Sebelum wafat, ayahnya berwasiat pada salah satu pedagang besar bernama Abu Bakr Al-Kharubi agar Ibnu Hajar yang saat itu belum genap berusia empat tahun. Ayahnya juga menitipkan harta warisan pada Al-Kharubi untuk membiayai Ibnu Hajar, namun Al-Kharubi juga tidak jarang mengeluarkan hartanya sendiri untuk kepentingan Ibnu Hajar. 

 

Al-Kharubi dapat menjalankan wasiat ayah Ibnu Hajar dengan baik, ia memasukkannya ke dalam maktab (semacam sekolah anak-anak) saat Ibnu Hajar berusia lima tahun, di sekolah tersebut Ibnu Hajar menghafal Al-Qur'an. Ia menyelesaikan hafalannya saat berusia sembilan tahun pada Shadruddin Muhammad As-Safthi, seorang ulama ahli fiqih yang juga memiliki karya berupa kitab Syarh Mukhtashar At-Tabrizi, sebuah kitab fiqih mazhab Syafi'i. ('Abdus Sattar, Ibnu Hajar Al-'Asqalani Amirul Mu'minin fil Hadits [Damaskus: Darul Qalam, 1996], halaman 67).

 

Pada tahun 784 H, Al-Kharubi melaksanakan ibadah haji, ia membawa Ibnu hajar ikut bersamanya. Saat di Makkah, ia mendengarkan pembacaan kitab Shahih Bukhari pada Syekh 'Afifuddin Muhammad An-Nawyawiri Al-Makki. Ibnu Hajar mengikuti majelis pembacaan kitab tersebut dari awal hingga akhir, hanya sedikit bagian yang tertinggal. Itu adalah pertama kalinya Ibnu Hajar mengikuti majelis pembacaan hadits. Pada saat di Makkah pula pertama kali ia mencari guru untuk menimba ilmu, ia belajar kitab 'Umdatul Ahkam pada Al-Hafizh Jamaluddin Ibnu Zhahirah Al-Makki. (As-Sakhawi, Al-Jawahir wad Durar, halaman 122).

 

Al-Kharubi wafat pada tahun 787 saat Ibnu Hajar berusia 14 tahun. Wafatnya sang pengasuh berdampak besar pada proses belajar Ibnu Hajar. Ia yang kala itu masih remaja tidak lagi belajar secara intens karena tidak ada orang yang mengarahkannya. Namun ia tidak sepenuhnya meninggalkan proses belajar, ia tetap belajar dengan intensitas lebih rendah yang berlangsung selama tiga tahun. Dalam waktu tiga tahun ini, ia mempelajari ilmu-ilmu yang umumnya dipelajari, seperti dasar-dasar ilmu ushul, furu', bahasa, dan lain-lain. Ia mendapatkan kembali gairah besar untuk mencari ilmu saat berusia 17 tahun. ('Abdus Sattar, Ibnu Hajar Al-'Asqalani, halaman 70).

 

Guru-guru

Di awal pengembaraan ilmunya, Ibnu Hajar banyak mempelajari ilmu sejarah. Intensitas dalam mempelajari ilmu ini membuatnya banyak bersinggungan dengan nama-nama para rawi, sehingga ia menghafal banyak nama-nama tersebut beserta biografi singkatnya. 

 

Pada tahun 792 H, Ibnu Hajar mempelajari ilmu adab (sastra arab), ia menguasai ilmu tersebut sampai batas ketika ia mendengar atau membaca sebuah syair, ia tahu sumber rujukan syair tersebut. Pada tahun 793 H, Allah menaruh cinta dalam hati Ibnu Hajar pada ilmu hadits, ia pun menghabiskan waktunya mempelajari ilmu ini. 

 

Tiga tahun berselang, ketekunannya mempelajari ilmu hadits kian meningkat. Ia belajar pada para ulama ahli hadits, guru utamanya di bidang ini adalah Al-Hafizh Zainuddin Al-'Iraqi yang ia habiskan belajar padanya selama 10 tahun. Di lain pihak, Ibnu Hajar memiliki tempat istimewa di hati gurunya ini. Ketekunannya mempelajari ilmu hadits tidak menjadikannya abai pada bidang lain, ia tetap mempelajari ilmu-ilmu lain seperti fiqih, ushul, bahasa, dan sebagainya. 

 

Di bidang ilmu fiqih, Ibnu Hajar belajar kepada Muhammad bin 'Ali Ibnul Qaththan yang merupakan pengasuhnya setelah Al-Kharubi wafat. Ia juga berguru pada Burhanuddin Al-Abnasi yang juga murid dari ayah Ibnu Hajar. Menurut penuturan Ibnu Hajar, Al-Abnasi adalah seorang ulama yang mumpuni dalam ilmu syariat juga hakikat. 

 

Selanjutnya ada Sirajuddin Ibnul Mulaqqin, seorang ahli fiqih pengarang kitab 'Umdatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, dan Syaikhul Islam Al-Imam Sirajuddin Al-Bulqini yang pertama kali memberi izin pada Ibnu Hajar untuk berfatwa. Seperti lazimnya para ahli hadits, Ibnu Hajar juga berkelana ke berbagai negeri untuk memperbanyak riwayat, ia pergi ke Yaman, Hijaz, dan Syam. (As-Sakhawi, Al-Jawahir wad Durar, halaman 126-156).

 

Al-Imam 'Izzudddin Ibnu Jama'ah juga tercatat sebagai salah satu guru Ibnu Hajar, ia sangat menyayangi bahkan menghormati muridnya ini, sebagaimana diceritakan sendiri oleh Ibnu Hajar:

 

وكان يودني كثيرا ويشهد لي في غيبتي بالتقدم ويتأدب معي إلى الغاية مع مبالغتي في تعظيمه

 

Artinya: "Imam 'Izzuddin Ibnu Jama'ah sangat meyayangiku, beliau memuji kecerdasanku saat aku tidak ada, meskipun aku sangat mengagungkannya, tapi beliau menjaga adab denganku." (Ibnu Hajar, Inba'ul Ghamri [Kairo: Lajnah Ihya'it Turatsil Islamiy, 1972], juz III, halaman 116).

 

Hidup sederhana

Ibnu Hajar semasa hidupnya pernah memegang beberapa jabatan, mulai dari mufti, qadhi, khatib, mudarris, hingga imla' hadits. Hal ini membuat namanya semakin dikenal oleh semua kalangan masyarakat, selain karena memang keilmuannya yang luar biasa. Namun semua itu tidak menjadikannya merasa tinggi hati apalagi sampai menyalahgunakan jabatan. Sebaliknya, ia memilih hidup sederhana dan tidak memakai uang gajinya sendiri. 

 

Soal makanan dan pakaian, Ibnu Hajar pun lebih memilih yang cukup sederhana. Al-Biqa'i, salah satu murid Ibnu Hajar menyebutkan bahwa gurunya itu adalah sosok yang sangat sabar, tabah, wira'i, dan hampir tidak pernah marah, bahkan pada orang yang mencacinya, semakin bertambah usianya, semakin besar pula sifat tawadu atau rendah hatinya. 

 

Ibnu Hajar juga memiliki sifat dermawan yang tinggi, ia gemar bersedekah pada siapa pun. Pada saat bulan Ramadhan, ia memberi bantuan berupa kurma dan gula pada banyak orang. Tidak hanya itu, pada hari raya juga ia membagikan anggur dan makanan lain. Ketika Idul Adha, Ibnu Hajar membagikan daging kurbannya pada orang-orang yang membutuhkan. Setiap tahunnya dan di hari tertentu, rumah Ibnu Hajar dipenuhi orang-orang yang kurang mampu untuk mengantri sedekah. ('Abdus Sattar, Ibnu Hajar Al-'Asqalani, halaman 49, 53, dan 59).

 

Kesaksian para ulama

Dengan kecerdasan dan ketekunannya serta ditunjang dengan guru-gurunya yang menyandang nama-nama besar, Ibnu Hajar menjadi salah satu dari sedikit ulama yang lengkap keilmuannya, baik ilmu 'aqli maupun naqli. Syekh 'Abdus Sattar menyebutkan beberapa ilmu yang menjadi keunggulan Ibnu Hajar, yaitu fiqih, tafsir, hadits, bahasa, sastra, dan sejarah. ('Abdus Sattar, Ibnu Hajar, halaman 149-252).

 

Hal ini diakui oleh para ulama di masanya, bahkan guru-gurunya sendiri. Sebagaimana disampaikan As-Sakhawi, tak terhitung berapa pujian dan kesaksian para ulama atas kapasitas dan keilmuan Ibnu Hajar. Di antaranya Ibnul Mulaqqin yang mengonfirmasi gelar Al-Hafizh pada Ibnu Hajar, ada juga Sirajuddin Al-Bulqini yang memberi gelar pada muridnya ini dengan menyebut:

 

الحافظ المحدث المتقن المحقق

 

Artinya: "Seorang Hafizh, ahli ilmu hadits, kokoh ilmunya, ahli tahqiq"

 

Ada cerita menarik antara Al-Bulqini dan Ibnu Hajar. Suatu hari, ketika Ibnu Hajar membaca kitab Dala'ilun Nubuwwah karya Al-Baihaqi, ia mendapati rawi yang bernama Tamtam. Al-Bulqini menguji muridnya itu dengan berkata:

 

"Siapa Tamtam? Aku telah mencari data tentangnya namun tidak kutemukan, mungkin ini tashhif (salah menyebut nama rawi)," 

 

Ibnu Hajar kemudian menjawab:

 

"Tamtam adalah nama julukan, nama aslinya Muhammad bin Ghalib bin Harb, seorang Hafizh terkenal"

 

"Siapa yang menyebutkan datanya?" tanya Al-Bulqini

 

"Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad, Bahkan engkau memiliki datanya dalam kitab Al-Mizan karya Adz-Dzahabi milik Anda," jawab Ibnu Hajar.

 

Al-Bulqini pun diam, lalu putranya, Jalaluddin Al-Bulqini berkata pada ayahnya tersebut:

 

"Sudahlah, dia ini Hafizh, ayah tidak perlu mengujinya lagi,"

 

Kisah lainnya menyebutkan, suatu malam Ibnu Hajar pernah bermimpi tentang dirinya dengan Al-Bulqini, lalu ia menanyakan makna mimipi tersebut pada gurunya. Al-Bulqini kemudian menjawab:

 

"Engkau akan mendapatkan kamasyhuran yang luar biasa,"

 

Ulama lain yang mengakui keilmuan Ibnu Hajar adalah Syaikhul Islam Al-Hafizh Zainuddin Al-'Iraqi yang menggelari muridnya ini dengan sebutan:

 

الحافظ الفقيه المحدث الفاضل البارع المفيد

 

Artinya: "Seorang hafizh hadits, ahli fiqih dan ilmu hadits, berbudi luhur, cerdas, banyak memberi faidah." (As-Sakhawi, Al-Jawahir wad Durar, halaman 263-267).

 

Berikutnya, Ibnu Hajar pun memiliki banyak murid yang tersohor dengan tingkat keilmuannya luar biasa, beberapa di antaranya adalah Al-Hafizh As-Sakhawi, Al-Hafizh Burhanuddin Al-Biqa'i, Syaikhul Islam Zakariyyah Al-Anshari, Al-Kamal Ibnul Humam, ahli fiqih mazhab Hanafi, dan masih banyak lagi.

 

Pengarang kitab fenomenal berjudul Fathul Bari ini meninggalkan keluarga, para murid, pecinta, dan umat Islam pada malam Sabtu, 28 Dzulhijjah 852 H di Kairo, setelah mengalami sakit sejak bulan Dzulqa'dah. Beliau mewariskan peninggalan yang tak ternilai harganya berupa karya-karya luar biasa, murid-murid yang menyebarkan ilmunya ke berbagai negeri, serta kisah hidup yang sangat patut diteladani, tumbuh sebagai yatim-piatu, lalu di usia matang menjadi orang yang dihormati seluruh kalangan.

 

Demikian biografi singkat Al-Hafizh Ibn Hajar, kisah hidup beliau sangat patut diteladani, tumbuh sebagai yatim-piatu, lalu di usia matang menjadi orang yang dihormati seluruh kalangan. Semua itu, selain berkat faktor-faktor pendukung, juga karena ketekunan  dan semangat yang senantiasa terpelihara. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan, Purworejo.